Friday 6 July 2012

Cerpen|KISAH SANG MALING – Cerpen Koran


Malam yang naas bagi Sukro. Dia terkepung dan tidak bisa lari ke mana‑mana lagi. Pandangan matanya silau oleh sorot lampu‑lampu senter para pengepungnya. Antara rasa ngeri dan putus asa, ia mengharap pertolongan Tuhan di malam itu. Antara rasa ngeri dan putus asa, ia masih sempat memikirkan keadaan istrinya. Wanita itu tergolek tak berdaya di rumah sakit karena terdapat kelainan pada kandungannya. Dokter mengatakan harus dilakukan pembeda­han.
Sukro mengharap Tuhan memaklumi dan memaafkan keja­hatannya di malam itu. Ia mencoba mencuri sepeda di kam­pung tetangganya ini, namun tidak berhasil karena keper­gok. Oh Tuhan, ini terpaksa kulakukan demi istriku, keluh­nya dalam hati.
“Modar kowe saiki! Mau lari ke mana lagi, ha?!”
“Ayo kita cincang dia sekarang!”
Sukro menatap wajah‑wajah pengeroyoknya dengan tatapan nanar. Hatinya gentar. “Ampun, pak. Saya terpaksa. Baru sekali ini saya berbuat. Istri saya perlu biaya di rumah sakit,” ia mencoba memohon belas kasihan dari mere­ka.
“Aaass, tiada maaf bagimu!” sahut salah seorang dari mereka.
“Dia ini pasti yang sering mencuri di tempat kita,” tuduh yang lain. “Sekarang lagi apes kowe, ya!”
“Ayo sikat!” Tiba‑tiba ada yang mengomando. Segera saja tubuh Sukro mendapat gebukan bertubi‑tubi. Kepalan‑kepalan tinju, tongkat, pentungan, tendangan, bahkan batangan besi panjang berganti‑ganti mendarat di tubuhnya. Bak‑buk! Bak‑buk! Dari kepala sampai kaki mereka menghajarnya. Massa yang beringas. Saat itu dalam pandangan mereka barangkali Sukro bukan lagi ‘manusia’. Tapi ia tak beda dengan nya­muk, kecoak atau tikus. Ia seperti binatang menjijikkan yang harus dipithes!
Sukro merasakan tubuhnya remuk‑redam. Pandangannya berkunang‑kunang. Dengan penuh semangat mereka menggebuki­nya sampai berkeringat. Ia sendiri juga berkeringat karena menahan rasa sakit. Tapi keringat yang bercampur darah.
Di malam itu para pengeroyoknya merasa bahwa mereka punya hak untuk langsung memvonis Sukro. “Ayo sekarang kamu ngaku, kamu tho yang selama ini sering mencuri di kampung ini?!” Seorang laki‑laki kekar menarik kerah bajunya dan menginterogasi. Sementara massa berhenti memukulinya.
“Ayo ngomong!” hardiknya sambil mengguncang‑guncang tubuh Sukro. Sukro mencoba mengumpulkan kesadarannya. Ia ingin bicara tapi bibirnya pecah dan beberapa buah giginya rontok.
“Ampun, pak. Bukan saya…,” kata Sukro dengan terengah‑engah.
“Mau ingkar, ya?! Nih rasakan!” sebuah bogem mentah mendarat di pelipisnya dan membuat Sukro mencelat. Ia menggeliat di bawah kaki mereka, berusaha untuk bangun. Lalu ada seorang pemuda menarik lengannya. Ia menahan tubuh Sukro yang berdiri terhuyung‑huyung. Lalu tiba‑tiba ia melepaskan pegangannya dan secepat kilat melakukan tendangan putar. Sekali lagi Sukro terjerembab karena menjadi korban uji coba tendangan putar dari pemuda yang baru saja lulus ujian sabuk hijau tadi.
Beberapa tangan segera menariknya. Belum sampai berdiri, kembali ia dihajar bertubi‑tubi. Sukro tak kuat lagi menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, bahkan ia sudah hampir putus asa untuk  tetap bisa hidup setelah ini. Tapi di dalam benaknya ia masih belum berhenti minta ampun kepada Tuhan. Kalau memang ia harus mati, biarlah, asal di akhirat nanti ia tidak mendapat siksa lagi.
“Sudah! Sudah!” akhirnya ada yang memberi komanda untuk berhenti. “Sekarang kita bawa dia ke rumah Pak Erwe.”
Lalu beramai‑ramai mereka menggiring Sukro yang babak belur itu. Setelah sampai mereka menceritakan keja­dian tadi kepada Pak Erwe.
“Siapa nama kamu?” tanya Pak Erwe.
“Jadi sekarang kamu ngaku nggak kalau kamu itu maling,” desak Pak Erwe kepada Sukro.
“Iya, pak,” sahut Sukro lirih. “Dan dia itu pasti maling yang sering beraksi di kampung kita ini, pak!” langsung disambung oleh salah seorang penangkapnya.
“Benar?” selidik Pak Erwe.
“Tidak, pak. Baru sekali ini karena istri saya butuh biaya untuk melahirkan,” ungkap Sukro.
“Ah, itu kan alasan saja!” sangkal salah seorang dari ‘penonton’.
“Jadi kamu bukan yang sering mencuri di sini?” tanya Pak Erwe.
“Bukan, pak. Saya baru pertama kali ini.”
“Baiklah, akan kita serahkan orang ini kepada po­lisi,” putus Pak Erwe.
“Tunggu dulu, pak. Persoalannya harus jelas, kita harus tahu siapa yang sering mencuri di kampung kita ini!” cegah Bendhul, salah seorang pentholan pemuda di kampung itu. Sementara teman‑temannya yang lainpun mendukung.
“Iya, pak. Agar masyarakat kita tidak resah lagi. Kita harus dapat mengungkapnya.”
“Barangkali pengakuannya itu hanya dibuat‑buat saja supaya kita kasihan.”
“Coba sekali lagi kamu katakan dengan jujur. Kamu ngaku saja. Kamu sering mencuri di sini, nggak?!” Pak Erwe kembali menanyainya.
“Sumpah, pak. Saya baru sekali ini,” bantah Sukro.
“Brengsek kamu ya!” Tiba‑tiba Bendhul menarik kerah Sukro dan menempelengnya.
“Bendhul! Sudah!” Pak Erwe merasa tersinggung atas perbuatannya itu yang dianggap meremehkan kewibawaannya. Sementara Bendhul yang masih meluap‑luap emosinya dipe­gangi oleh orang‑orang di sekitarnya.
“Pak Erwe, kita harus selidiki siapa tahu dia punya kawanan,” kata Bagong.
“Ah sudahlah, itu biar jadi urusannya polisi saja. Lagi pula kalian kan sudah menghajarnya sampai babak‑belur begini. Itu namanya kalian sudah main hakim sendiri. Nah, Ahmad dan Rijal, kalian berdua ikut saya mengantar orang ini ke kantor polisi. Baiklah bapak‑bapak dan saudara‑saudara sekalian, masalah ini kita tuntaskan dulu sampai di sini karena malam sudah larut dan esok hari kita masing‑masing  punya tugas yang harus dikerjakan. Selamat malam,” akhirnya Pak Erwe membubarkan acara interogasi itu.
Mereka pulang dengan pikiran dan perasaan masing‑masing. Ada yang merasa lega karena malingnya tertangkap. Ada juga yang merasa menjadi hero. Tapi ada pula yang masih penasaran seperti Bendhul dan Bagong. Masing‑masing punya cerita untuk esok harinya.
Sukro yang malang kini meringkuk dalam tahanan. Sebuah pekerjaan yang sia‑sia. Bebannya kini bertambah berat. Bagaimana ia harus mencari biaya untuk operasi istrinya? Tubuhnya saja sudah hancur. Belum lagi hukuman pengadilan yang nanti harus dijalaninya. Kuat pulakah istrinya nanti menanggung aib ini di tengah masyarakat? Otaknya tak kuat lagi memikirkan itu semua, ia hampir putus asa.
Oh Tuhan…, suara batinnya tercekat. Hampir saja ia menuduh Tuhanlah dalang dari peristiwa ini. Seandai­nya dia tidak miskin atau seandainya tidak ada kelainan di kandungan istrinya.
Untunglah masih ada sepercik iman yang tersisa di kalbunya. Masih cukup kuat untuk mencegahnya bunuh diri.
Di lain pihak, Pak Erwe termenung memikirkan kejadi­an semalam. Biasanya dia sendiri juga ikut menghajar kalau ada maling yang tertangkap basah seperti si Sukro itu. Tapi tadi malam sebelum Sukro digelandang ke rumahnya, tiba‑tiba ada sepercik kesadaran di hatinya. Tentang apa saja yang telah dikerjakannya selama ini. Ia yang tidak peduli dalam mencari nafkah, halal atau haram. Korupsi, kolusi, manipulasi… semua pernah dilakukannya.
Ia tahu perbuatan seperti itu sangat tercela dan berdosa. Tapi di jaman ini bukan dia sendiri yang begitu. Hal ini sudah umum, lumrah. Orang‑orang yang berusaha untuk jujur sudah langka. Dan kalau ada, mereka sulit untuk berkembang dalam kehidupannya. Bukankah hidup di tengah masyarakat, kita harus punya prestise agar dihar­gai?
Tapi tadi siang hampir saja ia tewas digilas oleh truk ketika sepeda motornya selip di tengah jalan. Untunglah tubuhnya terguling di kolong truk itu, di antara roda‑rodanya. Ia selamat dan sepeda motornya juga selamat karena terseret aspal ke tepi jalan. Ia dan sepeda motor­nya tidak tergilas oleh truk itu!
Kejadian itu berlangsung di depan sebuah masjid tepat pada saat adzan zuhur. Sebagai ungkapan rasa syukur­nya ia mampir ke masjid itu untuk menghadap kepada Allah. Ketika itu ia begitu takut pada kematian. Dalam doanya, ia sampai bercucuran air mata karena haru dan syukur. Peris­tiwa itu telah membuatnya berpikir pada malam harinya. Ia merasa malu kepada Tuhan. Ia juga malu kalau ada orang lain yang mengetahui perbuatannya selama ini. Bahkan ia juga malu terhadap teman‑temannya yang sama‑sama koruptor atau pernah diajak kolusi.Lalu datanglah Sukro yang digi‑ring oleh orang banyak ke rumahnya. Sukro yang maling sepeda itu. Baru sekali mencuri tapi apes nasibnya. Mena­tap Sukro seperti menatap bayangannya di cermin. Tapi Sukro terlalu bagus untuk jadi bayangannya! Apalagi ketika benar terbukti istri Sukro menjalani bedah caesar di rumah sakit. Sukro mencuri karena terpaksa. Sedangkan dia, dia mencuri karena merasa masih kurang dan dengan cara yang lebih licik.
Sementara itu Bendhul dan Bagong, dua orang di antara pentholan pemuda kampung itu, menjalani hari‑hari­nya dengan biasa. Mereka tak punya pekerjaan tetap selain berjudi dan teler. Kadang‑kadang jadi makelar di antara teman‑temannya. Tapi lebih sering mereka mencuri ke kam­pung tetangga atau mengompas orang. Mereka berdua dan teman‑temannyalah yang paling bersemangat menghajar Sukro di malam itu. Maling berteriak maling, maling menghajar maling.
Sedangkan Prakoso, pemuda yang baru lulus ujian sabuk hijau, dengan bangga bercerita kepada teman‑teman­nya, terutama pacarnya, tentang kisah keberaniannya me­nangkap maling. Bagaimana ia memburu maling dan mengepung­nya bersama orang banyak. Dan tidak ketinggalan pula diceritakan bagaimana tendangan putarnya berhasil meroboh­kan si maling.
Sukro dijatuhi hukuman tiga bulan kurungan. Malang nasibnya. Tapi masih ada satu orang yang kasihan dan mau membantu kesulitannya. Seluruh ongkos perawatan dan opera­si istrinya ditebus oleh Pak Erwe. Tuhan, ampunilah dosa‑dosaku selama ini. Inilah sebagian uang rakyat yang kukem­balikan kepada mereka, bisiknya lirih dalam hati.
___________
Cerita pendek ini pernah dimuat di Harian REPUBLIKA pada tahun 2002. Pengarang: Syafruddin Hasani.

0 comments:

Post a Comment