Thursday 27 September 2012

Cerpen Cinta : Satu Cerita dari Nusantara

oleh Katarina Ningrum
Jika waktu dapat diputar kembali, sungguh Evita ingin mengulang semuanya dari awal. Awal pertemuannya dengan Bagas, hari pertama mereka mengobrol, saat-saat perdana ketika Evita menyadari bahwa mata Bagas begitu teduh dan menyenangkan.

Dan hari yang satu itu, ketika Evita memutuskan untuk keluar dari klub tari tradisional, dihantarkan oleh wajah Bagas yang kecewa dan selanjutnya tak pernah benar-benar menatap Evita sampai ke hatinya.

Evita dan Bagas hanya punya kesempatan berinteraksi selama tiga jam dalam seminggu, di klub tari tersebut. Mereka sama-sama berbakat, rajin, dan punya performa yang baik. Mereka mencintai Indonesia, karena itulah mereka ada di klub tersebut.

Tekad Evita untuk meninggalkan klub hanya didasari oleh satu hal: ingin berkonsentrasi di pelajaran, karena tuntutan tinggi jurusan IPA. Bagas menggelengkan kepala mendengar alasan tersebut.

“Tidak masuk akal. Kamu bukan robot ilmu, Evita. Kita manusia yang mencintai Indonesia, dan kita punya misi memperkenalkan budaya lewat tarian, kita punya cita-cita menari sampai ke luar negeri! Buat apa nilai Fisika seratus tapi cita-cita tinggal kenangan?”

Sela Evita, “Aku cuma bersikap realistis kok.”

“Tapi kamu bakal nari lagi kan, kalau sudah lulus nanti?” Bagas memberi dirinya harapan.

“Belum tahu,” Evita menjawab. “Mungkin aku langsung cari universitas bagus di Singapur.”

Bagas termenung. Berbulan-bulan yang lalu, Evita masih berambisi masuk sekolah seni di Yogyakarta. Mereka sepakat masuk bersama. Ada apa dengannya? Apa yang mengubah pikirannya? Doktrinasi masyarakat? Orang tua? Kerabat? Teman-temannya?

“Aku selalu jadi orang aneh di antara teman-temanku, di antara anak-anak IPA, selama setahun, dibilang manusia planet lain karena tak pernah serius belajar dan lebih doyan baca buku tentang wayang orang. Tahun ini, aku mau berbaur, aku harus meninggalkan dulu kealienanku.”

“Kamu bukan alien, Vit.”

“Bagas, kamu nggak pernah dianggap orang aneh, ya?”

Itulah pertanyaan terakhir yang diajukan Evita, yang lantas pergi dari ruang latihan tari yang sepi, hanya dihiasi cermin dan selendang-selendang bertaburan. Bagas sendirian di situ, memandang dirinya yang tak pernah merasa niatnya menjadi pelakon wayang orang itu aneh. Baginya semua cita-cita adalah wajar, dan kita tak perlu susah-susah menjadi seperti yang diminta massa.

Ia begitu kecewa, Evita yang ia anggap sebagai partner terbaiknya, pergi hanya karena panggilan masyarakat luas untuk berkamuflase sebagai bunglon, tidak menyala indah dalam kepribadiannya sendiri, dan Bagas punya alasan lain kenapa hatinya sekarang terasa hampa.

Bagas mengitari koridor dan sesekali mengintip ke dalam salah satu kelas jurusan IPA yang dihuni Evita. Diperhatikannya Evita tertawa, tampak normal berhiaskan senyumnya yang menggoda, dan seakan lupa pernah menjadi anggota klub tari tradisional.

Sekilas Bagas melamun. Ia juga dianggap orang aneh oleh teman-teman sekelasnya. Aneh, karena laki-laki mau ikut klub tari. Tradisional pula. Tapi setiap kali klub mereka manggung di pentas seni, toh semua orang mengakui tariannya memukau. Dia tetap tampak sangat maskulin, karena sifat dasarnya memang demikian. Dan tarian tradisional, misalnya yang terlihat pada pertunjukan wayang orang, tidak membuat laki-laki tampak lemah, justru sebaliknya!

“Bagas?”

Sekonyong-konyong Evita muncul di depan pintu kelas. Bagas mengerjap. Dia begitu merindukan sosok yang satu itu.

“Lagi ngapain?” sahut Evita agak dingin.

“Lagi lewat,” Bagas tak punya jawaban lain. “Kenapa keluar kelas? Kan lagi pelajaran.”

“Mau ke belakang.”

“Ya masuk lagi ke kelas dong, kan ke belakang bergerak mundur,” Bagas bercanda. Itu guyonan khas mereka kalau sedang suntuk di klub.

Aneh, kali ini Evita tak tertawa. Cuma tersenyum miris. “Udah ah, aku buru-buru nih.”

Lagi, Evita bergegas meninggalkan Bagas. Jiwa Bagas seperti terbang melayang entah ke mana, dan ia berjalan terseok-seok, kembali ke kelasnya di bagian depan gedung sekolah.

Klub tari terasa lebih sepi dari tahun lalu. Tidak banyak anak-anak kelas sepuluh yang masuk. Alhasil mereka cuma bersepuluh saja.

Bagas, sebagai senior, tampak paling rajin dan serius. Ia dijadikan pengganti pelatih kalau pembimbing mereka hadir terlambat. Tetapi pengganti khusus untuk kaum perempuan belum ditemukan, karena tak ada yang lebih bagus dari Evita.

Alhasil, Bagas melatih semuanya: laki-laki dan perempuan. Memang lelah dan butuh ketelatenan tersendiri karena tak semua orang di klub benar-benar sadar ritme, sadar gerakan, bisa bergerak gemulai atau sangat tegas, dan Bagas memang perfeksionis.

Di suatu siang, Bagas menunggu pembimbing mereka sambil memperbaiki gerakan-gerakan adik-adik kelasnya. Kemudian ia meninggalkan mereka sebentar karena baru ingat harus memulangkan buku temannya. Ia berkeliling selama 10 menit mencari temannya, dan sesudah bertemu, mereka bercanda tak keruan dalam hitungan 300 detik.

Ia cepat-cepat balik ke ruang klub. Betapa terkejutnya Bagas waktu melihat Evita melengang keluar melewati pintu ruang klub dengan santai.

Otomatis ia memanggilnya, “Evita!”

Evita menengok dan tersenyum samar. “Hei.”

Bagas yang tak pernah dibilang 'hei' refleks menimpali, “Namaku Bagas, bukan Hei.”

Lagi, senyum Evita seperti tertahan di dalam. Bagas lantas mengajaknya berlatih lagi.

“Nggak bisa, aku harus bimbel.”

“Bimbel?”

“Ya, buat ujian nasional.”

“Dulu kamu menghujat bimbel, Vit.”

“Sekarang nggak. Boleh kan orang berubah?”

Bagas tak dapat berkata-kata. Evita tampak berkobar, penuh pertahanan dan penyangkalan. Ia tahu dari sorot mata Evita yang binarnya beda dengan saat ia menceritakan hasil latihan tarinya. Binar tulus yang dulu terpancar dan sekarang Bagas rindukan.

Setelah Evita hilang, Bagas masuk ke dalam dan bertanya kepada adik-adik kelasnya, “Tadi Evita ke sini, ya?”

“Iya, Kak, gerakan kita dibetul-betulin, dikasihtahu caranya supaya gerakan bagus...terus pergi.”

Desah nafas terdengar. Bagas tahu, Evita masih mencintai dunia tari. Pasti ada sesuatu di balik ini yang mencengkeram Evita hingga ia tak berani menuntut cita-citanya lebih jauh. Bagas harus mencari tahu dan menumpasnya, seperti menumpas jamur sampai ke akarnya.

Bagas mengeruk info dari anak-anak IPA itu. Ketika memastikan Evita tak ada, ia menerobos masuk di jam istirahat dan ia mewawancara mereka.

“Eh, memangnya kalian sesibuk itu ya? Sampai keluar klub?”

Beberapa menjawab, “Lumayan sibuk.”

“Tujuan kalian apa sih?”

“Ya kuliah yang bener, dapet kerjaan bagus, terus mapan deh.”

“Udah, gitu doang?”

“Ya itu saya, nggak tahu yang lain.”

Rata-rata jawaban mereka agak mirip. Tetapi bagi Bagas, mereka memang terlihat baik-baik saja untuk hidup seperti itu—sesuai jalur tradisional modern—dan mereka bukan tipe orang yang punya cita-cita nyeleneh seperti Evita. Evita tiga bulan lalu.

“Ngomong-ngomong Evita doyan belajar nggak sih sebetulnya?”

“Nggak tahu.”

Salah satu anak menambahkan, “Dia kelihatannya berusaha keras sih, soalnya waktu kelas sebelas kan nilainya lumayan anjlok.”

“Tapi kasihan, dia nggak se-happy dulu.”

“Iya. Belakangan kayak yang tertekan.”

Bagas langsung mendapat pencerahan.

“Oke, makasih ya!”

“Sama-sama. Kamu anak klub tari kan?”

“Ya,” Bagas diam lagi ketika siap ngibrit. “Kenapa?”

“Evita keluar dari klub itu ya? Kenapa sih dia? Padahal dulu kayaknya getol banget ngentenin klub tari.”

“Itu dia yang lagi saya cari tahu. Jangan bilang Evita ya saya ke sini.”

“Oke.”

Bagas yang masih memikirkan Evita, disibukkan oleh rencana klub tari mengikuti festival kebudayaan bulan depan. Tiba-tiba saja waktu Bagas habis untuk latihan dan dia tidak kunjung bertemu Evita. Anak itu semakin susah dicari.

Tetapi di jam-jam latihan mereka, tanpa sepengetahuan Bagas, Evita seringkali berdiam di balik pintu hanya untuk mendengarkan lagu pengiring mereka, untuk mendengar suara pembimbing dan suara Bagas yang kencang membenarkan yang ngawur-ngawur.

Evita memeluk buku-buku pelajarannya dengan gelisah. Ia tahu, keputusannya salah besar—bagi dirinya, bagi klubnya, bagi Bagas... ia menyesal telah membuat semua orang kecewa. Namun ia juga takut larut dalam fatamorgana. Ia pikir dia dan Bagas bisa jadi lebih dari teman, tapi bagi Evita, Bagas sepertinya hanya menganggapnya teman satu klub, teman bicara, dan sesosok manusia yang harusnya mengejar cita-cita, bukan mendepak hobi demi studi. Satu hari sebelum surat perpanjangan keanggotaan klub diisi, Evita belum berpikir akan benar-benar keluar. Dia hanya mempertimbangkan banyak hal. Nilai, masa depan, dan Bagas. Dia bertahan selama dua tahun di klub karena berharap pada Bagas, yang tidak menunjukkan gejala-gejala jatuh cinta terhadap Evita, dan itu membuatnya putus asa.

Evita keluar untuk melindungi dirinya dari kenyataan yang bisa saja pahit.

Evita bersikeras bahwa Bagas terus berusaha menyapanya karena Bagas kehilangan teman satu klub yang dapat dijadikan pelatih untuk adik-adik kelas.

Evita terlalu takut untuk optimis lagi, setelah selama satu setengah tahun optimismenya tak berbalas.

Ia bergerak cepat menghindari Bagas ketika tampak tanda-tanda bubar klub tari. Segera ia pulang dan menenggelamkan diri dalam buku-buku pelajarannya, mencoba menghilangkan kegelisahannya karena telah kehilangan 3 jam penting bersama Bagas yang sudah menjadi rutinitasnya selama dua tahun.

Evita menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kencang. Fokus. Bukan waktunya lagi bermanja-manja. Lupakan tari, lupakan klub, lupakan Bagas. Belajar. Perbaiki nilai. Evita menunduk menghadapi studi rumus-rumus dan hafalan yang bercampur baur mengumpulkan air matanya di pelupuk, dan ia pun menumpahkan isi hatinya—sendirian.

Dilihatnya foto pertunjukkan wayang orang yang ia pajang di dinding kamarnya. Ia tercenung. Rama dan Sinta di sana, tampak anggun memesona dalam lakon kebanggaan Indonesia. Itulah cita-citanya. Itulah tujuannya. Sekarang ia mematahkan jalur menuju ke sana...

Festival kebudayaan diadakan di salah satu lokasi ternama. Acara itu merangkum kesenian, kuliner, dan segala macam yang berkaitan dengan Indonesia. Semua anggota klub tari merasa gugup ketika menyadari betapa besarnya acara tersebut dan mereka harus menampilkan satu pertunjukkan tarian daerah Indonesia Timur yang indah dan bersemangat dalam durasi lima setengah menit ditambah keberadaan dewan juri yang akan memberikan piala walikota bagi penampil terbaik hari itu.

Bagas berusaha menenangkan adik-adik kelasnya yang gugup. Jika ada Evita, pasti dia dapat menguatkan mereka dengan kalimat pamungkasnya: “Anggap aja itu penonton singkong keju! Kita menari buat diri sendiri, buat Indonesia, buat sekolah kita, bukan buat mereka.”

Pernyataan yang memutarbalikan profesi seorang entertainer, yang biasanya justru memuja pemirsanya.

Evita selalu punya prinsip, dia bukan orang yang menyerah pada kegrogian. Karena itulah pentas seni sekolah mereka selalu unik dan memukau, karena diselipi permainan panggung tari tradisional. Acara-acara kecil maupun besar di kota mereka jadi meriah, karena kehadiran klub tari SMA mereka. Semuanya karena Evita bersemangat dan berhasil menularkan tekadnya kepada seluruh penari.

Bagas memandang juniornya yang tampak berkerut merut takut salah.

Meluncur dari mulutnya, “Sudah, kalau udah di panggung, kita cuma bisa pasrah. Kita latihan satu bulan, dan sebelumnya kita pernah bahas tarian ini dan kita hafal sepenuhnya. Jadi kenapa mesti gugup? Kita pasti tampil mulus.”

Dan keluar juga embel-embel khas Evita, “Anggap aja itu penonton singkong keju melepuh, atau tahu hot jeletot...yah, terserah, pokoknya jajanan pinggir jalan yang enak! Kita kan nari buat Indonesia, bukan buat juri atau penonton. Yang penting sepenuh hati!”

Anak-anak tersenyum, senyum yang dalam sekejap meluruhkan ketakutan mereka.

Mereka tampil bagus. Tariannya mengagumkan. Tampak gagah, tampak bersemangat, dan terlepas dari daerah asal tarian tersebut, mereka membawakan aura ke-Indonesia-an yang memikat. Cinta-cinta kecil dalam lubuk hati mereka, cinta yang ditujukan untuk Indonesia, merekah keluar dan berpindah ke kalbu-kalbu lain di kursi penonton dan di belakang meja dewan juri. Membawa mereka ke panggung kembali setelah pertunjukkan berakhir dan menerima piala walikota.

Sayang, prestasi itu tidak memuaskan Bagas sama sekali. Ya, ia dapat tercengar-cengir gembira, tetapi ia merindukan Evita dan semangatnya, Evita dan impiannya yang dikoarkan berkali-kali setiap saat. Evita yang tiba-tiba hanya menyunggingkan senyum sayup ketika berbicara dengannya, setelah sebelum-sebelumnya selalu tersenyum lebar, bahagia, dengan mata berbinar, ketika mereka mengobrol atau bahkan hanya berpapasan di koridor.

Tanpa mereka ketahui, Evita ada di bangku penonton. Tahu bahwa ia seharusnya ada di sana, dengan wajah tersenyum, dan selepas pertunjukkan ia ingin berkata pada bahwa singkong-singkong keju tersebut sudah siap santap—dan mereka benar-benar akan mencari singkong keju yang lezat untuk dimakan bersama-sama.

Entahlah. Pikiran Evita terasa absurd. Di situlah tiba-tiba ia ingin menekan tombol rewind, yang dapat membuatnya kembali ke klub tari tanpa kehilangan setengah tahun. Ia akan tetap memiliki 3 jam istimewa bersama Bagas, plus jam-jam tambahan ketika akan tampil. Ia dapat menyelidik mata Bagas yang mendalam. Dan walau sesak hati, ia masih bisa berharap-harap—yang selalu membuatnya sanggup tersenyum meski tahu sepertinya harapannya akan kandas suatu saat nanti.

Jika saat ketika meletakkan kembali surat perpanjangan keanggotaan klub tari boleh didatangkan lagi, ia akan mengambil surat itu, menandatanganinya, dan tanpa keraguan tetap menari walau nilainya anjlok terutama ketika klub tari sibuk mempersiapkan penampilan.

Evita memang jadi lebih banyak belajar dalam waktu enam bulan terakhir. Ia memperbaiki nilainya. Ia memperoleh ilmu baru yang selama ini berada jauh dari otaknya. Tetapi satu pelajaran yang lebih besar, ia menyadari kebodohannya tidak dapat mempertahankan impiannya hanya karena masalah cinta. Juga ia tahu sekarang, percuma saja fokus belajar tanpa teman seperti Bagas, yang istimewa, ajaib, dan bahkan meskipun tidak balik menyukai Evita, tetap akan Evita sayangi.

Gadis itu berlari mengitari gedung pertunjukkan, mencari bagian pinggir panggung. Dilihatnya aneka manusia berkostum tari masih seliweran di sana. Ia mencari yang kostumnya hitam-hitam dengan ornamen dan bulu diselipkan di ikat kepala. Ia menubruk penari berselendang kuning. Ia menginjak kaki seorang cowok tanpa sepatu. Ia disapa oleh topeng Indramayu.

Dan akhirnya ia menemukan pembimbing klub yang tampak terperangah. “Evita?”

“Ya, saya,” Evita masih terengah-engah.

“Kamu nonton?”

“Ya.”

“Ya ampun,” pembimbing klub tampak kebingungan. Dia tidak tega berkata bahwa tadinya ia ingin mengajak Evita ikut serta dalam acara ini, tetapi karena dijelaskan alasan Evita keluar oleh Bagas, tidak jadi.

Evita tidak berbasa-basi lagi, “Ibu, Bagas di mana?”

“Di panggung.”

Evita merengut. “Panggung?”

“Nggak tahu tuh, barusan dia duduk sendirian di panggung kayak lagi nunggu ilham. Yah, kamu samperin aja.”

Menggeleng-gelengkan kepala, Evita berjalan sembari menyalami adik-adik kelasnya yang mengenalinya dan menyambut gembira. Ia lantas naik sebuah tangga dan membuka tirai yang membatasi panggung dengan ruangan penuh barusan.

Panggung besar itu lengang, hanya seorang Bagas, masih mengenakan kostumnya, duduk bersila dan memandang ke depan.

Suara Evita bergema dalam ruangan yang besar. “Bagas!”

Bagas pun menengok dramatis, tak percaya dengan penampakan di hadapannya. Dia bicara terbata-bata, “Ini...ini fatamorgana, ya?”

“Kamu kira aku mata air di gurun pasir apa!” Evita membentak saking bahagianya bisa mendengar candaan Bagas lagi.

“Kamu Evita atau Evita-Evitaan?”

“Evita beneran! Udah insaf! Mau nari lagi! Berhenti jadi anak kesetanan bimbel!” semburan kata-kata menghunjam hati Bagas seperti peluru, tetapi rasanya menyenangkan. Evita menghampiri Bagas sambil menahan tangisnya. Layaknya anak kecil yang polos, ia merengek, “Kangen...”

“Sini-sini,” Bagas segera membuka kedua belah tangannya dan bersiap memeluk.

Tetapi Evita bergerak mundur. “Apa?”

“Mau dipeluk, kan?”

“Kenapa?”

“Katanya kangen?”

“Percuma. Kamu nggak kangen, kan? Cuma butuh Evita supaya klub tari ada cewek cerewet yang hobinya ngomongin singkong keju tiap kali mau tampil.”

“Kalau kamu nggak pernah mengukir istilah penonton singkong keju, hari ini kita nggak dapet piala, tahu.”

“Tuh, kan.”

“Kamu kenapa, sih, Vit? Jelas bukan cuma gitulah. Kamu penting buat kita semua. Kalau nggak ada kamu, klub tari jadi garing, nggak ada yang selalu bersemangat, selalu sungguh-sungguh dan bikin kita semua ketularan cinta mati sama Indonesia. Kamu bagian permanen dari klub tari kita, begitu nggak ada, langsung berantakan. Sebagian kecil dari diri kamu bisa memotivasi kita, walaupun kita semua tetap kangen, terutama aku!”

Evita tak bergeming di tempatnya, semeter dari tempat Bagas berpijak. Dia mengatupkan mulut karena terasa sekali hampir meyeploskan perasaan terdalamnya. Tentang impiannya menjadi penari dan jika berkenan, perempuan istimewa untuk Bagas.

Ucapan Bagas berlanjut, sambil menatap lurus ke mata Evita, dikatakannya, “Kamu betulan mau masuk lagi klub?”

“Iya.”

“Nggak takut dianggap aneh?”

Evita manggut-manggut. “Nggak peduli, yang penting bisa nari dan tetap jadi aktris wayang orang.”

Bagas berjalan maju. “Nih ya, Vit, kita kan ketemu tiga jam seminggu, kalau lagi klub, ketemu yang lain cuma pas siap tampil di acara gede, atau waktu papasan nggak sengaja. Kamu mau nggak nambah jam main kita? Masa kita dua tahun nggak ada perkembangan apa-apa sih? Segitu-gitu doang ngobrolnya. Aku tahu kok, pasti isi kepala kamu masih lebih banyak dan bisa kamu bagi-bagi sama aku.”

Walau mesin penerjemah jiwa Evita mendadak tersentuh oleh kata-kata Bagas yang nyentrik barusan, ia masih mengerutkan dahinya ke tengah dan memandang Bagas tak percaya.

Sembari menahan pulasan senyum meledak yang seakan mau menginvasi wajahnya, Bagas berusaha menerangkan maksud tersembunyinya, “Jadi gini nih, Vit, misalnya, Malem Minggu kita jalan-jalan ke mana kek, nonton pertunjukkan tari kontemporer kek, biar nambah wawasan, atau gimana, sambil ngobrol, sambil...”

Bagas tak bisa meneruskan karena begitu kalimat terakhirnya selesai, ia akan berdebar-debar setengah mati dan pasti terlihat bodoh.

“Sambil apa lagi?” tanya Evita.

Akhirnya Bagas pasrah. Dia sudah di atas panggung, senjata terakhirnya hanya kepasrahan, ketulusan, dan akumulasi dari latihan-latihan—dalam kasus ini dari pertimbangannya sendiri.

“Ya, kita bisa Malem Mingguan tiap minggu, dan kalau nggak keberatan, aku mau ngegandeng tangan kamu sepanjang jalan.”

Emosi dalam diri Evita merekah keluar bersama dengan air matanya. Ia tertawa, sambil menangis, sambil berjongkok konyol, dan tak percaya diri. “Bagas, kamu bercanda ya?”

Bagas menarik tangan Evita supaya bangkit dari jongkoknya dan dalam hitungan detik setelah Evita berdiri dan berani menatap mata Bagas, segera sebuah dekapan rindu dan sayang menyatukan mereka.

Sepanjang kenangan nanti, panggung itu akan menjadi panggung terbaik yang pernah mereka injak, dan tadi adalah penampilan terbaik mereka. Tarian dari dalam hati, tarian cinta, yang telah melegakan jiwa masing-masing.

Bagas tersenyum senang. Evita tertawa bahagia. Semua anak klub tari mengintip dari balik tirai dan bersorak sorai tanpa suara. Lantas mereka pulang duluan tanpa mengabaikan keduanya. Bagas terpaksa kembali ke sekolah masih dengan kostum menari karena tas bajunya terbawa guru pembimbing mereka. Tapi tak apa, toh Evita menggandeng tangannya dan mengenakan bulu yang terkait pada ikat kepala. Biar malunya dibagi rata, katanya.

Mereka berjalan ke sekolah dengan riang dan bangga masih memakai ornamen asli Indonesia.

Bagaimana menurut kalian dengan cerpen cinta yang satu ini ? Moga kalian suka ya 

http://www.cerpencinta.co/2012/03/cerpen-cinta-satu-cerita-dari-nusantara.html

1 comment: