Friday 6 July 2012

Cerpen|Beast Ravenge


Lelaki itu kelabakan mencari tempat perlindungan. Dia terus mencoba membuka setiap pintu yang ditemuinya. Tapi semua pintu tidak mau membuka. Semua pintu terkunci!

Dia menatap ke balik punggungnya. Menatap tepat ke arahku. Rasa takut membayang di wajahnya yang dibanjiri keringat. Mungkinkah dia masih ingat dengan kejadian beberapa tahun lalu?

Meski belum pernah melihatku sebelumnya--secara langsung, Ini kali pertama kami bertemu, dia pasti ingat dengan apa yang telah diperbuatnya di masa lalunya. Menyuruh dan membayar orang untuk membasmi hama yang mengancam produksi perusahaannya. Dan kebetulan hama itu adalah kami. Orangutan.
***

Terdengar bunyi tembakan lagi. Terdengar bunyi ranting patah karena diinjak. Terdengar lolongan dari para orangutan yang mencoba melarikan diri. Terdengar teriakan para pemburu yang bersemangat menukar mayat kami dengan sejumlah uang. Tapi tak terdengar suara angin sekali pun. Seolah-olah mereka menyingkir, tidak ingin menyaksikan pembantaian yang dilakukan oleh para manusia.

Makin banyak bunyi tembakan. Beberapa orangutan yang berbadan besar, kebanyakan jantan, memutuskan untuk melawan. Mereka bergelayutan dari pohon ke pohon lalu menjatuhkan tubuh mereka yang bongsor pada para pemburu. Para pemburu tidak tinggal diam, tentu saja. Mereka makin brutal. Bersatu-padu, mengarahkan semua senapan demi menolong teman mereka.

“Cepat pergi!” Kata ayahku. Dia berusaha keras menyembunyikan kepanikan dalam suaranya, tapi dia gagal.

Ibuku bergeming. Aku melontarkan pertanyaan yang sebenarnya sudah jelas apa jawabannya, “Ayah tidak ikut?”

“Bawa dia pergi, cepat!” Lengking ayahku pada ibuku. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia bahkan tidak lagi menyembunyikan kepanikan dalam suaranya. “Mereka sudah dekat!”

“Ibu, yakinkan dia untuk ikut.”

Tapi ibuku sudah merengkuhku dalam pelukannya. Dia mencium suaminya--mungkin untuk terakhir kalinya. 

“Ucapkan selamat tinggal pada ayahmu,” katanya.

“Aku tidak mau,” rengekku. “Aku ingin dia ikut!”

“Dengar aku!” Ayahku mengguncang tubuh mungilku. Dia memaku tatapannya tepat ke mataku. “Sekarang kamu bukan lagi anak-anak. Sekarang kamu seorang pemuda.”

“Tapi...”

“Sekarang kamu seorang pemuda,” ulang ayahku, sengaja meninggikan suaranya. “Sekarang kamu yang bertanggung jawab untuk melindungi ibumu. Kamu sanggup?” Ada ketegasan dalam dua kata terakhirnya.

Aku tidak sanggup! Teriakku dalam hati. Aku cukup mengenal ayahku. Ketika dia memutuskan melakukan sesuatu, keputusannya tersebut tidak bisa diubah lagi. “Ya, aku sanggup!” Kataku lumayan lantang, mencoba meniru suara teriakan orangutan dewasa, tapi suaraku malah terdengar seperti cicitan bayi.

Kami kemudian berpisah. Melompat ke arah yang berbeda. Aku memandang ayahku hingga dia hilang ditelan pepohonan. Ibuku berusaha menahan jatuhnya air mata. Kubenamkan kepalaku ke tubuhnya dan mulai menangis sejadi-jadinya.

Kami mengira kami sudah cukup jauh merentangkan jarak. Tapi tak lama terdengar lagi suara ranting diinjak. Badan kami kontan menegang. Dugaan kami salah. Manusia pemburu itu tampaknya belum puas memisahkan kami dari kawanan hingga datang mengejar kami sampai kesini. 

Aku tahu ibuku kelelahan jadi aku menyarankan diri menyembunyikan diri kami di semak-semak sebelum mereka melihat kami. Dia menyetujui ideku. Matanya kemudian menyisir daerah sekitar kami dengan cepat. Sebenarnya ada banyak semak di sekitar kami. Tapi tak ada yang cukup besar dan lebar untuk menyembunyikan kami berdua. 

Kulirik sekilas tiga manusia yang berjalan ke arah kami. Sejauh ini mereka belum mengetahui keberadaan kami. Tapi sebentar lagi, setelah beberapa langkah, pada akhirnya mereka akan tahu. 

Di saat genting itulah ibuku membuat keputusan yang sama sekali tidak kusukai. “Diam dan jangan membuat suara!” Desisnya sambil menaruh tubuhku ke dalam semak di dekat kakinya. “Kali ini bersikaplah sebagai anak yang baik. Turuti kata ibu dengan--”

Dia belum sempat menyelesaikan kata-katanya. Dia bahkan belum mengatakan apa rencananya. Tapi para manusia yang tak sabaran itu, yang rakus, yang menganggap kami hama, sudah melontarkan pelurunya tepat di punggung ibuku. Mereka menembak tidak hanya sekali. Tapi beberapa kali!

“Ja-jangan k-keluar, s-sayang!” Di saat sekarat pun masih sempat-sempatnya ibuku memasang muka galaknya padaku!

Aku nyaris keluar dari tempat persembunyianku dan menyerang mereka. Tapi tubuhku terlalu gemetar. Aku terlalu takut. Tapi aku berusaha mengingat wajah mereka. Wajah tiga pemburu itu.

Sesaat setelah mereka pergi, dengan membawa mayat ibuku, tangisku pecah.
***

Tepat di hari itu keinginan untuk membalas dendam tumbuh subur di hatiku. Aku, dengan bantuan kawananku kini, berhasil menemukan tiga pemburu itu. Tapi mereka hanya orang lokal yang menginginkan hadiah. Bukan otak dibalik pembantaian orangutan--meski mereka memiliki cukup andil, manusia mana sih yang bisa menolak sihir uang?

Otak dibalik pembantaian kaumku sekarang berdiri gemetar di hadapanku. Dia sekarang berteriak-teriak panik memanggil pengawalnya.

“Percuma,” kataku. “Mereka tidak akan datang.”

Dia mendadak berhenti berteriak. Matanya menatap takjub. “Kau bisa bicara?!” Reaksinya sama dengan tiga pemburu yang membunuh ibuku. Mereka tidak percaya aku bisa bicara. 

“Kamu kira apa gunanya mulut ini?”

Dua orang sahabatku yang berdiri di belakangku--berkat bantuan mereka-lah kami bisa melumpuhkan semua pengawal rumah ini--kontan tertawa terbahak-bahak.

“Maksud dia, kenapa kamu bisa bicara bahasa manusia?” Sahut Septa setelah meredakan tawanya. Disampingnya Katai masih terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.

“Apa... Apa yang kalian inginkan?” Tahu kami bisa diajak bicara lelaki itu mencoba bernegoisasi dengan kami. “Kalian ingin uang? Kalian boleh meminta berapa pun juga--”

“Aku tidak ingin uangmu pak tua!” Aku mendekatinya dalam satu lompatan. Muka kami sekarang sejajar. Manusia dan orangutan. “Aku ingin nyawamu.”

Dia menelan ludah. Dengan susah-payah. “T-t-tunggu du-dulu, aku pu-pu-punya ti-ti-ga istri dan aku--”

Aku menikamkan pisau yang sedari tadi kusembunyikan di balik punggung. Tepat di jantungnya. Dia tidak menjerit. Aku menyumpal mulutnya dengan tangan kiriku. Matanya memancarkan kebencian. Kebencian yang dibawanya ke alam baka.

Kubiarkan pisauku tertanam di dadanya. Aku tidak berniat memilikinya lagi. Pisau itu sudah terkontaminasi oleh darahnya yang kotor.

“Kita pergi?” Tanya Katai setelah beberapa saat aku terdiam memandangi hasil perbuatanku.

“Kita masih ada rapat, ingat?” Bukan aku yang menjawabnya, tapi Septa.

“Maksudku, kita pergi menghadari rapat,” elak Katai. 
Septa mendengus. “Aqes,” dia menyebut namaku. “Kalau kamu ingin sendiri dulu...”

“Tidak,” aku berbalik menatap mereka berdua. “Aku pemimpin kawanan. Aku akan tetap hadir.”

***

Sudah banyak orangutan yang berkumpul di ruang rapat. Ruangan yang mampu menampung hingga 30 orangutan itu berdinding bambu dan beratap rumbia. Mulut-mulut yang tadi terbuka langsung tertutup begitu aku dan kedua temanku masuk dan menempati tempat duduk kami di depan ruangan. Dua orang orangutan betina berdiri sambil mengangkat kantong anyaman berisi pisang berukuran besar lalu membagikannya pada hadirin. Termasuk kami.
Itu sudah menjadi kebiasaan kami. Tapi tak satu pun dari kami menyentuhnya sebelum rapat selesai. 

Lalu kenapa dibagikan bila tak boleh dimakan saat itu juga? Ini ide Septa. Pembagian pisang ini adalah semacam tes kesabaran. Selama empat kali rapat, hampir 10 orangutan dikeluarkan, tidak diikutsertakan dalam rencana. Siapa tahu ketidaksabaran mereka malah membuat berantakan rencana yang telah disusun dengan baik.

Aku menunggu dua betina itu duduk kembali ke tempatnya sebelum menatap satu-persatu wajah mereka yang hadir. Mereka balik menatapku. Seolah siap melakukan apa pun yang sebentar lagi aku ucapkan.

“Hakam, bagaimana perkembangan ulat bulu?” Kepalaku menoleh pada orangutan berbadan ramping dan tinggi yang duduk di bangku deretan depan di pojok paling kanan.

“Mereka setuju membantu kita,” jawabnya. “Bahkan beberapa dari mereka sudah menyerang pemukiman manusia.”

“Bagus,” kataku sambil manggut-manggut. Hakam tersenyum bangga. “Kapu?”

Orangutan yang duduk di baris tengah, nomor dua dari kanan, kontan menundukkan tubuhnya. “Serangga tomcat tidak bersedia membantu kita,” cicitnya. “Maaf--”

“Kamu tidak perlu meminta maaf,” potongku. “Aku punya rencana agar mereka mau membantu kita.”

“Bagaimana caranya?” Tanya Katai. Gelombang tanda tanya tiba-tiba terbentuk di ruangan itu.

“Dengan memanfaatkan wereng dan para tikus,” kataku dengan nada puas. “Sudah kamu urus kerjasama kita dengan dua 'pejuang' itu kan, Septa?”

“Tentu saja,” jawab Septa.

“Tapi bagaimana bisa hama seperti mereka...”

“Pejuang,” aku mengoreksi kata-kata Katai. Aku benci kata hama itu.

“Terserah,” kata Katai acuh.

“Mereka akan membuat panen gagal. Tikus akan merusak areal persawahan yang merupakan habitat tomcat. Dan setelah itu...”

“Mereka pindah tempat tinggal ke pemukiman manusia,” kata beberapa orangutan serempak, termasuk Septa.

Seekor orangutan yang duduk di deretan belakang mengacungkan tangannya.

“Ya, Meha?” Meha adalah orangutan termuda di ruang rapat ini.

“Lintah,” kata Meha, tapi suaranya kemudian menghilang.

“Ada apa dengan lintah? Mereka nyaris punah karena ulah manusia?”

“Jumlah mereka memang menyusut, pak. Tapi bukan itu yang ingin saya beritahukan pada anda,” dia berhenti sejenak untuk mendapatkan perhatian seluruh hadirin. “Mereka setuju ikut bagian dari rencana kita. Dan kini mereka telah mengerahkan kekuatan penuh di pemukiman manusia di kota Demak.”

“Itu berita bagus!” Aku bersorak gembira. Begitu pula seluruh kawananku yang menghadiri rapat ini. Tampaknya rencana kami mencari dukungan sebanyak mungkin, sejauh ini, berjalan dengan baik.

Kebencianku pada manusia tampaknya tumbuh subur jauh dari perkiraanku. Awalnya aku hanya ingin membalaskan dendam kematian kedua orangtuaku, tapi kemudian rencana itu berkembang menjadi lebih besar. Dan aku mendapat dukungan. Tidak hanya dari kawananku. Aku bertemu banyak hewan yang menyimpan dendam sama besarnya pada manusia. Mereka tidak terima habitat mereka, keluarga mereka, keberlangsungan hidup mereka yang seolah tidak ada artinya bagi manusia--selain bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kantong-kantong mereka yang menyerupai mulut yang kelaparan, direnggut begitu saja dari tangan kami. Dan kami mempertanyakan hal yang sama. Bagaimana bila kejadian itu terulang lagi? Bagaimana bila manusia-manusia dengan senapan apinya datang lagi untuk membantai kami? 

Dari dua pertanyaan tersebut, terbersitlah ide rencana mengambilalih bumi di benakku.

Sudah cukup kami mempercayakan nasib kami pada ras manusia. Memang siapa mereka berani-beraninya melabeli kami sebagai hama dan lalu mengeksekusi kami kapan saja sekehendak hati mereka? 
Sudah saatnya kami menunjukkan kekuatan kami. Sudah saatnya kami, hewan-hewan yang diberkati, memperjuangkan hak-hak kami.

Mungkin ramalan 2012 suku Maya, yang sering diperbincangkan manusia, sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Sebab gaya hidup mereka, para manusia, akan segera berubah. Menjadi budak para hewan. 


-------------------------------------------------------
http://junnotes.blogspot.com/2012/04/beast-revenge.html

1 comment: