Sunday 29 July 2012

Cerpen|[ECR] Edelweis Dalam Pelukan Kabut Senja



13435606042120341453
Sinar matahari menembus kaca jendela bus yang di tumpangi Asih. Dia lalu menarik kain yang menjadi sampiran jendela hingga menghalangi cahaya yang menerpa wajahnya. Sejak tadi meski kantuk menyerangnya, Asih tak bisa memejamkan mata. Matanya yang sembab mengundang perhatian penumpang lain namun Asih tak peduli. Saat ini tak ada hal lain dipikirannya selain Firman. Lelaki yang dicintainya namun telah  pergi menghadap Ilahi. Meninggalkan sejuta kenangan dan kepedihan yang tak bisa dia hindari.
Batinnya terguncang. Serasa hampa dan tak ada harapan untuk melanjutkan hidup. Asih terkurung dalam kamarnya, menghindari orang-orang yang selama ini mengasihinya. Banyak pesan yang masuk dalam handphonenya, berharap dia tabah. Telpon mas Hans dengan suara tertahan makin menambah kepedihan itu.
“Sabar ya, Asih..” helaan nafas mas Hans terdengar dari seberang.
“Iya, mas..” balasnya dengan berurai air mata.
Menjelang tujuh hari kepergiaan Firman, Asih memilih pergi meninggalkan Desa Rangkat. Keputusan yang hadir setelah dia membaca surat pertama dari Firman. Lelaki itu menitipkan beberapa amplop yang telah diberi nomor. Mungkin petunjuk agar dia membaca sesuai urutan nomor tersebut. Berhari-hari menangisi kepergian Firman hingga dia terlupa ada surat yang dititipkan Firman untuknya. Tengah malam dia teringat. Walau tak paham akan maksud pemberian nomor tersebut, Asih tetap membaca
Assalamu Alaikum Wr. Wb..


Mbak Asih, surat ini berisi suara hatiku. Lama saya merenung dan memikirkan hingga akhirnya saya memilih untuk menulis surat untukmu. Rasanya saya tak mampu jika harus berhadapan dan menyampaikan keinginan hati. Kerinduan dan segala hal yang menyangkut masa depan kita berdua menyadarkan saya akan keterbatasan waktu.


Sesuatu telah terjadi dan itu sangat menyakitkan. Saya tak ingin mbak Asih ikut merasakan. Biarlah saya saja yang merasakan kepedihan ini. Saya yakin, jika mbak tahu, bahkan saya pun tak mampu menahan gejolak batin mbak.


Ini surat pertama. Jika saya tiada, datanglah ke desa tempat pertama kali kita bertemu. Ada sesuatu yang ingin saya perlihatkan pada mbak Asih. Meski pergi sendiri, anggap saja saya juga ikut menyertai mbak dalam perjalanan. Percayalah cinta itu akan selalu mengiringi langkah mbak meski saya tiada..”


Asih menghentikan membaca dan menghapus airmata yang mengalir deras di pipinya. Lama dia menenangkan diri lalu melanjutkan membaca surat tersebut.


Saat menulis surat ini, saya tidak dapat menahan kesedihan. Maaf jika harus memberikan duka ini kepada mbak. Tidak ada maksud untuk membuat mbak bersedih. Saya tak ingin berbagi duka, hanya ingin mencurahkan rasa yang seharusnya mbak tahu. Tak ada gadis lain yang ingin saya jadikan tempat berbagi suka dan duka selain mbak. Sayang waktu tak bersahabat.


Setelah tiba disana dan menemukan apa yang ingin saya perlihatkan pada mbak, maka bacalah surat yang ke dua. Di surat itu  ada permintaan lagi dari saya, semoga keinginan saya dan keinginan mbak tetap sejalan meski saya telah tiada.


Saya tak ingin mbak menangis karena kesedihan, cukuplah air mata itu saat saya tiada. Batin saya perih jika mengingat harus meninggalkan mbak Asih dalam kesedihan. Semoga waktu bisa mengobati segala kepedihan dihati kita.


Wassalam


With love,


Firman
Tak ada yang tahu kepergiaan Asih. Selesai sholat subuh  dia  bergegas meninggalkan rumah dan hanya menitipkan pesan pada ayahnya, pak Windu Hernowo. Pesan yang singkat namun dia yakin, ayahnya akan mengerti.
Dengan menenteng tas kecil dan ransel di punggungnya Asih melangkah menembus kegelapan dan kabut yang menyelimuti Desa Rangkat. Lampu-lampu  terlihat seperti titik-titik embun membayang di matanya yang berkaca-kaca sejak menjenjakkan kaki di jalan berbatu yang sebentar lagi akan berubah menjadi aspal.
***
Menjelang sore Asih tiba di tujuan. Desa yang penuh kenangan karena merupakan tempat pertama kali dia dan Firman bertemu. Desa yang menjadi saksi perjalanan hidupnya saat dia terjatuh dan mulai menata kehidupannya. Semua tak lepas dari sosok Firman yang telah membantunya melewati hari-hari sulit kala itu ketika Asih di dera permasalahan rumah tangga yang sangat menyakitkan hati.
Sejak turun dari bus, Asih seolah melalui kembali kenangan bersama Firman. Desa yang terletak di tepi laut dengan bukit penuh ilalang yang nampak indah dari kejauhan. Pantulan sinar keemasan dari laut biru yang berpadu dengan cahaya mentari terasa menyejukkan hati. Batu karang yang menghiasi sepanjang pinggir pantai menggoreskan memori masa lalu yang takkan pernah terlupakan.
Asih melangkah menyusuri bukit yang dipenuhi ilalang. Sesuai surat dari Firman yang memintanya untuk datang kembali ke tempat pertama kali mereka bertemu. Ilalang ini menjadi saksi ketika dulu dia dan Firman bertemu. Setelah insiden di tepi laut saat Asih hampir terjatuh dan Firman menolongnya, mereka sering melewati bukit penuh ilalang ini jika ingin menikmati keindahan laut saat sore hari.
Asih terus melangkah dengan pikiran mengembara ke masa silam. Tak terasa dia tiba di pinggiran bukit. Matanya mulai panas saat melihat batu karang tempat dia berpijak ketika terjatuh dulu dan Firman menolongnya.
“Apa maksudmu mas Firman memintaku kembali ke tempat ini? Tanpa mas minta, saya pasti akan kesini. Apa yang ingin mas perlihatkan padaku?”
Asih terisak tanpa berusaha untuk menghapus air matanya. Dia diam terpaku tak ingin melanjutkan langkahnya.
“Akhirnya, mbak Asih benar-benar datang..”
Suara lelaki mengagetkan Asih. Dia menoleh dan terpana melihat sosok pria yang mendekatinya. Tubuhnya bergetar menahan perasaan rindu, gelisah dan cemas yang datang bersamaan. Asih yakin saat ini dia berhalusinasi dengan hayalannya, namun dia tidak ingin berhenti. Membiarkan dirinya terbawa arus hayalan yang mungkin telah mencapai titik tertinggi.
Makin dekat, tubuh Asih makin menggigil.
“Mas Firman..” panggilnya dengan airmata berderai. Senyuman lelaki itu makin meyakinkan Asih jika saat ini dia berada dalam halusinasi bukan nyata.
Lelaki itu hanya tersenyum. Mengulurkan saputangan untuk menyeka air mata Asih yang hanya diam terpana menatapnya.
“Mas Firman?” panggil Asih lagi. Lelaki itu kembali tersenyum. Asih tak tahan lagi. Dia menyentuh jemari lelaki itu. Menurunkan tangannya perlahan dan menatap wajah lelaki itu. Sikap yang tak biasa namun Asih takut kehilangan kesempatan bertemu dengan Firman. Dia berdoa semoga waktu berhenti dan memberinya kesempatan untuk meluapkan rasa rindu pada Firman.
“Maaf mbak Asih. Saya Abi bukan Firman..”
Suara lelaki itu seolah menyadarkan Asih dari mimpinya. Sekitar berubah terang tak lagi dipenuhi awan-awan yang tadi hadir mengelilingi mereka. Asih mundur menjauh beberapa langkah dengan raut wajah tak percaya.
“Tidak!mas Firman berbohong kan? Untuk apa mas memintaku kembali kesini jika bukan untuk bertemu kembali?” ucapnya dengan air mata berlinang.
“Tapi ini benar, saya bukan Firman. Saya Abi, sahabat Firman.”
“Tidak mungkin! Tolong jangan mempermainkan saya, mas Firman. Saya tidak percaya, ini pasti mas Firman yang datang untuk pamit terakhir kali kan?” Asih masih dengan keyakinannya.
Mimik wajah lelaki itu berubah serius. Dia mengeluarkan kertas dari saku bajunya dan memperlihatkan pada Asih.
“Ini surat dari Firman yang memintaku datang ke tempat ini. Sudah beberapa hari ini, saya datang dan menunggu kedatangan mbak Asih tapi mbak tidak juga muncul. Tadi sebenarnya saya ragu bahkan nyaris membatalkan niat ketempat ini tapi sesuatu dari dalam hati seolah mendorongku untuk datang kembali. Ternyata benar, mbak Asih benar-benar datang.”
Asih termangu seolah tak percaya dengan ucapan lelaki itu. Jika benar ini bukan halusinasi, mengapa wajah mereka begitu mirip?
“Saya paham maksud Firman karena kami bersahabat. Tanpa dia jelaskan tujuannya saya pasti akan mengerti. Apalagi masalah ini telah dia ungkapkan sejak lama. Saya tidak ingin menjadi sahabat yang melukai hatinya.”
Asih diam makin tak mengerti ucapan Abi.
“Benarkah mas bukan mas Firman?” akhirnya terlontar pertanyaan penuh keraguan dari Asih. Sejak Abi mengakui dirinya bukan Firman dan terus meyakinkan Asih, perempuan itu mulai memperhatikan setiap detil dari sosok lelaki tersebut.  Dan benar saja, meski terlihat sama namun ada perbedaan dari mereka berdua. Jika Firman terlihat tenang dengan sorot matanya yang teduh, maka sosok Abi nampak tegas dengan mata hitamnya yang seolah tersenyum tiap kali menatapnya. Pancaran kasih sayang sangat terasa.
“Mbak Asih, Firman sudah meninggal. Bagaimana mungkin dia datang kembali dan menemui mbak. Ini saya Abi, sahabat Firman.” Ulang Abi kembali berusaha meyakinkan Asih.
Asih menunduk. Menyadari kekeliruannya membuatnya sedih. Ternyata dia bukan mas Firman, batinnya. Tak ada lagi kegembiraan saat pertama kali melihat Abi yang dianggapnya Firman.
Meski sama, tapi dia bukan mas Firman, bisik hatinya sedih.
Tiba-tiba Abi mendekatinya, meraih tangannya lalu menangkup dengan kedua tangannya.
“Mbak Asih, saya bukan  Firman. Semoga mbak tidak kecewa, tapi percayalah cinta yang kami miliki berdua sama. Walau saya belum pernah bertemu dengan mbak, tapi dari cerita yang dia sampaikan ketika kami bertemu dulu, jujur hadir perasaan yang khusus untuk mbak.”
“Abi, maafkan saya. Saya tahu sekarang ini Abi hanya ingin menyenangkan saya. Itu benar, kan?”
Abi tergelak.
“Mbak Asih, ini bukan saatnya bercanda. Lepas dari keinginan Firman agar saya menjaga mbak Asih, mendampingi mbak Asih, menjadikan mbak Asih sah dalam kehidupan saya. Sejujurnya saya juga memiliki keinginan seperti itu. Tapi tidak mungkin saya harus bersaing dengan sahabat saya sendiri. Karena itu ketika dia meminta saya menggantikan posisinya dengan segala alasan yang masuk akal, saya tidak menolak. Mengabulkan keinginan orang yang akan menemui ajalnya, bukankah itu tindakan mulia? Apalagi ini permintaan dari sahabat sendiri.”
“Itu permintaan mas Firman?”
Abi mengangguk cepat.
“Tapi tak ada pesan dari mas Firman untuk saya. Lagipula andai ada pesan seperti itu, maafkan saya karena tidak bisa menerimanya. Mas Firman dan Abi sangat mirip tapi kalian bukan orang yang sama. Cinta saya hanya untuk mas Firman. Maafkan saya..”
Asih berbalik lalu melangkah menjauh melewati ilalang yang tinggi. Abi tertegun menatap tubuhnya yang makin menghilang dibalik rimbunan ilalang. Tiba-tiba Abi tersadar lalu berlari mengejar Asih yang belum jauh. Langkahnya terburu-buru nyaris berlari sambil menangis.
“Mbak Asih!” panggilnya. Asih berbalik sejenak lalu berlari ketika melihat Abi mengejarnya.
“Mbak Asih! Tunggu dulu!”
Abi terus mengejar dan akhirnya berhasil merengkuh bahu Asih menahan tubuh perempuan itu agar tak terus berlari.
“Mas Firman baru saja meninggal, jangan ucapkan hal yang tidak masuk akal. Saya tidak percaya ada pesan seperti itu!” jerit Asih mengibaskan tangan Abi lalu melangkah meninggalkan pria itu.
“Tapi itu benar, mbak. Tolong jangan buat saya jadi serba salah. Keinginan mbak dan keinginan saya, sekarang itu tidak penting lagi. Yang kita bicarakan saat ini adalah keinginan  Firman selama hidup. Sekarang Firman sudah meninggal, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Mengapa kita tidak mewujudkan keinginannya agar arwahnya tenang di alam sana. Kalau mbak Asih tidak mencintai saya, itu bukan masalah. Asal kita bersama sesuai pesannya, itu saja sudah cukup. Saya akan sabar menanti hingga mbak bisa mencintai saya sebagai Abi bukan Firman.”
Ucapan tegas dari Abi menghentikan langkah Asih. Dia berbalik menatap pria itu. Mencoba mencari keseriusan dari ucapannya.
“Jika mbak Asih berkenan, temui saya. Saat ini saya tinggal di dekat mesjid. Saya akan menunggu dua hari dari sekarang, jika lusa sore mbak Asih tidak muncul. Maka saya akan meninggalkan desa ini dan terus melanjutkan hidup saya. Meski saya mencintai mbak Asih tapi saya tidak ingin memaksakan kehendak. Pesan dari Firman sangat penting, tetapi yang akan menjalani adalah mbak Asih, tidak adil jika mengabaikan perasaan mbak. Saya permisi dulu..”
Abi kemudian melangkah mendahului Asih. Terus melangkah tanpa sekalipun menoleh kebelakang. Abi tidak menyadari pandangan Asih yang terus tertuju padanya hingga tubuhnya menghilang di balik bukit.
***
Selepas kepergian Abi, Asih kembali ke pinggir laut, memandang hamparan batu karang yang menghiasi tepian laut. Ucapan Abi membuat pikirannya bimbang. Meski Firman telah meninggal namun dia masih menjadi pemilik hatinya hingga saat ini. Asih teringat dengan surat Firman untuknya. Dia membuka tas lalu mengeluarkan beberapa amplop, segera di ambilnya amplop nomor dua lalu membaca isinya.
Assalamu Alaikum Wr. Wb…


Mbak Asih, percayalah rasa cinta dan sayang dalam hatiku sangat besar untuk mbak. Dalam setiap doa, saya selalu meminta agar Allah SWT selalu memberikan kebahagiaan untuk mbak. Karena itu, saya tidak ingin mbak terluka dan merasa sedih. Batin saya tersiksa sejak mengetahui penyakit saya.


Rezeki, jodoh dan kematian semua Allah yang mengatur, tidak sepantasnya saya pesimis dan menganggap usia saya tidak lama lagi. Tapi tetap kekhawatiran itu ada, mbak. Membuat saya terus menghindar agar tak meninggalkan duka dalam hati mbak.


Jika mbak Asih bertemu dengan Abi, tolong ikhlaslah menerimanya. Anggap dia adalah pengganti diriku walau saya tahu hati mbak tidak akan semudah itu menerimanya. Tapi sejujurnya, saya ingin mbak Asih bersamanya. Batin saya tenang meninggalkan mbak Asih  bersama seseorang yang saya percaya. Jika belum bisa mencintainya, tolong anggap ini sebagai wujud cinta mbak Asih pada saya.


Surat ketiga dari saya nanti mbak Asih buka setelah menikah dengan Abi.


Wassalam,


With love,


Firman
Pikiran Asih berkecamuk. Bingung. Ternyata Firman benar-benar berpesan dalam suratnya, hanya saja dia terlambat membukanya. Asih makin ragu, memilih Abi berarti dia harus siap melupakan Firman. Namun jika tak memilih Abi, maka tidak ada pembuktian cintanya pada Firman. Dia harus memilih yang mana? Dalam hati Asih tidak ingin menggantikan sosok Firman dengan siapapun. Baginya, Firman adalah lelaki terakhir yang singgah dan mengisi hatinya hingga ajal menjemput.
Asih berada di pantai hingga sore menjelang. Langkahnya lunglai menuju penginapan yang ada di desa tersebut. Setelah memesan kamar dan mendapatkan kunci. Asih bergegas masuk. Penginapan sederhana, hanya terdiri dari sebuah tempat tidur kecil dan meja tanpa kursi. Namun bagi Asih asal ada tempat berteduh, baginya sudah lebih dari cukup.
Asih meletakkan tas dan ransel diatas meja lalu merebahkan tubuhnya. Pandangannya sayu menatap langit-langit kamar. Diliriknya jam tangan, waktu berbuka puasa tidak lama lagi. Dari mesjid juga telah berkumandang lantunan ayat-ayat suci A-Quran. Tiba-tiba terbayang wajah Firman yang tersenyum padanya. Asih menitikkan air mata.
Hari pertama, Asih teringat ucapan Abi padanya. Benarkah pria itu akan meninggalkan desa ini dan menghilang, jika dia benar-benar tidak menerima lelaki itu menjadi pendamping hidupnya? Asih galau sepanjang hari. Gelisah dan hanya diam dalam kamarnya. Dia bingung hendak memutuskan masa depan cintanya.
Malamnya, Asih bermimpi bertemu Firman dan mereka saling melepaskan rindu. Asih bahagia dan menangis saat terbangun. Hingga sahur tiba, dia masih saja terisak didalam kamarnya. Asih teringat mimpinya ketika Firman menarik tangannya dan tangan Abi lalu menyatukannya dengan wajah tersenyum.
“Mas Firman, inikah keinginanmu?apapun keinginanmu akan saya turuti sebagai bukti kalau saya sangat mencintai mas..” ucap Asih dengan suara lirih.
***
Pintu rumah Abi tertutup ketika Asih tiba. Dia cemas membayangkan jika benar pria itu telah pergi meninggalkan desa ini tanpa menunggu keputusannya. Tapi bukankah ini belum sore, baru juga jam dua siang. Apakah Abi pergi lebih cepat dari jadwalnya? Asih makin panik. Mengetuk pintu tidak lagi pelan. Sekarang lebih keras ketukannya hingga seseorang menyahut dari belakang membuat Asih berbalik kaget.
Seketika Asih merasa lega saat melihat Abi dengan senyum manisnya. Pria itu ternyata belum pergi. Abi melangkah mendekatinya lalu membuka pintu. Sejenak suasana terasa kaku karena Abi tak mengucapkan sepatah katapun. Asih makin grogi. Haruskah dia yang memulai lebih dulu?
“Abi..” panggilnya. Pria itu memandangnya menambah kikuk Asih yang tubuhnya  mulai gemetaran.
“Ya?”
“Permintaan yang kemarin, saya setujui..” suara Asih pelan.
“Permintaan yang mana?”
Mata Asih membulat heran. Ada apa dengan pria ini kemarin dia terlihat bersungguh-sungguh. Mengapa sekarang sikapnya berubah drastis?
“Tentang pesan mas Firman..”
“Pesan yang mana?” Abi bertanya lagi yang membuat Asih makin bingung dan kini mulai kesal.
“Pesan yang kemarin Abi sampaikan..” Asih berusaha menahan kesabarannya.
“Yang mana?” Abi mengulang tanya. Asih kesal. Merasa di permainkan dia berdiri.
“Tentang keinginan mas Firman agar kita menikah. Saya setuju untuk menikah denganmu..” selesai berkata Asih bergerak menuju pintu. Sekarang dia makin yakin jika Abi hanya mempermainkannya. Tiba-tiba Abi menarik tangannya hingga tubuh mereka sangat dekat.
“Maafkan saya. Saya tidak ingin mempermainkan. Tanpa kata-katapun saya tahu, mbak Asih pasti setuju. Dengan datang sesuai batas waktu yang saya berikan, itu sudah jawaban bahwa mbak Asih menerima saya. Terima kasih. Ini bukan lagi tentang Firman, tapi tentang saya. Saya benar-benar bahagia.” Ucap Abi sambil menggenggam erat jemari Asih.

Sumber :http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/07/29/ecr-edelweis-dalam-pelukan-kabut-senja/

0 comments:

Post a Comment