Sunday 29 July 2012

Cerpen|Beringin Mawar


BERINGIN MAWAR

karya Bing


Ini adalah zaman ketika dunia masih gersang dan nyaris mati, dimana dunia masih berketopong awan kelam yang antagonis. Semua daerah persawahan kering kerontang dan nyaris mati. Air terasa asin, dan orang harus menggali begitu dalam untuk memperoleh air, itupun berlumpur dan harus disuling dulu. Akibatnya, tanah menjadi sulit sekali diolah, membuat makhluk-makhluk yang hidup di sana menjadi liar dan buas, tak jarang kanibal.

Pada sebuah desa, ada seorang Kakek Tua yang sudah puluhan tahun mengolah sawahnya yang masih saja gersang dan hanya menghasilkan butiran-butiran gandum jelek. Kakek Tua masih terus mengolah sawahnya sekalipun teman-temannya yang lain sudah beralih profesi menjadi pemburu.
“Tinggalkan sawahmu, ayo berburulah, demi keluargamu juga.” Saran temannya.
“Tidak mau. Kalau kita terus membunuh hewan, kelak saat hewan habis, kita akan membunuh sesama kita untuk makan hari ini.” Ujar Kakek Tua.
Kakek Tua memiliki seorang cucu, seorang bocah bernama Bebas. Ketika Bebas sedang bermain di sawah kakeknya, ia menemukan sebuah benih pohon yang berkilauan. Benih tersebut terlihat begitu menarik dan istimewa sehingga Bebas sangat tertarik padanya.
“Kau suka benih itu, Bebas?” Kakek Tua menghampirinya.
Bebas menyembunyikan benih itu dalam genggaman tangannya dan diposisikan tangannya di belakang pinggangnya. “Ini milikku.”
“Tapi kau menemukannya di ladangku, dan sekarangpun kita masih berdiri di atas ladangku. Bagaimana mungkin itu menjadi milikmu hanya karena kau yang memungutnya? Kau bahkan tidak tahu benih apa itu.” Ledek Kakek Tua sambil tersenyum jenaka.
“Untuk apa aku tahu benih apa ini, aku hanya menginginkannya maka ini akan menjadi milikku.” Si bocah bersikeras.


Kakek Tua menarik otot wajahnya sedikit sehingga kerutan-kerutan di wajahnya tampak menampilkan sebuah senyum yang tipis. “Baiklah bila kau menginginkannya, kau bebas menanamnya.”
“Karena aku tidak punya ladang, maka aku tanam benih ini di salah satu sudut ladangmu. Tapi ingat, ini tetap milikku. Kau tidak boleh ikut campur.” Kata Bebas.
Kakek Tua tidak hanya tersenyum kali ini, ia tertawa. “Baiklah, Bebas. Aku akan memberikanmu tempat terbaik bagi benih itu, karena benih ini sangat spesial. Kau tahu, namanya adalah …”
“Ah, cerewet, aku bukan petani sepertimu dan aku tidak ingin menjadi petani. Aku hanya ingin pohon beringin, dan benih ini akan kujadikan pohon beringin yang kuat dan kokoh. Dan aku akan menanamnya di titik ini juga.” Bebas pun berjongkok dan menanam benih keemasan tersebut di tempat ia berpijak saat itu juga.
Kakek Tua tidak lagi tersenyum-senyum sendiri menertawakan antusiasme cucunya. Baginya, sekarang sudah menjadi pembahasan yang serius. “T, tapi, Bebas, di dunia yang kering kerontang dan gersang ini, tempat ini yang paling buruk. Dekat dengan tempatku membakar sampah, banyak batu dan semak berlukar … rerumputanpun tidak tumbuh subur di titik ini, kau tidak boleh menanamnya di sini, …”
“Jadi benih yang kau bilang istimewa ini manja sekali, begitu? Ia harus tumbuh di tempat tertentu, … apanya yang istimewa? Ia sama seperti benih-benih lainnya.”
Kakek Tua pun terdiam, dalam hati ia masih sangat menyayangkan benih bagus dan langka seperti itu ditanam di tempat seperti ini. Tapi ia tidak mampu mengungkapkan sesuatu yang sekiranya bisa membuat Bebas mengerti.
“Dengar, Kakek, aku ini bebas. Aku Bebas melakukan apapun, bertindak apapun. Dan bila benih ini adalah benih hebat, tentunya ia bisa hidup dimanapun, aku akan menanamnya disini dan menjadikannya pohon beringin yang kokoh!”
Sementara Bebas berjongkok dan mulai menggali tanah yang kering kerontang, Kakek Tua dengan pasrah berkata, “baiklah, Bebas … hanya saja, rasanya penting untuk kukatakan bahwa benih ini adalah benih hebat, bila ia tumbuh, ia bisa menghidupi dunia ini dan menghasilkan benih-benih lain yang sempurna, tapi itu bila ia ditanam di tanah subur, aku sendiri belum pernah mencoba menanamnya di tanah yang …” Kakek Tua memandang sekitarnya dengan apatis beserta segurat tatapan menyedihkan yang remeh, “… rusak dan … bersampah seperti ini …”
“Nah, sudah tertanam. Aku tidak sabar melihat pohon beringin yang hebat dan kuat kelak.” Ujar Bebas dengan riang.
Kakek Tua sangat menyayangkan benih tersebut harus ditemukan oleh Bebas. Namun karena ia sangat mencintai cucunya itu, maka si Kakek tidak tega untuk membuatnya bersedih. Bisa jadi si Kakek terlalu memanjakannya selama ini. Walau begitu, Kakek juga sangat menyayangi benih yang diambil Bebas tadi. Telah lama sekali ia menunggu munculnya benih istimewa seperti itu, namun sial beribu sial, Bebas lebih cepat menemukannya. Kakek Tua pun memutuskan untuk mengawasi Bebas dan benihnya dari kejauhan dan membantu sebisanya.
Malam itu, Kakek Tua bermimpi menemukan bayi yang sedang menangis keras di tengah ladangnya. Ia masih begitu kecil sehingga air matanya belum dapat keluar, ia menangis dalam keadaan telanjang dan sendirian. Bayi terlantar itu pasti sangat menderita, barangkali ia kelaparan, kedinginan dan butuh kasih sayang. Ketika terbangun, Kakek Tua menjadi semakin khawatir.
Setiap hari Kakek Tua itu mengawasi tempat ditanamnya benih tersebut. Sudah satu minggu-dua minggu berlalu, namun masih belum tampak tunas yang menyembul keluar dari tanah yang kusam karena bekas pembakaran sampah. Bebas datang setiap hari untuk menyirami benih itu, penuh harapan akan melihat pohon beringin yang kuat kelak.
Tiada dari mereka berdua yang menyadari apa yang sedang terjadi, kala kakek dan cucu itu bercuriga bahwa benih itu sudah mati, benih itu ternyata sedang menusukkan akarnya ke bawah begitu dalam hingga menemukan lapisan tanah yang memiliki makanan untuknya. Tanah buruk tersebut rupanya begitu buruk sehingga akar yang tumbuh harus begitu dalam, menyeruak menembus permukaan tanah yang cukup dalam dan semakin keras.
Sepuluh tahun berlalu, tunas akhirnya menyembul keluar dari tanah persawahan yang semakin kering. Kakek Tua melihat tunas itu muncul dan segera memanggil-manggil cucunya. Mereka berdua berpelukan riang mengetahui bahwa benih itu ternyata tidak mati. Saat itu, Bebas telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang semakin Bebas.
Bebas kembali bersemangat merawat benih tersebut, setiap saat ia berbisik pada tunas benih itu; “tumbuhlah menjadi beringin yang gagah.”
Benih tumbuh subur dengan akar yang merasuk begitu dalam ke dalam tanah dan akar itu terus menjulur kemanapun dirasanya banyak makanan dan mineral untuk tumbuh. Benih mulai tumbuh semakin besar dengan akar yang begitu kuat, hingga akhirnya lima tahun kemudian, ia menampakkan identitasnya.
“Jadi, dia bukan pohon beringin?” Bebas terlihat begitu kecewa. Alisnya mengerenyit sengit dan wajahnya terlihat suram.
“Kelihatannya benih unggulan ini adalah semacam bunga. Bunga mawar yang sangat indah. Kurasa tidak mungkin ia menjadi Pohon Beringin seperti yang kau inginkan.”
Bebas jadi merasa begitu konyol, “kenapa kau tidak katakan padaku? Lima belas tahun lamanya aku menghabiskan waktuku hanya untuk menyirami dan merawat sesuatu yang ternyata berbeda dari yang kuinginkan. Aku sudah membuang lima belas tahun kebebasanku hanya untuk … sampah ini!”
Sebelum pergi, Bebas menginjak-injak batang bunga muda itu hingga sobek.
“Bodoh, apa yang kau lakukan? Kau bisa membunuhnya!” Kakek Tua segera bangkit dan mendorong Bebas. Terburu-buru ia menghampiri bagian yang terluka, memeriksa tanaman yang telah lama dinantinya itu.
“Ia hanya mawar. Apa gunanya bagiku? Aku ingin pohon beringin yang gagah dan bisa kubanggakan.” Ungkap Bebas penuh rasa kecewa.
“Sekalipun hanya mawar, tapi ini mawar yang sangat istimewa. Tidak tahukah kau bahwa mawar ini dapat mengabulkan cinta yang tak sampai, harapan yang pupus dan memperanakan mawar-mawar lain yang indah? Ini adalah benih kehidupan, maka dari itu ia disebut benih istimewa, benih unggulan. Yang terunggul dari jenisnya.”
“Kau tak lebih dari seorang pemimpi, Kakek.” Bebas pergi meninggalkan ladang Kakek Tua selama beberapa bulan.
Selama itu, Kakek Tua sibuk merawat tunas mawar yang terluka itu. Orang-orang yang melihat keadaan mawar rusak itu, menggelengkan kepala mereka dengan pesimis. Beberapa menasihati Kakek untuk menyerah saja. “Ia sudah mati, lakukanlah hal lain yang lebih berguna.”
Kala mempertimbangkan saran itu, Kakek melihat batang mawar yang rusak dan sobek tersebut belum layu setelah satu minggu. Bunganya telah layu, namun batangnya masih basah. Sesuatu dalam dirinya berbisik bahwa mawar ini ingin hidup. Maka Kakek Tua pun tetap menyirami dan memupukinya setiap hari.
Tak lama kemudian, Bebas kembali. Ia kembali saat mawar unggulan itu sudah sembuh karena perawatan dan kasih sayang Kakek Tua terhadapnya.
“Kukira kau sudah sibuk sendiri dengan hal lain.” Sindir Kakek Tua yang sedang sibuk memberikan pupuk pada Mawar tanpa menoleh ke cucunya.
“Sudah terlanjur aku mencintai mawar unggulan ini, baiklah bila aku tidak bisa mendapatkan beringin, aku akan membesarkan dia sebagai mawar yang baik.” Kata Bebas.
Kakek Tua merasa lega mendengarnya. Bebas kembali rajin menyirami dan merawat mawar unggulan yang tumbuh di tanah rusak tersebut. Kini Bebas berbisik, “tumbuhlah sebagai mawar yang cantik.”
Namun seperti yang diam-diam dikhawatirkan oleh Kakek Tua, ia mendapati Bebas tidak lagi mendatangi ladangnya, tempat dimana dua puluh tahun lalu ia gunakan untuk membakar sampah. Apakah karena mawar unggulan itu telah tumbuh subur sehingga Bebas merasa mawar itu tidak butuh perawatan lagi?
“Selamat!” Kakek Tua yang penasaran itu menghampiri Bebas di rumahnya, “Mawar Unggulan tumbuh subur, tapi kenapa kau tidak datang lagi?”
“Mawar unggulan?” Bebas tertawa miris, nyaris meludah.
“Tanaman yang kau rawat sejak masih benih.”
“Mawar darimana? Kau tidak lihat batangnya yang kokoh, daunnya yang rindang, dahannya yang kuat, dedaunannya yang menyerupai kelopak mawar, tumbuh begitu banyak?”
“Mawar yang unik, menurutku.”
“Unik? Kau tidak bisa melihat betapa mengerikannya pohon itu? Itu bukan mawar, itu juga bukan beringin! Itu tanaman tidak jelas yang mengerikan!”
Bebas datang kembali keesokan harinya, tapi kali ini ia membawa beberapa perkakas mengerikan. Gergaji, pahatan, kampak, gunting pemotong. Bebas menebang Beringin Mawar muda itu dan memangkas batangnya hingga selangsing batang mawar pada umumnya. Ia merobohkan batangnya yang telah rusak dan cacat itu ke atas tanah sambil berteriak-teriak marah, “kau ini Mawar! Jadilah Mawar! Kau bodoh sekali, kau bukan Beringin! Jangan tumbuh seperti Beringin! Jadilah makhluk yang jelas dan berhentilah membuatku malu!”
Kakek Tua yang sedang memompa air, melihat kejadian itu dari kejauhan. Melihat apa yang dilakukan cucunya, ia menjatuhkan seember air yang telah dipompanya susah payah dan memincingkan matanya untuk melihat baik-baik. Ternyata benar Bebas sedang menghancurkan Beringin Mawar itu. Hatinya bagai tercabik-cabik melihat pemandangan tersebut. Ia menjadi murka dan cepat-cepat menghampiri Bebas, lalu menamparnya begitu keras sehingga telinga sang cucu menjadi tuli sebelah. Bebas tidak datang lagi setelah hari itu selama beberapa bulan.
Kakek Tua dengan hati yang begitu miris, menangisi pohon unggulannya yang tumbuh meragu antara beringin atau mawar.
“Tanaman malang … benihku yang malang …” gumam Kakek Tua dengan kerongkongan terhimpit emosi melihat getah-getah merah berceceran di tanah, keluar dari batang pohon Beringin Mawar yang telah tercacah rusak.
“Kau pasti sangat menderita … biar aku menangis untukmu sekarang …”
Kakek Tua menempelkan telapak tangannya yang berkeriput di wajahnya. Ia tidak berhenti menangis hingga air mata merembes keluar melalui sela-sela jari tuanya dan bergulir turun hingga siku tangannya.
“Tak usah kau pusingkan akan menjadi siapa, jadilah kau apa adanya. Tumbuhlah dengan subur, karena aku akan tetap mengasihimu, tidak peduli siapa kau … tumbuh dan jadilah sesuatu …”
Kemudian desisnya dengan getir, “…jangan menyerah…!”
Kakek Tua memerhatikan pada Pohon Beringin Mawar yang telah hancur itu, terpantul kilau-kilauan cahaya dari embun yang masih menempel pada dedaunannya yang sangat mirip seperti kelopak mawar.
Kakek Tua tidak peduli apakah pohon itu sudah mati atau belum, kembali seperti dahulu, ia tetap datang setiap hari untuk menyirami dan memupukinya. Kakek Tua menghembuskan sabda-sabda indah penuh cinta dan kasih, ucapan-ucapannya yang optimis dan penuh kasih bagaikan rapalan mantra yang menyihir Pohon Beringin Mawar itu untuk hidup kembali.
Tiga tahun kemudian, ia kembali tumbuh sebagai Pohon Beringin berkelopak mawar. Ia juga berevolusi menjadi berbeda dari pohon beringin asli dan daunnya berubah dari kelopak mawar menjadi seperti bukan kelopak mawar. Kini batangnya begitu tebal dan kokoh, tak goyah oleh hempasan taifun sekalipun. Ia menjadi perlindungan bagi hewan-hewan kecil pada cabang dan akarnya. Dedaunannya kini berwarna merah muda dan berkilau apabila terkena cahaya. Kakek Tua sangat senang dengan pertumbuhan baru pohon kesayangannya ini, sekalipun sepanjang batang terdapat parutan-parutan yang menghitam dikarenakan luka-luka yang pernah ia dapatkan karena pukulan-pukulan Bebas.
Setiap kali Bebas melewati ladang Kakek, ia melihat Pohon Beringin Mawar itu tumbuh menjadi sangat aneh dan tidak wajar. Pikir Bebas, dimana-mana, pohon itu berdaun hijau. Setiap kali Bebas melewatinya, ia menjadi begitu muak dan kesal. Kemarahannya kembali meledak saat ia dijadikan bahan tertawaan teman-temannya karena menanam pohon abnormal.
Dengan kapak ditangan, Bebas kembali mendatangi Pohon Beringin Mawar itu.
“Kau ini apa sebenarnya?! Jadilah sesuatu yang pasti!”
Beringin Mawar hanya dapat membalas dengan gesekan dedaunannya yang riuh.
Selama tiga tahun berikutnya, pohon itu kembali mengalami pergolakan yang menyakitkan. Ia dihancurkan Bebas, ia tumbuh lagi untuk kembali dirusak Bebas. Setiap kali Bebas menebang dahannya, Beringin Mawar itu tumbuh lagi menjadi lebih kuat. Suatu ketika Bebas menghantamkan kapaknya kuat-kuat ke batang Beringin Mawar itu. Namun karena kuatnya batang Beringin Mawar, kapak yang digunakan Bebas menjadi pecah dan hancur.
Mendelik ngeri, Bebas menyadari bahwa setiap luka yang ia torehkan, dan Beringin Mawar berhasil sembuh darinya, saat itulah Beringin Mawar bertambah kuat. Batangnya tertoreh beratus-ratus parutan yang mengering, yang hanya membuatnya jadi semakin keras dan tangguh.
“Pohon setan…kau dirasuki setan!” Bebas melumurinya dengan bensin dan membakarnya.
Tak lama kemudian, dari abu Beringin Mawar itu, tumbuhlah sebatang Beringin Mawar baru yang tidak lagi mempan terbakar. Dahannya kini menghitam sepenuhnya, hitam yang indah menyerupai batu obsidian. Sementara batangnya menghitam, daunnya masih berwarna merah muda yang ketika terkena cahaya, ia akan memantulkan pelangi di atasnya sehingga tampak seperti mahkota. Ketika dedaunannya bergesek, terdengar irama merdu, bagai nyanyian angin yang hangat.
Bebas hanya bisa meneriaki Pohon Beringin Mawar itu dengan caci maki dan sumpah serapah. Ucapan-ucapan negatifnya bagaikan rapalan mantra yang mencoba untuk membunuh Beringin Mawar.
Suatu ketika, akhirnya Bebas dan Kakek Tua hanya duduk berdampingan memandangi sang Pohon. Batangnya telah mengering, jatuh dengan rapuh ke atas tanah yang kerontang. Dedaunan merah muda yang tumbuh telah rontok seluruhnya, bertaburan di atas tanah dengan warna layu.
Ia sudah mati.
“Berkat kau, benih unggulan itu benar-benar tidak ada duanya sekarang.” Ujar Kakek Tua dengan sedih.
“Salah dia sendiri, tidak bisa menjadi normal.”
“Ia tidak normal, karena ia diluar normal, … ia luar biasa!”
“Kakek, berhentilah berkhayal, ini pohon yang sangat jelek, tidak bisa seperti siapa dia yang sebenarnya. Gagal sebagai Beringin, gagal pula sebagai Mawar. Aku sangat tidak mengerti bagaimana mungkin kau menyebut pohon gagal seperti ini sebagai pohon unggulan.”
“Ia pohon unggulan, ia tetap pohon unggulan. Aku tetap menyayangi dia dengan segala keunikan dan kecacatannya yang disebabkan oleh ulahmu sendiri.”
“Lihat sekarang, dia hanya ongokan kayu tak berguna, darimana sisi unggulannya? Bagaimana mungkin kau menyalahkanku?”
“Puluhan tahun ia berjuang untuk hidup. Aku meminta dia untuk menjadi sesuatu, dan ia ingin menjadi sesuatu. Ia berjuang melawan rasa sakitnya, melawan segala kecacatannya yang kau benci. Saat ia berjuang untuk menjadi sesuatu yang unik, kau melihatnya seperti setan dan hadir untuk membunuhnya. Lagi-lagi aku harus datang untuk menyembuhkannya agar ia bisa kembali berjuang untuk menjadi sesuatu.”
“Kau yang salah, Kakek. Kenapa kau terus sembuhkan dia agar dia kembali merasakan penderitaan?”
“Karena ia ingin menjadi sesuatu…” suara Kakek Tua terdengar seperti sedang memohon dengan letih. “…aku hanya membantunya. Bila ia tidak ingin menjadi sesuatu, ia sudah menjadi ongokan kayu mati yang tidak berguna bertahun-tahun lalu.”
Bebas berdiri dari tempat ia duduk dan meninggalkan ladang Kakek tanpa pernah kembali lagi. Kakek pun berdiri dari tempat ia duduk dan menghampiri Pohon Unggulan yang telah mati itu.
“Maafkan aku … harusnya tak kubiarkan Bebas mengambilmu, dulu …”
Di sela-sela dedaunan yang mengusam, Kakek melihat ada sebuah cahaya lemah yang sinarnya terselubung oleh dedaunan. Kakek Tua bagai melihat harapan baru. Cepat-cepat ia menyibakkan tumpukan dedaunan layu itu dan menemukan buah yang berkilau lembut dengan cahaya keemasan.
Perasaan Kakek Tua pun bergetar. Ada kehangatan muncul dalam hatinya, memicu denyut jantungnya dalam detakan penuh harap.
“I, ini…”
Kakek Tua mengulurkan kedua tangannya yang bergemetar dan memetik buah sebesar buah kelapa itu dari batang Pohon Unggulan yang telah mati.
Senyum mulai terkembang di wajah Kakek Tua, dan ia terkesiap dengan nafasnya yang mulai tidak teratur karena bersemangat.
“Seumur hidupmu,… kau berjuang keras untuk menciptakan ini…?”
Kilau cahaya dari buah itu semakin memancar terang, hingga akhirnya buah itu terbuka. Kakek Tua mengangkat buah berkilauan itu tinggi-tinggi ke atas.
Buah itu terbuka dengan sendirinya, melepaskan cahaya keemasan yang menembus awan-awan di langit. Cahaya keemasan itu mengubah awan mendung menjadi hujan. Hujan yang turun pun begitu jernih seakan butiran-butiran permata berjatuhan dari langit.
Air hujan jatuh ke tanah gersang, dengan cepat benih-benih tumbuhan yang lain tumbuh dengan subur, menciptakan hutan dan padang rumput yang indah untuk menghidupi makhluk-makhluk lainnya. Orang-orang bergerak keluar dari rumah mereka untuk menyambut hujan yang telah lama dirindukan. Burung-burung berteduh damai di bawah dedaunan kusam yang dengan cepat merindang.
Kala hujan itu berhenti setelah beberapa hari, awan mendung digantikan oleh awan cerah. Selingkar busur warna-warni membentang indah dari satu bukit ke bukit lain.
Dunia gersang pun berubah menjadi masa lalu.
Kini dunia melihat bagaimana Pohon Beringin Mawar yang abnormal itu mengubah dunia.

Sumber vhttp://kastilfantasi.com/2012/07/beringin-mawar/

0 comments:

Post a Comment