Sinar matahari menembus kaca jendela bus
yang di tumpangi Asih. Dia lalu menarik kain yang menjadi sampiran
jendela hingga menghalangi cahaya yang menerpa wajahnya. Sejak tadi
meski kantuk menyerangnya, Asih tak bisa memejamkan mata. Matanya yang
sembab mengundang perhatian penumpang lain namun Asih tak peduli. Saat
ini tak ada hal lain dipikirannya selain Firman. Lelaki yang dicintainya
namun telah pergi menghadap Ilahi. Meninggalkan sejuta kenangan dan
kepedihan yang tak bisa dia hindari.
Batinnya terguncang. Serasa hampa dan
tak ada harapan untuk melanjutkan hidup. Asih terkurung dalam kamarnya,
menghindari orang-orang yang selama ini mengasihinya. Banyak pesan yang
masuk dalam handphonenya, berharap dia tabah. Telpon mas Hans dengan
suara tertahan makin menambah kepedihan itu.
“Sabar ya, Asih..” helaan nafas mas Hans terdengar dari seberang.
“Iya, mas..” balasnya dengan berurai air mata.
Menjelang tujuh hari kepergiaan Firman,
Asih memilih pergi meninggalkan Desa Rangkat. Keputusan yang hadir
setelah dia membaca surat pertama dari Firman. Lelaki itu menitipkan
beberapa amplop yang telah diberi nomor. Mungkin petunjuk agar dia
membaca sesuai urutan nomor tersebut. Berhari-hari menangisi kepergian
Firman hingga dia terlupa ada surat yang dititipkan Firman untuknya.
Tengah malam dia teringat. Walau tak paham akan maksud pemberian nomor
tersebut, Asih tetap membaca
Assalamu Alaikum Wr. Wb..
Mbak Asih, surat ini berisi suara
hatiku. Lama saya merenung dan memikirkan hingga akhirnya saya memilih
untuk menulis surat untukmu. Rasanya saya tak mampu jika harus
berhadapan dan menyampaikan keinginan hati. Kerinduan dan segala hal
yang menyangkut masa depan kita berdua menyadarkan saya akan
keterbatasan waktu.
Sesuatu telah terjadi dan itu sangat
menyakitkan. Saya tak ingin mbak Asih ikut merasakan. Biarlah saya saja
yang merasakan kepedihan ini. Saya yakin, jika mbak tahu, bahkan saya
pun tak mampu menahan gejolak batin mbak.
Ini surat pertama. Jika saya tiada,
datanglah ke desa tempat pertama kali kita bertemu. Ada sesuatu yang
ingin saya perlihatkan pada mbak Asih. Meski pergi sendiri, anggap saja
saya juga ikut menyertai mbak dalam perjalanan. Percayalah cinta itu
akan selalu mengiringi langkah mbak meski saya tiada..”
Asih menghentikan membaca dan menghapus
airmata yang mengalir deras di pipinya. Lama dia menenangkan diri lalu
melanjutkan membaca surat tersebut.
Saat menulis surat ini, saya tidak
dapat menahan kesedihan. Maaf jika harus memberikan duka ini kepada
mbak. Tidak ada maksud untuk membuat mbak bersedih. Saya tak ingin
berbagi duka, hanya ingin mencurahkan rasa yang seharusnya mbak tahu.
Tak ada gadis lain yang ingin saya jadikan tempat berbagi suka dan duka
selain mbak. Sayang waktu tak bersahabat.
Setelah tiba disana dan menemukan
apa yang ingin saya perlihatkan pada mbak, maka bacalah surat yang ke
dua. Di surat itu ada permintaan lagi dari saya, semoga keinginan saya
dan keinginan mbak tetap sejalan meski saya telah tiada.
Saya tak ingin mbak menangis karena
kesedihan, cukuplah air mata itu saat saya tiada. Batin saya perih jika
mengingat harus meninggalkan mbak Asih dalam kesedihan. Semoga waktu
bisa mengobati segala kepedihan dihati kita.
Wassalam
With love,
Firman
Tak ada yang tahu kepergiaan Asih.
Selesai sholat subuh dia bergegas meninggalkan rumah dan hanya
menitipkan pesan pada ayahnya, pak Windu Hernowo. Pesan yang singkat
namun dia yakin, ayahnya akan mengerti.
Dengan menenteng tas kecil dan ransel di
punggungnya Asih melangkah menembus kegelapan dan kabut yang
menyelimuti Desa Rangkat. Lampu-lampu terlihat seperti titik-titik
embun membayang di matanya yang berkaca-kaca sejak menjenjakkan kaki di
jalan berbatu yang sebentar lagi akan berubah menjadi aspal.
***
Menjelang sore Asih tiba di tujuan. Desa
yang penuh kenangan karena merupakan tempat pertama kali dia dan Firman
bertemu. Desa yang menjadi saksi perjalanan hidupnya saat dia terjatuh
dan mulai menata kehidupannya. Semua tak lepas dari sosok Firman yang
telah membantunya melewati hari-hari sulit kala itu ketika Asih di dera
permasalahan rumah tangga yang sangat menyakitkan hati.
Sejak turun dari bus, Asih seolah
melalui kembali kenangan bersama Firman. Desa yang terletak di tepi laut
dengan bukit penuh ilalang yang nampak indah dari kejauhan. Pantulan
sinar keemasan dari laut biru yang berpadu dengan cahaya mentari terasa
menyejukkan hati. Batu karang yang menghiasi sepanjang pinggir pantai
menggoreskan memori masa lalu yang takkan pernah terlupakan.
Asih melangkah menyusuri bukit yang
dipenuhi ilalang. Sesuai surat dari Firman yang memintanya untuk datang
kembali ke tempat pertama kali mereka bertemu. Ilalang ini menjadi saksi
ketika dulu dia dan Firman bertemu. Setelah insiden di tepi laut saat
Asih hampir terjatuh dan Firman menolongnya, mereka sering melewati
bukit penuh ilalang ini jika ingin menikmati keindahan laut saat sore
hari.
Asih terus melangkah dengan pikiran
mengembara ke masa silam. Tak terasa dia tiba di pinggiran bukit.
Matanya mulai panas saat melihat batu karang tempat dia berpijak ketika
terjatuh dulu dan Firman menolongnya.
“Apa maksudmu mas Firman memintaku
kembali ke tempat ini? Tanpa mas minta, saya pasti akan kesini. Apa yang
ingin mas perlihatkan padaku?”
Asih terisak tanpa berusaha untuk menghapus air matanya. Dia diam terpaku tak ingin melanjutkan langkahnya.
“Akhirnya, mbak Asih benar-benar datang..”
Suara lelaki mengagetkan Asih. Dia
menoleh dan terpana melihat sosok pria yang mendekatinya. Tubuhnya
bergetar menahan perasaan rindu, gelisah dan cemas yang datang
bersamaan. Asih yakin saat ini dia berhalusinasi dengan hayalannya,
namun dia tidak ingin berhenti. Membiarkan dirinya terbawa arus hayalan
yang mungkin telah mencapai titik tertinggi.
Makin dekat, tubuh Asih makin menggigil.
“Mas Firman..” panggilnya dengan airmata
berderai. Senyuman lelaki itu makin meyakinkan Asih jika saat ini dia
berada dalam halusinasi bukan nyata.
Lelaki itu hanya tersenyum. Mengulurkan saputangan untuk menyeka air mata Asih yang hanya diam terpana menatapnya.
“Mas Firman?” panggil Asih lagi. Lelaki
itu kembali tersenyum. Asih tak tahan lagi. Dia menyentuh jemari lelaki
itu. Menurunkan tangannya perlahan dan menatap wajah lelaki itu. Sikap
yang tak biasa namun Asih takut kehilangan kesempatan bertemu dengan
Firman. Dia berdoa semoga waktu berhenti dan memberinya kesempatan untuk
meluapkan rasa rindu pada Firman.
“Maaf mbak Asih. Saya Abi bukan Firman..”
Suara lelaki itu seolah menyadarkan Asih
dari mimpinya. Sekitar berubah terang tak lagi dipenuhi awan-awan yang
tadi hadir mengelilingi mereka. Asih mundur menjauh beberapa langkah
dengan raut wajah tak percaya.
“Tidak!mas Firman berbohong kan? Untuk
apa mas memintaku kembali kesini jika bukan untuk bertemu kembali?”
ucapnya dengan air mata berlinang.
“Tapi ini benar, saya bukan Firman. Saya Abi, sahabat Firman.”
“Tidak mungkin! Tolong jangan
mempermainkan saya, mas Firman. Saya tidak percaya, ini pasti mas Firman
yang datang untuk pamit terakhir kali kan?” Asih masih dengan
keyakinannya.
Mimik wajah lelaki itu berubah serius. Dia mengeluarkan kertas dari saku bajunya dan memperlihatkan pada Asih.
“Ini surat dari Firman yang memintaku
datang ke tempat ini. Sudah beberapa hari ini, saya datang dan menunggu
kedatangan mbak Asih tapi mbak tidak juga muncul. Tadi sebenarnya saya
ragu bahkan nyaris membatalkan niat ketempat ini tapi sesuatu dari dalam
hati seolah mendorongku untuk datang kembali. Ternyata benar, mbak Asih
benar-benar datang.”
Asih termangu seolah tak percaya dengan ucapan lelaki itu. Jika benar ini bukan halusinasi, mengapa wajah mereka begitu mirip?
“Saya paham maksud Firman karena kami
bersahabat. Tanpa dia jelaskan tujuannya saya pasti akan mengerti.
Apalagi masalah ini telah dia ungkapkan sejak lama. Saya tidak ingin
menjadi sahabat yang melukai hatinya.”
Asih diam makin tak mengerti ucapan Abi.
“Benarkah mas bukan mas Firman?”
akhirnya terlontar pertanyaan penuh keraguan dari Asih. Sejak Abi
mengakui dirinya bukan Firman dan terus meyakinkan Asih, perempuan itu
mulai memperhatikan setiap detil dari sosok lelaki tersebut. Dan benar
saja, meski terlihat sama namun ada perbedaan dari mereka berdua. Jika
Firman terlihat tenang dengan sorot matanya yang teduh, maka sosok Abi
nampak tegas dengan mata hitamnya yang seolah tersenyum tiap kali
menatapnya. Pancaran kasih sayang sangat terasa.
“Mbak Asih, Firman sudah meninggal.
Bagaimana mungkin dia datang kembali dan menemui mbak. Ini saya Abi,
sahabat Firman.” Ulang Abi kembali berusaha meyakinkan Asih.
Asih menunduk. Menyadari kekeliruannya
membuatnya sedih. Ternyata dia bukan mas Firman, batinnya. Tak ada lagi
kegembiraan saat pertama kali melihat Abi yang dianggapnya Firman.
Meski sama, tapi dia bukan mas Firman, bisik hatinya sedih.
Tiba-tiba Abi mendekatinya, meraih tangannya lalu menangkup dengan kedua tangannya.
“Mbak Asih, saya bukan Firman. Semoga
mbak tidak kecewa, tapi percayalah cinta yang kami miliki berdua sama.
Walau saya belum pernah bertemu dengan mbak, tapi dari cerita yang dia
sampaikan ketika kami bertemu dulu, jujur hadir perasaan yang khusus
untuk mbak.”
“Abi, maafkan saya. Saya tahu sekarang ini Abi hanya ingin menyenangkan saya. Itu benar, kan?”
Abi tergelak.
“Mbak Asih, ini bukan saatnya bercanda.
Lepas dari keinginan Firman agar saya menjaga mbak Asih, mendampingi
mbak Asih, menjadikan mbak Asih sah dalam kehidupan saya. Sejujurnya
saya juga memiliki keinginan seperti itu. Tapi tidak mungkin saya harus
bersaing dengan sahabat saya sendiri. Karena itu ketika dia meminta saya
menggantikan posisinya dengan segala alasan yang masuk akal, saya tidak
menolak. Mengabulkan keinginan orang yang akan menemui ajalnya,
bukankah itu tindakan mulia? Apalagi ini permintaan dari sahabat
sendiri.”
“Itu permintaan mas Firman?”
Abi mengangguk cepat.
“Tapi tak ada pesan dari mas Firman
untuk saya. Lagipula andai ada pesan seperti itu, maafkan saya karena
tidak bisa menerimanya. Mas Firman dan Abi sangat mirip tapi kalian
bukan orang yang sama. Cinta saya hanya untuk mas Firman. Maafkan
saya..”
Asih berbalik lalu melangkah menjauh
melewati ilalang yang tinggi. Abi tertegun menatap tubuhnya yang makin
menghilang dibalik rimbunan ilalang. Tiba-tiba Abi tersadar lalu berlari
mengejar Asih yang belum jauh. Langkahnya terburu-buru nyaris berlari
sambil menangis.
“Mbak Asih!” panggilnya. Asih berbalik sejenak lalu berlari ketika melihat Abi mengejarnya.
“Mbak Asih! Tunggu dulu!”
Abi terus mengejar dan akhirnya berhasil merengkuh bahu Asih menahan tubuh perempuan itu agar tak terus berlari.
“Mas Firman baru saja meninggal, jangan
ucapkan hal yang tidak masuk akal. Saya tidak percaya ada pesan seperti
itu!” jerit Asih mengibaskan tangan Abi lalu melangkah meninggalkan pria
itu.
“Tapi itu benar, mbak. Tolong jangan
buat saya jadi serba salah. Keinginan mbak dan keinginan saya, sekarang
itu tidak penting lagi. Yang kita bicarakan saat ini adalah keinginan
Firman selama hidup. Sekarang Firman sudah meninggal, tidak ada lagi
yang bisa dia lakukan. Mengapa kita tidak mewujudkan keinginannya agar
arwahnya tenang di alam sana. Kalau mbak Asih tidak mencintai saya, itu
bukan masalah. Asal kita bersama sesuai pesannya, itu saja sudah cukup.
Saya akan sabar menanti hingga mbak bisa mencintai saya sebagai Abi
bukan Firman.”
Ucapan tegas dari Abi menghentikan langkah Asih. Dia berbalik menatap pria itu. Mencoba mencari keseriusan dari ucapannya.
“Jika mbak Asih berkenan, temui saya.
Saat ini saya tinggal di dekat mesjid. Saya akan menunggu dua hari dari
sekarang, jika lusa sore mbak Asih tidak muncul. Maka saya akan
meninggalkan desa ini dan terus melanjutkan hidup saya. Meski saya
mencintai mbak Asih tapi saya tidak ingin memaksakan kehendak. Pesan
dari Firman sangat penting, tetapi yang akan menjalani adalah mbak Asih,
tidak adil jika mengabaikan perasaan mbak. Saya permisi dulu..”
Abi kemudian melangkah mendahului Asih.
Terus melangkah tanpa sekalipun menoleh kebelakang. Abi tidak menyadari
pandangan Asih yang terus tertuju padanya hingga tubuhnya menghilang di
balik bukit.
***
Selepas kepergian Abi, Asih kembali ke
pinggir laut, memandang hamparan batu karang yang menghiasi tepian laut.
Ucapan Abi membuat pikirannya bimbang. Meski Firman telah meninggal
namun dia masih menjadi pemilik hatinya hingga saat ini. Asih teringat
dengan surat Firman untuknya. Dia membuka tas lalu mengeluarkan beberapa
amplop, segera di ambilnya amplop nomor dua lalu membaca isinya.
Assalamu Alaikum Wr. Wb…
Mbak Asih, percayalah rasa cinta dan
sayang dalam hatiku sangat besar untuk mbak. Dalam setiap doa, saya
selalu meminta agar Allah SWT selalu memberikan kebahagiaan untuk mbak.
Karena itu, saya tidak ingin mbak terluka dan merasa sedih. Batin saya
tersiksa sejak mengetahui penyakit saya.
Rezeki, jodoh dan kematian semua
Allah yang mengatur, tidak sepantasnya saya pesimis dan menganggap usia
saya tidak lama lagi. Tapi tetap kekhawatiran itu ada, mbak. Membuat
saya terus menghindar agar tak meninggalkan duka dalam hati mbak.
Jika mbak Asih bertemu dengan Abi,
tolong ikhlaslah menerimanya. Anggap dia adalah pengganti diriku walau
saya tahu hati mbak tidak akan semudah itu menerimanya. Tapi sejujurnya,
saya ingin mbak Asih bersamanya. Batin saya tenang meninggalkan mbak
Asih bersama seseorang yang saya percaya. Jika belum bisa mencintainya,
tolong anggap ini sebagai wujud cinta mbak Asih pada saya.
Surat ketiga dari saya nanti mbak Asih buka setelah menikah dengan Abi.
Wassalam,
With love,
Firman
Pikiran Asih berkecamuk. Bingung.
Ternyata Firman benar-benar berpesan dalam suratnya, hanya saja dia
terlambat membukanya. Asih makin ragu, memilih Abi berarti dia harus
siap melupakan Firman. Namun jika tak memilih Abi, maka tidak ada
pembuktian cintanya pada Firman. Dia harus memilih yang mana? Dalam hati
Asih tidak ingin menggantikan sosok Firman dengan siapapun. Baginya,
Firman adalah lelaki terakhir yang singgah dan mengisi hatinya hingga
ajal menjemput.
Asih berada di pantai hingga sore
menjelang. Langkahnya lunglai menuju penginapan yang ada di desa
tersebut. Setelah memesan kamar dan mendapatkan kunci. Asih bergegas
masuk. Penginapan sederhana, hanya terdiri dari sebuah tempat tidur
kecil dan meja tanpa kursi. Namun bagi Asih asal ada tempat berteduh,
baginya sudah lebih dari cukup.
Asih meletakkan tas dan ransel diatas
meja lalu merebahkan tubuhnya. Pandangannya sayu menatap langit-langit
kamar. Diliriknya jam tangan, waktu berbuka puasa tidak lama lagi. Dari
mesjid juga telah berkumandang lantunan ayat-ayat suci A-Quran.
Tiba-tiba terbayang wajah Firman yang tersenyum padanya. Asih menitikkan
air mata.
Hari pertama, Asih teringat ucapan Abi
padanya. Benarkah pria itu akan meninggalkan desa ini dan menghilang,
jika dia benar-benar tidak menerima lelaki itu menjadi pendamping
hidupnya? Asih galau sepanjang hari. Gelisah dan hanya diam dalam
kamarnya. Dia bingung hendak memutuskan masa depan cintanya.
Malamnya, Asih bermimpi bertemu Firman
dan mereka saling melepaskan rindu. Asih bahagia dan menangis saat
terbangun. Hingga sahur tiba, dia masih saja terisak didalam kamarnya.
Asih teringat mimpinya ketika Firman menarik tangannya dan tangan Abi
lalu menyatukannya dengan wajah tersenyum.
“Mas Firman, inikah keinginanmu?apapun
keinginanmu akan saya turuti sebagai bukti kalau saya sangat mencintai
mas..” ucap Asih dengan suara lirih.
***
Pintu rumah Abi tertutup ketika Asih
tiba. Dia cemas membayangkan jika benar pria itu telah pergi
meninggalkan desa ini tanpa menunggu keputusannya. Tapi bukankah ini
belum sore, baru juga jam dua siang. Apakah Abi pergi lebih cepat dari
jadwalnya? Asih makin panik. Mengetuk pintu tidak lagi pelan. Sekarang
lebih keras ketukannya hingga seseorang menyahut dari belakang membuat
Asih berbalik kaget.
Seketika Asih merasa lega saat melihat
Abi dengan senyum manisnya. Pria itu ternyata belum pergi. Abi melangkah
mendekatinya lalu membuka pintu. Sejenak suasana terasa kaku karena Abi
tak mengucapkan sepatah katapun. Asih makin grogi. Haruskah dia yang
memulai lebih dulu?
“Abi..” panggilnya. Pria itu memandangnya menambah kikuk Asih yang tubuhnya mulai gemetaran.
“Ya?”
“Permintaan yang kemarin, saya setujui..” suara Asih pelan.
“Permintaan yang mana?”
Mata Asih membulat heran. Ada apa dengan
pria ini kemarin dia terlihat bersungguh-sungguh. Mengapa sekarang
sikapnya berubah drastis?
“Tentang pesan mas Firman..”
“Pesan yang mana?” Abi bertanya lagi yang membuat Asih makin bingung dan kini mulai kesal.
“Pesan yang kemarin Abi sampaikan..” Asih berusaha menahan kesabarannya.
“Yang mana?” Abi mengulang tanya. Asih kesal. Merasa di permainkan dia berdiri.
“Tentang keinginan mas Firman agar kita
menikah. Saya setuju untuk menikah denganmu..” selesai berkata Asih
bergerak menuju pintu. Sekarang dia makin yakin jika Abi hanya
mempermainkannya. Tiba-tiba Abi menarik tangannya hingga tubuh mereka
sangat dekat.
“Maafkan saya. Saya tidak ingin
mempermainkan. Tanpa kata-katapun saya tahu, mbak Asih pasti setuju.
Dengan datang sesuai batas waktu yang saya berikan, itu sudah jawaban
bahwa mbak Asih menerima saya. Terima kasih. Ini bukan lagi tentang
Firman, tapi tentang saya. Saya benar-benar bahagia.” Ucap Abi sambil
menggenggam erat jemari Asih.
Sumber :http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/07/29/ecr-edelweis-dalam-pelukan-kabut-senja/
0 comments:
Post a Comment