Jika
waktu dapat diputar kembali, sungguh Evita ingin mengulang semuanya
dari awal. Awal pertemuannya dengan Bagas, hari pertama mereka
mengobrol, saat-saat perdana ketika Evita menyadari bahwa mata Bagas
begitu teduh dan menyenangkan.
Dan
hari yang satu itu, ketika Evita memutuskan untuk keluar dari klub tari
tradisional, dihantarkan oleh wajah Bagas yang kecewa dan selanjutnya
tak pernah benar-benar menatap Evita sampai ke hatinya.
Evita dan Bagas hanya punya
kesempatan berinteraksi selama tiga jam dalam seminggu, di klub tari
tersebut. Mereka sama-sama berbakat, rajin, dan punya performa yang
baik. Mereka mencintai Indonesia, karena itulah mereka ada di klub
tersebut.
Tekad Evita untuk meninggalkan
klub hanya didasari oleh satu hal: ingin berkonsentrasi di pelajaran,
karena tuntutan tinggi jurusan IPA. Bagas menggelengkan kepala
mendengar alasan tersebut.
“Tidak masuk akal. Kamu bukan
robot ilmu, Evita. Kita manusia yang mencintai Indonesia, dan kita
punya misi memperkenalkan budaya lewat tarian, kita punya cita-cita
menari sampai ke luar negeri! Buat apa nilai Fisika seratus tapi
cita-cita tinggal kenangan?”
Sela Evita, “Aku cuma bersikap realistis kok.”
“Tapi kamu bakal nari lagi kan, kalau sudah lulus nanti?” Bagas memberi dirinya harapan.
“Belum tahu,” Evita menjawab. “Mungkin aku langsung cari universitas bagus di Singapur.”
Bagas termenung. Berbulan-bulan
yang lalu, Evita masih berambisi masuk sekolah seni di Yogyakarta.
Mereka sepakat masuk bersama. Ada apa dengannya? Apa yang mengubah
pikirannya? Doktrinasi masyarakat? Orang tua? Kerabat? Teman-temannya?
“Aku selalu jadi orang aneh di
antara teman-temanku, di antara anak-anak IPA, selama setahun, dibilang
manusia planet lain karena tak pernah serius belajar dan lebih doyan
baca buku tentang wayang orang. Tahun ini, aku mau berbaur, aku harus
meninggalkan dulu kealienanku.”
“Kamu bukan alien, Vit.”
“Bagas, kamu nggak pernah dianggap orang aneh, ya?”
Itulah pertanyaan terakhir yang
diajukan Evita, yang lantas pergi dari ruang latihan tari yang sepi,
hanya dihiasi cermin dan selendang-selendang bertaburan. Bagas
sendirian di situ, memandang dirinya yang tak pernah merasa niatnya
menjadi pelakon wayang orang itu aneh. Baginya semua cita-cita adalah
wajar, dan kita tak perlu susah-susah menjadi seperti yang diminta
massa.
Ia begitu kecewa, Evita yang ia
anggap sebagai partner terbaiknya, pergi hanya karena panggilan
masyarakat luas untuk berkamuflase sebagai bunglon, tidak menyala indah
dalam kepribadiannya sendiri, dan Bagas punya alasan lain kenapa hatinya
sekarang terasa hampa.
Bagas mengitari koridor dan
sesekali mengintip ke dalam salah satu kelas jurusan IPA yang dihuni
Evita. Diperhatikannya Evita tertawa, tampak normal berhiaskan
senyumnya yang menggoda, dan seakan lupa pernah menjadi anggota klub
tari tradisional.
Sekilas Bagas melamun. Ia juga
dianggap orang aneh oleh teman-teman sekelasnya. Aneh, karena laki-laki
mau ikut klub tari. Tradisional pula. Tapi setiap kali klub mereka
manggung di pentas seni, toh semua orang mengakui tariannya memukau.
Dia tetap tampak sangat maskulin, karena sifat dasarnya memang demikian.
Dan tarian tradisional, misalnya yang terlihat pada pertunjukan wayang
orang, tidak membuat laki-laki tampak lemah, justru sebaliknya!
“Bagas?”
Sekonyong-konyong Evita muncul di depan pintu kelas. Bagas mengerjap. Dia begitu merindukan sosok yang satu itu.
“Lagi ngapain?” sahut Evita agak dingin.
“Lagi lewat,” Bagas tak punya jawaban lain. “Kenapa keluar kelas? Kan lagi pelajaran.”
“Mau ke belakang.”
“Ya masuk lagi ke kelas dong,
kan ke belakang bergerak mundur,” Bagas bercanda. Itu guyonan khas
mereka kalau sedang suntuk di klub.
Aneh, kali ini Evita tak tertawa. Cuma tersenyum miris. “Udah ah, aku buru-buru nih.”
Lagi, Evita bergegas
meninggalkan Bagas. Jiwa Bagas seperti terbang melayang entah ke mana,
dan ia berjalan terseok-seok, kembali ke kelasnya di bagian depan gedung
sekolah.
Klub tari terasa lebih sepi dari
tahun lalu. Tidak banyak anak-anak kelas sepuluh yang masuk. Alhasil
mereka cuma bersepuluh saja.
Bagas, sebagai senior, tampak
paling rajin dan serius. Ia dijadikan pengganti pelatih kalau
pembimbing mereka hadir terlambat. Tetapi pengganti khusus untuk kaum
perempuan belum ditemukan, karena tak ada yang lebih bagus dari Evita.
Alhasil, Bagas melatih semuanya:
laki-laki dan perempuan. Memang lelah dan butuh ketelatenan tersendiri
karena tak semua orang di klub benar-benar sadar ritme, sadar gerakan,
bisa bergerak gemulai atau sangat tegas, dan Bagas memang perfeksionis.
Di suatu siang, Bagas menunggu
pembimbing mereka sambil memperbaiki gerakan-gerakan adik-adik kelasnya.
Kemudian ia meninggalkan mereka sebentar karena baru ingat harus
memulangkan buku temannya. Ia berkeliling selama 10 menit mencari
temannya, dan sesudah bertemu, mereka bercanda tak keruan dalam hitungan
300 detik.
Ia cepat-cepat balik ke ruang
klub. Betapa terkejutnya Bagas waktu melihat Evita melengang keluar
melewati pintu ruang klub dengan santai.
Otomatis ia memanggilnya, “Evita!”
Evita menengok dan tersenyum samar. “Hei.”
Bagas yang tak pernah dibilang 'hei' refleks menimpali, “Namaku Bagas, bukan Hei.”
Lagi, senyum Evita seperti tertahan di dalam. Bagas lantas mengajaknya berlatih lagi.
“Nggak bisa, aku harus bimbel.”
“Bimbel?”
“Ya, buat ujian nasional.”
“Dulu kamu menghujat bimbel, Vit.”
“Sekarang nggak. Boleh kan orang berubah?”
Bagas tak dapat berkata-kata.
Evita tampak berkobar, penuh pertahanan dan penyangkalan. Ia tahu dari
sorot mata Evita yang binarnya beda dengan saat ia menceritakan hasil
latihan tarinya. Binar tulus yang dulu terpancar dan sekarang Bagas
rindukan.
Setelah Evita hilang, Bagas masuk ke dalam dan bertanya kepada adik-adik kelasnya, “Tadi Evita ke sini, ya?”
“Iya, Kak, gerakan kita dibetul-betulin, dikasihtahu caranya supaya gerakan bagus...terus pergi.”
Desah nafas terdengar. Bagas
tahu, Evita masih mencintai dunia tari. Pasti ada sesuatu di balik ini
yang mencengkeram Evita hingga ia tak berani menuntut cita-citanya lebih
jauh. Bagas harus mencari tahu dan menumpasnya, seperti menumpas jamur
sampai ke akarnya.
Bagas mengeruk info dari
anak-anak IPA itu. Ketika memastikan Evita tak ada, ia menerobos masuk
di jam istirahat dan ia mewawancara mereka.
“Eh, memangnya kalian sesibuk itu ya? Sampai keluar klub?”
Beberapa menjawab, “Lumayan sibuk.”
“Tujuan kalian apa sih?”
“Ya kuliah yang bener, dapet kerjaan bagus, terus mapan deh.”
“Udah, gitu doang?”
“Ya itu saya, nggak tahu yang lain.”
Rata-rata jawaban mereka agak
mirip. Tetapi bagi Bagas, mereka memang terlihat baik-baik saja untuk
hidup seperti itu—sesuai jalur tradisional modern—dan mereka bukan tipe
orang yang punya cita-cita nyeleneh seperti Evita. Evita tiga bulan
lalu.
“Ngomong-ngomong Evita doyan belajar nggak sih sebetulnya?”
“Nggak tahu.”
Salah satu anak menambahkan, “Dia kelihatannya berusaha keras sih, soalnya waktu kelas sebelas kan nilainya lumayan anjlok.”
“Tapi kasihan, dia nggak se-happy dulu.”
“Iya. Belakangan kayak yang tertekan.”
Bagas langsung mendapat pencerahan.
“Oke, makasih ya!”
“Sama-sama. Kamu anak klub tari kan?”
“Ya,” Bagas diam lagi ketika siap ngibrit. “Kenapa?”
“Evita keluar dari klub itu ya? Kenapa sih dia? Padahal dulu kayaknya getol banget ngentenin klub tari.”
“Itu dia yang lagi saya cari tahu. Jangan bilang Evita ya saya ke sini.”
“Oke.”
Bagas yang masih memikirkan
Evita, disibukkan oleh rencana klub tari mengikuti festival kebudayaan
bulan depan. Tiba-tiba saja waktu Bagas habis untuk latihan dan dia
tidak kunjung bertemu Evita. Anak itu semakin susah dicari.
Tetapi di jam-jam latihan
mereka, tanpa sepengetahuan Bagas, Evita seringkali berdiam di balik
pintu hanya untuk mendengarkan lagu pengiring mereka, untuk mendengar
suara pembimbing dan suara Bagas yang kencang membenarkan yang
ngawur-ngawur.
Evita memeluk buku-buku
pelajarannya dengan gelisah. Ia tahu, keputusannya salah besar—bagi
dirinya, bagi klubnya, bagi Bagas... ia menyesal telah membuat semua
orang kecewa. Namun ia juga takut larut dalam fatamorgana. Ia pikir
dia dan Bagas bisa jadi lebih dari teman, tapi bagi Evita, Bagas
sepertinya hanya menganggapnya teman satu klub, teman bicara, dan
sesosok manusia yang harusnya mengejar cita-cita, bukan mendepak hobi
demi studi. Satu hari sebelum surat perpanjangan keanggotaan klub diisi,
Evita belum berpikir akan benar-benar keluar. Dia hanya
mempertimbangkan banyak hal. Nilai, masa depan, dan Bagas. Dia
bertahan selama dua tahun di klub karena berharap pada Bagas, yang tidak
menunjukkan gejala-gejala jatuh cinta terhadap Evita, dan itu
membuatnya putus asa.
Evita keluar untuk melindungi dirinya dari kenyataan yang bisa saja pahit.
Evita bersikeras bahwa Bagas
terus berusaha menyapanya karena Bagas kehilangan teman satu klub yang
dapat dijadikan pelatih untuk adik-adik kelas.
Evita terlalu takut untuk optimis lagi, setelah selama satu setengah tahun optimismenya tak berbalas.
Ia bergerak cepat menghindari
Bagas ketika tampak tanda-tanda bubar klub tari. Segera ia pulang dan
menenggelamkan diri dalam buku-buku pelajarannya, mencoba menghilangkan
kegelisahannya karena telah kehilangan 3 jam penting bersama Bagas yang
sudah menjadi rutinitasnya selama dua tahun.
Evita menghela nafas dalam-dalam
dan menghembuskannya kencang. Fokus. Bukan waktunya lagi
bermanja-manja. Lupakan tari, lupakan klub, lupakan Bagas. Belajar.
Perbaiki nilai. Evita menunduk menghadapi studi rumus-rumus dan hafalan
yang bercampur baur mengumpulkan air matanya di pelupuk, dan ia pun
menumpahkan isi hatinya—sendirian.
Dilihatnya foto pertunjukkan
wayang orang yang ia pajang di dinding kamarnya. Ia tercenung. Rama
dan Sinta di sana, tampak anggun memesona dalam lakon kebanggaan
Indonesia. Itulah cita-citanya. Itulah tujuannya. Sekarang ia
mematahkan jalur menuju ke sana...
Festival kebudayaan diadakan di
salah satu lokasi ternama. Acara itu merangkum kesenian, kuliner, dan
segala macam yang berkaitan dengan Indonesia. Semua anggota klub tari
merasa gugup ketika menyadari betapa besarnya acara tersebut dan mereka
harus menampilkan satu pertunjukkan tarian daerah Indonesia Timur yang
indah dan bersemangat dalam durasi lima setengah menit ditambah
keberadaan dewan juri yang akan memberikan piala walikota bagi penampil
terbaik hari itu.
Bagas berusaha menenangkan
adik-adik kelasnya yang gugup. Jika ada Evita, pasti dia dapat
menguatkan mereka dengan kalimat pamungkasnya: “Anggap aja itu penonton
singkong keju! Kita menari buat diri sendiri, buat Indonesia, buat
sekolah kita, bukan buat mereka.”
Pernyataan yang memutarbalikan profesi seorang entertainer, yang biasanya justru memuja pemirsanya.
Evita selalu punya prinsip, dia
bukan orang yang menyerah pada kegrogian. Karena itulah pentas seni
sekolah mereka selalu unik dan memukau, karena diselipi permainan
panggung tari tradisional. Acara-acara kecil maupun besar di kota
mereka jadi meriah, karena kehadiran klub tari SMA mereka. Semuanya
karena Evita bersemangat dan berhasil menularkan tekadnya kepada seluruh
penari.
Bagas memandang juniornya yang tampak berkerut merut takut salah.
Meluncur dari mulutnya, “Sudah,
kalau udah di panggung, kita cuma bisa pasrah. Kita latihan satu bulan,
dan sebelumnya kita pernah bahas tarian ini dan kita hafal sepenuhnya.
Jadi kenapa mesti gugup? Kita pasti tampil mulus.”
Dan keluar juga embel-embel khas
Evita, “Anggap aja itu penonton singkong keju melepuh, atau tahu hot
jeletot...yah, terserah, pokoknya jajanan pinggir jalan yang enak! Kita
kan nari buat Indonesia, bukan buat juri atau penonton. Yang penting
sepenuh hati!”
Anak-anak tersenyum, senyum yang dalam sekejap meluruhkan ketakutan mereka.
Mereka tampil bagus. Tariannya
mengagumkan. Tampak gagah, tampak bersemangat, dan terlepas dari daerah
asal tarian tersebut, mereka membawakan aura ke-Indonesia-an yang
memikat. Cinta-cinta kecil dalam lubuk hati mereka, cinta yang ditujukan
untuk Indonesia, merekah keluar dan berpindah ke kalbu-kalbu lain di
kursi penonton dan di belakang meja dewan juri. Membawa mereka ke
panggung kembali setelah pertunjukkan berakhir dan menerima piala
walikota.
Sayang, prestasi itu tidak
memuaskan Bagas sama sekali. Ya, ia dapat tercengar-cengir gembira,
tetapi ia merindukan Evita dan semangatnya, Evita dan impiannya yang
dikoarkan berkali-kali setiap saat. Evita yang tiba-tiba hanya
menyunggingkan senyum sayup ketika berbicara dengannya, setelah
sebelum-sebelumnya selalu tersenyum lebar, bahagia, dengan mata
berbinar, ketika mereka mengobrol atau bahkan hanya berpapasan di
koridor.
Tanpa mereka ketahui, Evita ada
di bangku penonton. Tahu bahwa ia seharusnya ada di sana, dengan wajah
tersenyum, dan selepas pertunjukkan ia ingin berkata pada bahwa
singkong-singkong keju tersebut sudah siap santap—dan mereka benar-benar
akan mencari singkong keju yang lezat untuk dimakan bersama-sama.
Entahlah. Pikiran Evita terasa
absurd. Di situlah tiba-tiba ia ingin menekan tombol rewind, yang dapat
membuatnya kembali ke klub tari tanpa kehilangan setengah tahun. Ia
akan tetap memiliki 3 jam istimewa bersama Bagas, plus jam-jam tambahan
ketika akan tampil. Ia dapat menyelidik mata Bagas yang mendalam. Dan
walau sesak hati, ia masih bisa berharap-harap—yang selalu membuatnya
sanggup tersenyum meski tahu sepertinya harapannya akan kandas suatu
saat nanti.
Jika saat ketika meletakkan
kembali surat perpanjangan keanggotaan klub tari boleh didatangkan lagi,
ia akan mengambil surat itu, menandatanganinya, dan tanpa keraguan
tetap menari walau nilainya anjlok terutama ketika klub tari sibuk
mempersiapkan penampilan.
Evita memang jadi lebih banyak
belajar dalam waktu enam bulan terakhir. Ia memperbaiki nilainya. Ia
memperoleh ilmu baru yang selama ini berada jauh dari otaknya. Tetapi
satu pelajaran yang lebih besar, ia menyadari kebodohannya tidak dapat
mempertahankan impiannya hanya karena masalah cinta. Juga ia tahu
sekarang, percuma saja fokus belajar tanpa teman seperti Bagas, yang
istimewa, ajaib, dan bahkan meskipun tidak balik menyukai Evita, tetap
akan Evita sayangi.
Gadis itu berlari mengitari
gedung pertunjukkan, mencari bagian pinggir panggung. Dilihatnya aneka
manusia berkostum tari masih seliweran di sana. Ia mencari yang
kostumnya hitam-hitam dengan ornamen dan bulu diselipkan di ikat kepala.
Ia menubruk penari berselendang kuning. Ia menginjak kaki seorang
cowok tanpa sepatu. Ia disapa oleh topeng Indramayu.
Dan akhirnya ia menemukan pembimbing klub yang tampak terperangah. “Evita?”
“Ya, saya,” Evita masih terengah-engah.
“Kamu nonton?”
“Ya.”
“Ya ampun,” pembimbing klub
tampak kebingungan. Dia tidak tega berkata bahwa tadinya ia ingin
mengajak Evita ikut serta dalam acara ini, tetapi karena dijelaskan
alasan Evita keluar oleh Bagas, tidak jadi.
Evita tidak berbasa-basi lagi, “Ibu, Bagas di mana?”
“Di panggung.”
Evita merengut. “Panggung?”
“Nggak tahu tuh, barusan dia duduk sendirian di panggung kayak lagi nunggu ilham. Yah, kamu samperin aja.”
Menggeleng-gelengkan kepala,
Evita berjalan sembari menyalami adik-adik kelasnya yang mengenalinya
dan menyambut gembira. Ia lantas naik sebuah tangga dan membuka tirai
yang membatasi panggung dengan ruangan penuh barusan.
Panggung besar itu lengang, hanya seorang Bagas, masih mengenakan kostumnya, duduk bersila dan memandang ke depan.
Suara Evita bergema dalam ruangan yang besar. “Bagas!”
Bagas pun menengok dramatis, tak percaya dengan penampakan di hadapannya. Dia bicara terbata-bata, “Ini...ini fatamorgana, ya?”
“Kamu kira aku mata air di gurun pasir apa!” Evita membentak saking bahagianya bisa mendengar candaan Bagas lagi.
“Kamu Evita atau Evita-Evitaan?”
“Evita beneran! Udah insaf! Mau
nari lagi! Berhenti jadi anak kesetanan bimbel!” semburan kata-kata
menghunjam hati Bagas seperti peluru, tetapi rasanya menyenangkan.
Evita menghampiri Bagas sambil menahan tangisnya. Layaknya anak kecil
yang polos, ia merengek, “Kangen...”
“Sini-sini,” Bagas segera membuka kedua belah tangannya dan bersiap memeluk.
Tetapi Evita bergerak mundur. “Apa?”
“Mau dipeluk, kan?”
“Kenapa?”
“Katanya kangen?”
“Percuma. Kamu nggak kangen,
kan? Cuma butuh Evita supaya klub tari ada cewek cerewet yang hobinya
ngomongin singkong keju tiap kali mau tampil.”
“Kalau kamu nggak pernah mengukir istilah penonton singkong keju, hari ini kita nggak dapet piala, tahu.”
“Tuh, kan.”
“Kamu kenapa, sih, Vit? Jelas
bukan cuma gitulah. Kamu penting buat kita semua. Kalau nggak ada
kamu, klub tari jadi garing, nggak ada yang selalu bersemangat, selalu
sungguh-sungguh dan bikin kita semua ketularan cinta mati sama
Indonesia. Kamu bagian permanen dari klub tari kita, begitu nggak ada,
langsung berantakan. Sebagian kecil dari diri kamu bisa memotivasi
kita, walaupun kita semua tetap kangen, terutama aku!”
Evita tak bergeming di
tempatnya, semeter dari tempat Bagas berpijak. Dia mengatupkan mulut
karena terasa sekali hampir meyeploskan perasaan terdalamnya. Tentang
impiannya menjadi penari dan jika berkenan, perempuan istimewa untuk
Bagas.
Ucapan Bagas berlanjut, sambil menatap lurus ke mata Evita, dikatakannya, “Kamu betulan mau masuk lagi klub?”
“Iya.”
“Nggak takut dianggap aneh?”
Evita manggut-manggut. “Nggak peduli, yang penting bisa nari dan tetap jadi aktris wayang orang.”
Bagas berjalan maju. “Nih ya,
Vit, kita kan ketemu tiga jam seminggu, kalau lagi klub, ketemu yang
lain cuma pas siap tampil di acara gede, atau waktu papasan nggak
sengaja. Kamu mau nggak nambah jam main kita? Masa kita dua tahun nggak
ada perkembangan apa-apa sih? Segitu-gitu doang ngobrolnya. Aku tahu
kok, pasti isi kepala kamu masih lebih banyak dan bisa kamu bagi-bagi
sama aku.”
Walau mesin penerjemah jiwa
Evita mendadak tersentuh oleh kata-kata Bagas yang nyentrik barusan, ia
masih mengerutkan dahinya ke tengah dan memandang Bagas tak percaya.
Sembari menahan pulasan senyum
meledak yang seakan mau menginvasi wajahnya, Bagas berusaha menerangkan
maksud tersembunyinya, “Jadi gini nih, Vit, misalnya, Malem Minggu kita
jalan-jalan ke mana kek, nonton pertunjukkan tari kontemporer kek, biar
nambah wawasan, atau gimana, sambil ngobrol, sambil...”
Bagas tak bisa meneruskan karena
begitu kalimat terakhirnya selesai, ia akan berdebar-debar setengah
mati dan pasti terlihat bodoh.
“Sambil apa lagi?” tanya Evita.
Akhirnya Bagas pasrah. Dia sudah
di atas panggung, senjata terakhirnya hanya kepasrahan, ketulusan, dan
akumulasi dari latihan-latihan—dalam kasus ini dari pertimbangannya
sendiri.
“Ya, kita bisa Malem Mingguan tiap minggu, dan kalau nggak keberatan, aku mau ngegandeng tangan kamu sepanjang jalan.”
Emosi dalam diri Evita merekah
keluar bersama dengan air matanya. Ia tertawa, sambil menangis, sambil
berjongkok konyol, dan tak percaya diri. “Bagas, kamu bercanda ya?”
Bagas menarik tangan Evita
supaya bangkit dari jongkoknya dan dalam hitungan detik setelah Evita
berdiri dan berani menatap mata Bagas, segera sebuah dekapan rindu dan
sayang menyatukan mereka.
Sepanjang kenangan nanti,
panggung itu akan menjadi panggung terbaik yang pernah mereka injak, dan
tadi adalah penampilan terbaik mereka. Tarian dari dalam hati, tarian
cinta, yang telah melegakan jiwa masing-masing.
Bagas tersenyum senang. Evita
tertawa bahagia. Semua anak klub tari mengintip dari balik tirai dan
bersorak sorai tanpa suara. Lantas mereka pulang duluan tanpa
mengabaikan keduanya. Bagas terpaksa kembali ke sekolah masih dengan
kostum menari karena tas bajunya terbawa guru pembimbing mereka. Tapi
tak apa, toh Evita menggandeng tangannya dan mengenakan bulu yang
terkait pada ikat kepala. Biar malunya dibagi rata, katanya.
Mereka berjalan ke sekolah dengan riang dan bangga masih memakai ornamen asli Indonesia.
Bagaimana menurut kalian dengan cerpen cinta yang satu ini ? Moga kalian suka ya
http://www.cerpencinta.co/2012/03/cerpen-cinta-satu-cerita-dari-nusantara.html
cerpen yang bagus
ReplyDelete