PAYUNG DAN LAYANG-LAYANG
karya Duniamimpigie
—
Anak perempuan yang memegang payung
jingga itu berucap, tersendat-sendat berkat tangisannya yang semakin
menjadi. Wajahnya basah, serta matanya yang sembab menjadi merah karena
ia terlalu sering menggosokkan lengannya ke sana.
Berusaha menghapus sedih.
Sementara anak laki-laki di
hadapannya mengangguk berkali-kali, dengan mantap. Sebagai jawaban.
Bahwa ia tidak akan melupakan anak perempuan itu, sahabatnya itu.
Meyakinkannya, terus-menerus. Sampai kapanpun.
Sampai kapanpun.
“Jan… ji?” sedu si anak perempuan lagi. Sembari mengulurkan kelingkingnya, mengangkatnya di depan wajah?yang walau sarat noda tangis, kini dihiasi seulas senyum. Seulas harap.
Membuat si anak laki-laki kembali
mengangguk. Tanpa ragu menyambut kelingking sahabatnya itu, dan
mengaitkan kelingkingnya sendiri di sana.
“Janji!” akhirnya ia ucapkan.
Sampai kapanpun.
Tak akan lupa.
Tak akan.
***
Ketika kulihat cahaya keperakan itu,
entah bagaimana aku segera mengetahui bahwa itu milikmu. Kenangan
milikmu. Entah bagaimana. Aku hanya yakin seyakin-yakinnya.
Sinar mungil keperakan itu naik
perlahan, menuju Padang Gemintang, seolah telah siap menjadi bintang
yang akan menyinari angkasa.
Menjadi kenangan yang bukan lagi kenangan milikmu sendiri.
Lantas, ketika sinar mungil keperakan
itu berkumpul dengan benih bintang?kenangan?yang lain yang
berwarna-warni, kerinduan yang teramat sangat segera menyergapku.
‘Kenangan keperakan itu isinya apa?’
batinku. ‘Apa yang akhirnya telah kaulupakan? Mungkinkah sekadar
kenangan-kenangan sepele yang sering kutemui di sini? Misalnya, soal
mantan pacar?atau entah apapun cara sebut manusia terhadap orang yang
pernah dikasihinya namun sekarang tidak lagi?’
Kuharap bukan kenangan penting. Kenangan yang terlupakan seiring berjalannya waktu, misalnya. Soal aku, misalnya.
Iya, waktu. Karena hanya waktulah yang
mampu membuat seseorang melupakan kenangan apapun, bahkan yang ia
sendiri tidak ingin melupakannya. Membuat seseorang?membuatmu?melupakan sosok penting yang dulu pernah muncul dalam kehidupan.
Yang membuat keberadaan seseorang di masa lampau mulai meredup. Meredup. Meredup. Lantas akhirnya hilang dari hati.
Lantaran waktu membawa serta kehidupan
yang baru bagi tiap manusia seiring berjalannya. Berupa masalah,
kebahagiaan, bahkan sosok-sosok baru.
Bahwa manusia tidak akan bisa mengenang sesuatu untuk selama-lamanya.
Dulu, saat bersamamu, rasanya aku bisa dengan lantang menyatakan bahwa teori itu salah.
Karena kau pun memercayainya. Dan kau pun berjanji tidak akan melupakanku. Begitu, bukan?
Meski demikian, saat itu?sekitar lima tahun setelah pertemuan pertama kita?kenangan milikmu itu muncul.
Yang pertama yang memuat kenangan soal diriku.
Soal aku yang mengajakmu bersantap di
atas langit, di Padang Gemintang. Aku masih ingat jelas cita rasa
manis-legit dari pecahan pelangi serta tawar-pekat dari teh sari awan
yang malam itu kita makan.
Kau tidak tahu, bahwa sebelumnya aku
menunggu pelangi muncul dengan sabar di bawah derai hujan. Menunggunya
muncul di kaki langit, membentuk lengkungan sempurna bagai jembatan
raksasa. Demi mendapatkan potongan terlezat dari bagian puncaknya.
Kau pun tidak tahu, bahwa kini
kenanganmu terus berada di dekatku. Tidak kutanam di langit manapun.
Tidak ingin. Hanya terus membeku, kusimpan dengan begitu hati-hati di
sebuah botol kaca?supaya aku tetap bisa terus melihat sinarnya. Berharap
suatu saat dapat kukembalikan kepada si empunya?engkau.
Aku masih ingat.
Sangat.
Bagai terpatri di hatiku.
Tapi, mungkin kau sudah tidak
mengingatnya lagi. Soal bagaimana perut kita kekenyangan karena makan
terlalu banyak. Soal Nona Angin Timur yang mengeluh karena kita mendadak
menjadi berat ketika terbang di atasnya.
Ah, bukan mungkin lagi. Tepatnya, sudah pasti lupa.
Sebab aku akan selalu mengingat, sementara kau akan selalu melupakan.
Dua orang menyedihkan yang tidak akan pernah sinkron.
***
Di langit itu, ada sebuah ruang yang terisi sinar-sinar mungil. Yang terus berpendar menerangi gelap malam. Penghuni bumi menyebut bagian langit itu sebagai “Padang Gemintang”.
Di sanalah para benih bintang yang begitu mungil dan kecil, perlahan-lahan tumbuh.
Tak pernah ada yang mengetahuinya?atau bahkan sekadar mempertanyakannya?bahwa
benih-benih bintang di Padang Gemintang itu berasal dari
kenangan-kenangan yang hilang dari hati manusia, baik yang sengaja
dilupakan maupun yang terlupakan begitu saja.
Seorang gadis kecil dengan payung
jingga berputar-putar, melayang di angkasa itu. Di tangannya, ia
menenteng sebuah keranjang labu yang cukup besar ukurannya. Di dalam
keranjang labu itu, melongok keluar sebuah boneka beruang cokelat, yang
tidak pernah lupa gadis kecil itu bawa ke manapun ia pergi.
Ia melayang menggunakan payung jingganya menuju Padang Gemintang di Langit Timur yang pada musim ini dipenuhi warna-warna lembut: warna musim semi.
“Nona Angin Timur,” ucapnya, pada
udara kosong, membuat angin kecil berembus di sekitar rambut depannya,
yang berwarna jingga serupa dengan warna payung serta keranjang labunya.
Embusan itu riang, sebagai jawaban.
“Seandainya ada yang menemaniku
sebagai Penata Langit di Langit Timur…” lirih sang gadis kecil, sembari
mengetuk-ngetukkan kakinya, gelisah, ke udara kosong yang terasa padat.
Udara padat itulah sosok yang dipanggil Nona Angin Timur yang membuat gadis kecil itu terus bertahan di angkasa, mengangkat payung yang membawa serta si empunya.
“… Seandainya, lho! Aku bilang
seandainya!” lanjutnya, karena sambutan yang diterimanya berupa beberapa
kali embusan kecil yang kencang?bak tawa.
“Jangan ngegodain aku, deh, Nona
Angin Timur! Dan kumohon, jangan menertawakan perkataanku tadi!” balas
si gadis kecil, mengerucutkan bibirnya.
Maka, sejenak kemudian angin berembus lembut, tenang?pertanda bahwa sang angin siap mendengarkan, toh, perjalanan mencapai Padang Gemintang masih beberapa menit lagi.
“Lagi pula, kenapa sih Penata Langit harus sendirian? Aku enggak ngerti, deh!” keluhnya.
Sejenak angin berembus berputar-putar, cepat. Mungkin gemas?
“Iya, iya! Aku tahu! Memang tidak
ada yang melarangku untuk berkunjung ke bagian langit yang lain dan
bertemu dengan Penata Langit di sana!”
“… Yang kukenal baru Penata Langit di sebelah Tenggara, Utara, dan Timur Laut,” lanjut si gadis kecil sambil menghitung menggunakan jemarinya. “Kalau tidak salah, soalnya aku tidak begitu ingat wajah mereka.”
Lantas hening, Nona Angin Timur
hanya berembus dengan kecepatan konstan, membiarkan gadis kecil yang
sangat dikenalnya itu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Perlahan
bergerak, menuju Padang Gemintang.
Tempat segala kenangan berkumpul.
Lantaran pasti gadis kecil itu akan memandang jauh, jauh, begitu jauh ke bawah. Ke bumi, ke daratan.
Lantaran pasti gadis kecil itu akan mencari-carinya: sosok
yang juga pernah dijumpai Nona Angin Timur. Sosok manusia bawah. Sosok
seorang anak laki-laki dengan layang-layang raksasanya.
Nona Angin Timur yakin dirinya tidak pernah lupa tentang bocah itu.
Seyakin dirinya tahu bahwa gadis
kecil yang selalu bersamanya itu tidak sedetik pun pernah melupakan
bocah layang-layang yang sama.
Maka, Nona Angin Timur memutuskan untuk tidak mengganggu gadis kecil yang tengah tenggelam dalam pikirannya itu. Kalau saja sekarang ia tidak seadng membawa gadis kecil itu terbang, maka ia bisa mengubah wujudnya. Dengan begitu, setidaknya, walau tidak bisa membantu banyak, ia mampu merangkul gadis kecil itu.
Segera angin lembut berembus membelai pipi sang gadis kecil, dari sang angin.
***
Hei, percayakah kau pada keajaiban?
Ah, pasti iya. Karena seperti itulah dirimu yang kukenal.
Dulu, sebelum aku bertemu denganmu, yang
kupahami soal “keajaiban” hanyalah bahwa itu hal besar, agung, dan
mewah. Yang?tentu saja?tidak akan dikecap oleh orang sembarangan.
Yang seorang aku tidak akan mungkin memperolehnya.
Namun, kau membuatku paham bahwa
keajaiban itu dapat tercipta dari hal-hal sepele. Yang saking sepelenya
bahkan bisa membuat aku dan kau terbahak bersama.
Aku masih ingat dengan jelas, saat
kaubilang bahwa pertemuan dirimu dengan diriku adalah suatu keajaiban.
Yang kira-kira kauucapkan pada kali kedua kau berkunjung ke Padang
Gemintang.
Yang membuatku lantas bertanya-tanya, apanya?bagian mananya?bagaimana bisa?apa alasannya, disebut sebagai keajaiban?
Yang lantas membuatmu mencetuskan sebuah
tebak-tebakan. Ya, waktu itu kau menyebutnya sebagai ‘tebak-tebakan’.
Sangat cocok untuk seorang bocah cengengesan sepertimu.
Menurutmu, tahun depan aku bakal ke sini lagi atau enggak?, tanyamu.
Sebab, kau hanya bisa ke atas sini kalau
Kakek Angin Utara kembali tersesat ke daerahmu dan kembali memintamu
untuk mengantarnya hingga bertemu?yang juga secara kebetulan?dengan Nona Angin Timur di sebuah titik di langit.
Atau mungkin saat itu kau berpikiran akan mampu ke atas sini tanpa bantuan angin manapun?
Tentu saja aku jawab dengan anggukan.
Bahwa tahun depan, saat Kakek Angin Utara bertugas meniup musim dingin
dan membawa musim semi, ia akan tersesat lagi. Dan kau akan mengantarnya
lagi. Dan kau akan kembali ditinggalkannya di Padang Gemintang. Lantas
pulang ke bawah begitu Nona Angin Timur sudah kembali.
Yang selama waktu kosong di antaranya kau menemaniku di Padang Gemintang. Berbincang, bermain, makan, tergelak, bergembira.
Begitu pula tahun setelahnya, dan setelahnya, dan setelahnya lagi. Percayaku, waktu itu.
Akhirnya, aku menyadari bahwa yang disebut keajaiban tidaklah besar, agung, maupun mewah seperti bayanganku sebelumnya.
Bahwa seorang aku pun diperbolehkan bersentuhan dengan keajaiban. Berkat kehadiran dirimu.
Dan kini, saat ini, detik ini, aku
berharap keajaiban yang kaumaksud kembali terjadi. Agar tidak lagi
kulihat sinar kenangan milikmu melayang ke Padang Gemintang. Agar dirimu
tetap mengingatku walau waktu terus berjalan.
Agar kau kembali menemaniku, di sisiku.
Agar aku kembali menemanimu, di sisimu.
***
Anak laki-laki itu baru saja
berhasil membuat layang-layang raksasa. Buatannya yang bisa disejajarkan
dengan buatan ayahnya maupun kakeknya yang memang ahli sebagai pembuat
layang-layang di daerah tersebut.
Seorang anak laki-laki dari keluarga pembuat layang-layang tersohor.
Ia tinggal di wilayah yang berangin,
dengan sinar mentari terik hampir selalu menyinarinya. Tempat di mana
layang-layang begitu disukai dan banyak dimainkan.
Ia selalu tersenyum, selalu tertawa.
Yang tawanya memberi kehangatan pada sekitarnya. Yang begitu seringnya
tertawa membuat matanya kecil dan bibirnya tipis. Sementara rambutnya
yang gelap bagai langit malam selalu tampak berantakan dimainkan angin.
Sang anak laki-laki begitu bangga
dengan layang-layang raksasanya. Ia bahkan yakin bahwa dirinya mampu
terbang ke langit dengan menggunakan layang-layang tersebut?yang tentu saja segera mengundang tawa dari siapapun yang mendengarnya.
Meski demikian, bocah itu tidak
menggubris tiap perkataan orang lain yang meremehkan mimpinya. Hampir
setiap malam ia memanjat naik ke atap rumahnya sambil menggendong
layang-layang raksasanya di punggung.
Bermimpi untuk terbang.
Hingga pada malam itu, seorang kakek
memanggilnya dari bawah. Yang diingatnya soal kakek itu adalah
rambutnya yang seputih salju, bola mata kelabu dengan wajah keriput
namun memancarkan kelembutan nyata, selaik salju yang tengah mencair.
“Hei, Nak! Kakek tersesat, tahukah kau jalan ke Langit Utara?”
Meski sesungguhnya ia tidak begitu
mengerti di mana lokasi yang dimaksud sang kakek, bocah itu tidak bisa
membiarkan sang kakek begitu saja karena hatinya yang teramat tulus.
“Utara itu arah sana, Kek!” teriaknya dari atas atap sambil menunjuk ke sebelah kanannya.
Sang kakek tersenyum, “Terima kasih, tapi maukah kau menemani kakek pikun ini sampai bertemu dengan seorang yang Kakek kenal?”
Kali ini bocah layang-layang menyadari suara sang kakek tidak lagi berasal dari bawah seperti sebelumnya.
Melainkan dari atasnya. Langit.
“EH!?”
Wajah kaget bocah itu tidak mampu
disembunyikannya. Mungkinkah ia bermimpi, batinnya. Namun wajah teduh
sang kakek membuatnya yakin bahwa segala yang terjadi sungguhlah nyata,
senyata dirinya yang selama ini selalu bermimpi terbang ke langit.
“Jadi, kau tega membiarkan seorang
kakek keriput juga pelupa melakukan perjalanan sendirian? Tidak kasihan
kalau kakek pikun ini tersesat lagi? Bahkan Kakek tidak tahu ini di
mana….” suara yang sama terdengar, dari atas. Kali ini sosok sang kakek
semakin tampak transparan dan ringan?ataukah sekadar bayangan bocah itu?
Mendengarnya, bocah layang-layang itu tergelak. Kakek di hadapannya berusaha membujuknya seperti anak kecil!
Maka ia segera mengangguk. “Tentu saja, akan kuantar Kakek sampai manapun juga!”
Seolah paham, bocah itu segera
mempererat ikatan tali-temali di layang-layang raksasanya ke punggungnya
sendiri. Memastikan mereka tidak akan terlepas di tengah perjalanan.
Sementara sosok sang kakek kini lenyap, tidak ada lagi bayang-bayang samar transparan. Hanya kosong.
Hingga perlahan udara sejuk
berembus. Wanginya mengingatkan akan kehangatan musim semi yang datang
menghapus musim dingin di negeri empat musim. Walau bocah layang-layang
itu tidak pernah merasakan bagaimana musim dingin atau semi, rasanya
kakek misterius itu telah memberikan bayangannya kepadanya.
Dan layang-layangnya pun terangkat
perlahan, membawa serta berat tubuh sang bocah. Membuatnya tersenyum,
menyadari mimpinya tidaklah sekadar mimpi.
Menuju Langit Utara.
Atau semestinya begitu.
Kalau saja mereka tidak bertemu dengan kenalan sang kakek tidak lama setelahnya: Nona Angin Timur.
Yang diingat sang bocah tentang Nona
Angin Timur adalah embusannya yang ringan di wajahnya seolah
tergelitiki helai-helai rambut seorang wanita muda cantik.
“Apa Kakek akan diantar oleh Nona
ini sampai tujuan?” akhirnya bocah layang-layang itu berkata. Yang
dibalas dengan tepukan angin beberapa kali di lengannya.
Ucapan terima kasih dan senyuman.
Lantas si bocah layang-layang
ditinggalkan di Padang Gemintang Langit Timur. Sekilas, langit itu
tampak sepi, tiada seorang pun. Hanya dipenuhi sinar-sinar mungil yang
membuat mata si bocah silau.
Hingga sesosok bayangan mungil membuat goyang salah satu sinar. Membentuk sebuah puncak payung berwarna jingga.
Disusul oleh sosok empunya: seorang
gadis kecil berambut jingga sejingga langit senja yang menenteng sebuah
keranjang labu berisi boneka beruang cokelat.
Yang menatap heran si bocah layang-layang.
Yang dibalas tatapan heran pula oleh si bocah layang-layang.
Lantas saling bertukar senyum. Disusul nama masing-masing.
Pertemuan. Perkenalan.
***
Bukankah itu saat pertama kali kau
bertemu denganku? Saat Kakek Angin Utara diantar oleh Nona Angin Timur,
akhirnya kau terpaksa terdampar di Langit Timur milikku.
Dan tentu saja, sebagai pemilik bagian
langit itu, aku tidak terima ada makhluk asing di sana. Sepertinya aku
bersikap terlalu tidak ramah padamu saat itu, apa benar?
Padahal sejujurnya, begitu aku melihat
sosokmu berdiri di pinggiran Padang Gemintang milikku dan enggan
melangkah lebih jauh, aku begitu senang.
Begitu senang.
Begitu senang.
Sungguh-sungguh senang!
Tidakkah kausadari itu?
Lantaran aku sudah sejak lama
mengharapkan teman yang akan bersama-sama denganku menjaga, menghias
Langit Timur agar tetap cantik dan bersinar.
Memetik benih bintang dari Padang
Gemintang yang sudah mekar berkat perawatan penuh kasih sayang, untuk
lantas ditanam kembali. Untuk menggantikan bintang-bintang yang meredup
termakan usia.
Agar bumi?tempatmu tinggal?tidak dilanda kegelapan. Agar manusia bawah?dirimu?akan terus menikmati sinar-sinar yang membahagiakan yang berasal dari kenangan-kenangan yang terlupakan.
Tidakkah tiap kali kau mendongak, menatap langit malam yang dipenuhi bintang, kau akan merasakan sebuah perasaan ganjil?
Rindu, mungkin?
Sendu, mungkin?
Sebab yang kaulihat adalah
kenangan-kenanganmu sendiri. Yang hilang dari hatimu dan menjadi
kenangan yang dibagikan pada banyak makhluk.
Mungkinkah kau mengingatku saat memandang langit berbintang?
Mengingat seorang gadis kecil dengan payung jingganya dan menenteng keranjang labu yang berisi boneka beruang cokelat?
Mungkinkah?
Mengingat betapa keras usaha gadis kecil
itu saat menggali bintang tua yang tak lagi memancarkan sinar? Saat kau
bilang payung itu terlalu poloss dan akhirnya kaubawakan setumpuk bunga
untuk hiasannya. Atau bahkan ekspresi kagummu sendiri yang berlebihan
saat melihat gadis kecil itu mengubah payung jingganya menjadi sekop
untuk mengorek bintang tua dari langit?
Keajaiban, seperti katamu tempo itu.
Sayangnya, keajaiban yang kudapatkan,
yang kupikir akan selalu ada, menghilang begitu saja. Menghilang hanya
karena hal yang sepele?sama halnya dengan saat keajaiban itu datang:
Kakek Angin Utara akhirnya pensiun dan digantikan oleh angin lain yang
masih muda, yang tentu saja tidak akan tersesat.
Bukankah itu menggelikan?
Juga kenyataan manusia bawah tidak akan
bisa mencapai Padang Gemintang di langit atau Penata Langit yang tidak
bisa turun ke bawah. Sama-sama menggelikan.
Aku masih ingat, bagaimana aku menangis meraung-raung saat terpaksa berpisah denganmu.
Saat aku masih berharap kau akan kembali datang.
Meski tidak kunjung datang.
Oleh karenanya, kali ini aku yang akan mengharapkan keajaiban.
***
Nona Angin Timur tergesa. Ia harus
menyampaikan kabar ini kepada gadis itu, gadis yang telah tumbuh jelita
itu. Secepatnya! Secepatnya!
Bahwa akan ada kesempatan langka saat para angin bertubrukan dan membuat aliran ke bawah?ke bumi?terbuka!
Bahwa berarti makhluk langit bisa memanfaatkan kejadian itu untuk turun ke bawah!
Bahwa dengan begitu, gadis payung akan bisa bertemu pemuda layang-layang!
Nona Angin Timur berembus begitu
kencang, hampir-hampir mengakibatkan badai jika saja ia tidak
mengendalikan dirinya. Namun, siapa yang akan bisa menahan diri kalau
ada kabar semembahagiakan ini untuk seseorang yang disayang!
Iya, ternyata dia begitu menyayangi gadis payung yang selama ini selalu bersamanya.
Sayangnya, kejadian langka itu hanya akan membentuk jalan antara langit dan bumi selama beberapa jam saja.
Meski begitu, Nona Angin Timur
percaya gadis itu pasti akan berbahagia, begitu bahagia. Lantaran, meski
hanya sesaat, gadis yang disayanginya itu akan bertemu kembali dengan
sosok yang begitu berarti baginya.
***
“Kau…” hanya itu yang terucap darimu
saat melihatku mendekat sambil menutup payung jingga kesayanganku yang
berhiaskan bunga-bunga kosmos yang kaupetik dari halaman rumahmu?yang
selalu kurawat agar selalu bermekaran.
Sejenak kau?yang tengah sibuk mengecat
layang-layang?tampak terpaku, mungkin sedang setengah mati mencoba
mengingat siapa diriku, sosok yang tidak asing namun telah hampir
dilupakan.
“Si bocah payung…?” lirihmu, akhirnya
bangkit, berjalan menghampiriku. Seketika kulihat sebuah cahaya mungil
transparan yang menguap keluar dari dadamu kembali masuk.
Kenangan soal aku yang tidak jadi terlupakan olehmu. Kau kembali mengingatku.
Mengingatku setelah melupakanku.
Dan hening.
Aku hening.
Hening.
“JANGAN LUPAKAN AKU!”
Begitu saja terucap. Segala yang
terus-menerus kutahan, kupendam. Yang hampir saja membeku seluruhnya,
selaik cahaya-cahaya mungil milikmu yang kini berada dalam sebuah botol
yang kudekap erat-erat, yang membeku.
Sedangkan kau hanya terpaku. Menatapku.
“Apa saja yang sudah kulupakan?” ujarmu
memecah keheningan, sekaligus menghapus segala kecemasan yang entah
sudah berapa tahun melingkupiku. “Sepertinya banyak, ya? Terlihat dari
wajahmu.”
Lantas kau pun tersenyum. Yang tak
berubah banyak dari yang terakhir kali kulihat. “Dan tampaknya, kau
sudah tidak cocok kupanggil bocah, ya?”
“Dan tampaknya, kau tetap saja bocah cengengesan, ya?” bohongku.
“Begitu? Aku bocah cengengesan?”
“Enggak sadar?”
“Mungkin karena baru bertemu kembali dengan sahabat masa kecil?”
“Kalau sekarang?”
“Iya, masih. Sampai sekarang.”
“Sampai nanti juga?”
“Sampai kapanpun juga.”
“Sampai kapanpun juga. Janji.”
“Janji.”
Kau tersenyum, menularkannya padaku yang
akhirnya ikut tersenyum. Rasanya rentang waktu sampai 10 tahun itu
lenyap begitu saja, tak berbekas. Seolah baru saja kemarin kita bermain
di Padang Gemintang, mengumpulkan benih-benih bintang yang sudah mekar
untuk ditanam di angkasa.
Saling menemani.
Sampai kapanpun.
***
“Jan… ji?” sedu si anak perempuan lagi. Sembari mengulurkan kelingkingnya, mengangkatnya di depan wajah?yang walau sarat noda tangis, kini dihiasi seulas senyum. Seulas harap.
Membuat si anak laki-laki kembali
mengangguk. Tanpa ragu menyambut kelingking sahabatnya itu, dan
mengaitkan kelingkingnya sendiri di sana.
“Janji!” akhirnya ia ucapkan.
Sampai kapanpun.
Tak akan lupa.
“Tapi, kau juga punya tugas!” cengir
si bocah dengan layang-layang ketika Nona Angin Timur sudah siap
mengantarnya pulang. Ia sudah berdiri di ujung Padang Gemintang, bersiap
melayang.
“… Tugas?”
Bocah laki-laki itu mengangguk
keras. “Kalau aku tanpa sengaja melupakanmu, kau yang harus
mendatangiku! Buat aku ingat lagi sama kamu, ya!”
Cengirnya, walau tampak jelas ia
menahan tangis. Membuat gadis kecil itu tercengang sesaat, menyadari
bahwa baik dirinya maupun sahabatnya membawa peran masing-masing.
“Pokoknya, buat aku ingat kamu lagi! Gimana pun caranya!”
“Iya! Aku janji!”
“Janji!”
Sambil terus melambaikan tangan.
Hingga saatnya bertemu kembali.
***
http://kastilfantasi.com/2012/07/payung-dan-layang-layang/
0 comments:
Post a Comment