Bila Giliran itu Tiba
Riiing,
riiing suara telepon dirumah kami berbunyi nyaring menjelang tengah
malam. Telepon dari sahabat kami yang langsung teridentifikasi begitu
bel berdering. Ada apa gerangan ya, batinku dalam hati karena aku yakin
biasanya pada jam-jam seperti ini mereka sudah berangkat tidur. Saya
hafal kebiasaan mereka yang suka tidur lebih cepat dan gemar
menghidupkan sepertiga malamnya, serta bangun pagi.
Kuangkat
telepon dan kuucapkan salam. Saya menerima salam balasan yang
disampaikan dengan suara yang bergetar hebat seperti menahan sesuatu
beban yang sangat berat. Tiba-tiba saya merasakan bahwa ada yang tidak
beres dengan sahabat saya; dan saya memilih menunggu sampai ia berhasil
menguasai perasaan dan emosinya. Setelah terdiam beberapa saat
lamanya, sahabat saya mulai berbicara meskipun terbata-bata.
“Sister,…tolong saya….” Suaranya melemah dan terhenti dalam sunyi.
“Ada apa?” Tanyaku berusaha menyembunyikan perasaanku yang galau dan bergolak menahan rasa ingin tahu.
“Ayah
saya sister…, dia…dia… baru masuk rumah sakit hari ini dan baru
diketahui kalau ternyata dia mengidap kanker stadium akhir…”suaranya
tercekat dan berhenti begitu saja.
Saya
kaget sekali dan berusaha menguasai diri. Setelah terdiam beberapa
saat, saya mencoba berbicara “Sabar ya, ini ujian dari Allah…”
“Sister,
saya ingin sekali membimbing ayah saya; supaya dia bisa masuk Islam…”
suaranya terhenti dan kurasakan ada keprihatinan dan kekuatiran yang
mendalam dari nada bicaranya.
Ada jarak senyap yang panjang, lalu dia berujar lagi, “Sister, … (senyap) tolong bantu saya dengan doa ya?” suaranya memohon penuh iba dan melemah seolah mencari kekuatan penyangga.
Ada jarak senyap yang panjang, lalu dia berujar lagi, “Sister, … (senyap) tolong bantu saya dengan doa ya?” suaranya memohon penuh iba dan melemah seolah mencari kekuatan penyangga.
Kurasakan
pandanganku mulai kabur oleh air mata yang terus mengalir diam-diam
tanpa kusadari. Selebihnya aku lebih banyak diam dan mendengarkan
sahabatku bertutur tentang ayahnya sampai telepon ditutup.
***
Beberapa
hari kemudian, sahabat saya kembali menelepon. Dari salam pembukanya,
aku bisa merasakan kalau kali ini sahabatku terdengar lebih tegar.
Setelah saling menyakan kabar masing-masing, sahabatku menarik nafas
dalam-dalam dan hening kembali tercipta begitu saja.
Setelah beberapa saat lamanya, akhirnya aku tidak tahan untuk tidak menanyakan kabar ayahandanya. Dengan hati-hati aku bertanya:
“Bagaimana keadaan ayah?” senyap.
“Sister,
sepertinya tidak ada harapan untuk ayah saya…” kudengar dia menarik
nafas dalam-dalam; kemudian berujar lagi “Ternyata hidayah itu sesuatu
yang tidak bisa dipaksakan ya…saya merasa kesulitan untuk mencoba
membuka hati ayah saya sendiri…?” suaranya serak dan tertahan seperti
meanggung kesedihan.
Saya tidak tahu harus berkata apa, akhirnya dengan menguatkan diri dan dengan sangat berhati-hati saya berkata,
“Yang
penting berusaha sajalah, jangan pernah putus asa. Perkara hasil, itu
terserah Allah dan yakinlah bahwa Allah pasti akan memberikan yang
terbaik buat kita semua, InshaAllah”. Sebuah ungkapan penghibur yang
sangat biasa dan kuyakin sahabatkupun sebenarnya sudah sering
mendengarnya.
“Iya, ya?!” katanya mencoba menentramkan diri.
“Maafkan saya karena hanya bisa membantu dengan doa saja…”, sambungku.
“Tak apa, jangan lupa doakan kami terus ya Sis”, katanya, sebelum akhirnya telepon ditutup dengan salam.
***
Setelah
percakapan ditelepon itu, saya kembali merenungkan apa yang sedang
dialami oleh sahabat saya saat ini. Sesuatu yang pernah kami
perbincangkan sebelumnya. Kami bahkan sempat membahas tentang apa yang
sebaiknya kami lakukan saat giliran itu datang menjemput. Ya, giliran
untuk berpisah dengan orang tua yang kita cintai dan hormati. Orang tua
yang selama ini telah banyak berjasa dalam mendidik dan membesarkan
kita.
Sebuah
episode dalam kehidupan yang pasti dan kita yakini datangnya, namun
tetap saja tidak semudah seperti yang kita bayangkan sebelumnya saat
kita mengalaminya. Hal itu menjadi terasa semakin tidak mudah manakala
orang tua yang kita cintai dan hormati ternyata berbeda akidah dan
keyakinan dengan kita. Perpisahan dalam kondisi beda keyakinan tersebut
pastinya akan menjadi salah satu ujian terberat karena ketiadaan
harapan untuk bertemu kembali dengan mereka suatu saat di akhirat
kelak.
***
Tiba-tiba
saja saya kembali teringat permintaan ibu mertua yang sudah diajukan
kepada saya entah berapa kali; dari cara yang halus dan tersamar,
sampai terang-terangan. Beliau dengan sangat memintaku untuk mengurusi
pemakaman dan merawat tempat pemakamannya bila beliau telah tiada.
Sebuah permintaan yang sulit kupenuhi karena pasti akan banyak sekali
pernak-pernik yang tidak sesuai dengan akidah dan keyakinan saya.
Saya
selalu menolak beliau baik secara halus maupun langsung tapi beliau
sepertinya tidak pernah bosan untuk meminta saya. Puncaknya terjadi
saat kami liburan di Bali tahun lalu. Beliau kembali mengajukan
permintaan tersebut saat kami hanya berdua ditemani kedua anak-anakku
yang masih kecil. Lalu dengan sangat hati-hati aku berucap:
“Ibu,
kenapa sih Ibu tidak meminta adik ipar saja yang sudah pasti
mengetahui semua seluk beluk pemakaman maupun upacara sesuai dengan
keyakinan Ibu?”
Ibu mertua tampak murung. Beliau hanya diam saja dengan pandangan yang menerawang sangat jauh.
Saya
merasa sangat bersalah tapi tidak punya pilihan lain. Saya juga tidak
mau berbohong kepada beliau. Lalu dengan hati-hati kembali beliau
berujar bahwa sebenarnya beliau tidak masalah kalaupun saya tidak
mengurusnya sesuai dengan prosesi yang sebenarnya. Cukup sekadarnya saja
pokoknya yang penting saya menyatakan kesediaannya agar beliau bisa
melimpahkan semua peninggalannya pada kami. Sungguh saya merasa sangat
terharu dengan permintaan beliau tapi sekali lagi saya minta maaf karena
saya takut bermain-main dengan masalah yang bisa membahayakan akidah
saya.
Akhirnya,
entah untuk yang keberapa kalinya, dengan sangat halus saya kembali
berujar bahwa saya tidak memikirkan masalah peninggalan beliau,
cukuplah bagi kami limpahan kasih sayang beliau selama ini. Kami tidak
berharap lebih. Saya bahkan berharap saya bisa membahagiakan beliau
semampu saya sepanjang tidak berseberangan dengan akidah saya.
Yang
terlihat oleh saya kemudian adalah wajah beliau yang menyiratkan rasa
kecewa yang mendalam meskipun beliau berusaha untuk menutupinya.
Sejak
saat itu beliau tidak atau belum pernah mengulang permohonannya lagi.
Bila sudah demikian, rasanya apa yang saat ini dialami oleh sahabat
saya menjadi semakin nyata adanya. Kami pun pasti sudah ada didalam
daftar tunggu itu. Ya Allah, bila giliran untuk berpisah itu tiba,
semoga kedua mertuaku telah mendapat hidayah dari-Mu yang tak ternilai
itu, InshaAllah, amin.
Sumber http://arifin-naval.blogspot.com/2011/04/bila-giliran-itu-tiba.html
0 comments:
Post a Comment