Sunday 29 July 2012

Cerpen|Beringin Mawar


BERINGIN MAWAR

karya Bing


Ini adalah zaman ketika dunia masih gersang dan nyaris mati, dimana dunia masih berketopong awan kelam yang antagonis. Semua daerah persawahan kering kerontang dan nyaris mati. Air terasa asin, dan orang harus menggali begitu dalam untuk memperoleh air, itupun berlumpur dan harus disuling dulu. Akibatnya, tanah menjadi sulit sekali diolah, membuat makhluk-makhluk yang hidup di sana menjadi liar dan buas, tak jarang kanibal.

Pada sebuah desa, ada seorang Kakek Tua yang sudah puluhan tahun mengolah sawahnya yang masih saja gersang dan hanya menghasilkan butiran-butiran gandum jelek. Kakek Tua masih terus mengolah sawahnya sekalipun teman-temannya yang lain sudah beralih profesi menjadi pemburu.
“Tinggalkan sawahmu, ayo berburulah, demi keluargamu juga.” Saran temannya.
“Tidak mau. Kalau kita terus membunuh hewan, kelak saat hewan habis, kita akan membunuh sesama kita untuk makan hari ini.” Ujar Kakek Tua.
Kakek Tua memiliki seorang cucu, seorang bocah bernama Bebas. Ketika Bebas sedang bermain di sawah kakeknya, ia menemukan sebuah benih pohon yang berkilauan. Benih tersebut terlihat begitu menarik dan istimewa sehingga Bebas sangat tertarik padanya.

Cerpen|Gadis Mawar Biru


GADIS MAWAR BIRU

karya  Gredel Elle

Di suatu gua yang sepi, gelap, dan dingin. Dapat terdengar suara desahan keras, yang tampaknya terdengar kesakitan. Makhluk itu berkata entah pada siapa di dalam gua yang hanya berisi bebatuan, cahaya rembulan, dan sekuntum mawar biru.
“kebakaran hutan seminggu lalu membuatku sesak nafas, belum lagi para manusia yang menyerangku dengan pedang dan berusaha mengambil air mataku untuk mendapatkan keabadian!” suara itu menggelegar bagaikan petir di dalam derasnya hujan.

Cerpen|[ECR] Edelweis Dalam Pelukan Kabut Senja



13435606042120341453
Sinar matahari menembus kaca jendela bus yang di tumpangi Asih. Dia lalu menarik kain yang menjadi sampiran jendela hingga menghalangi cahaya yang menerpa wajahnya. Sejak tadi meski kantuk menyerangnya, Asih tak bisa memejamkan mata. Matanya yang sembab mengundang perhatian penumpang lain namun Asih tak peduli. Saat ini tak ada hal lain dipikirannya selain Firman. Lelaki yang dicintainya namun telah  pergi menghadap Ilahi. Meninggalkan sejuta kenangan dan kepedihan yang tak bisa dia hindari.

Cerpen|Siluman Harimau



Hujan deras mengguyur sejak kemarin. Hingga malam ini tidak juga kunjung reda. Di sebuah rumah sederhana merangkap kios, nampak Fatimah  sibuk mengatur dagangannya sebelum menutup kios. Sementara anak perempuannya yang berumur dua belas tahun masih saja berdiri di depan pintu belakang. Fatimah melihat anaknya sekilas.

Cerpen|Sahabat Dari Dunia Lain


SAHABAT DARI DUNIA LAIN...
Oleh Rhenata Francisca
Mempunyai hidup yang berkecukupan bukanlah alasan utama seseorang ataupun suatu keluarga untuk meraih kebahagiaan. Kebahagiaan itu diraih bukan karena harta yang melimpah, tetapi keharmonisan didalam keluarga. Kesibukan orangtua kadangkala menyebabkan anak-anaknya kurang mendapat kasih sayang. Begitu pula dengan kehidupanku, karena kesibukan orangtuaku , kini semua kekayaan orangtuaku tidak akan berarti apa-apa bagiku.

Angin bertiup semilir. Tampak matahari yang memancarkan cahaya oranye nya, kicauan burung masih terdengar, mereka terbang sesuka hatinya, merasakan keindahan alam semesta ini, kini mereka mengepakkan sayap-sayap mereka dan terbangmenuju peraduan. Dan bersamaan dengan itu, diruangan yang cukup besar, berhiaskan dinding yang berwarna hijau, tepat diatas tempat tidur , aku masih membaringkan tubuhku. Aku bingung entah apa yang harus kulakuan saat ini. Aku ingin merasakan kebahagiaan seperti anak-anak burung yang diberi kasih sayang oleh kedua induknya. Sedangkan aku ? Bagaimana dengan kehidupaku? Entahlah, aku hidup seperti tidak mempunyai orangtua. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka. Bisnis sana, Bisnis sini.
“ Huhhh,, pasti mereka tidak akan pulang malam ini “ bisikku.
“ Lebih baik aku keluar saja malam ini, mencari udara segarr,, “

Jam terus berputar . Dan kini jarum pendek sudah menunjukkan angka 7, kini senja itu pun mulai hilang.
Kulangkahkan kaki menuju garasi rumahku, jaket hitam dan helm merah sudah terpasang di tempatnya. Tanpa berlama-lama ku nyalakan mesin, dan melajukan motorku dengan kecepatan yang cukup tinggi.

Cerpen|Korban Perang


Masa masa perang dunia kedua, tahun 1940, Jerman
Di tengah lapangan rumput yang becek bekas peperangan, dalam hujan rintik rintik, aku berlari2 bersama kakakku, Heinz.Mencari tempat berteduh untuk sementara. Kami menemukan sebuah pohon yang jarang daunnya, tapi masih lebih baik untuk berteduh di sana.
"Kakak, aku kedinginan." kataku. Wajar saja, saat ini kami sedang mengenakan pakaian tipis, dan berlubang2. Kotor, dan compang camping.
" Sabarlah, bertahanlah sebentar lagi, sampai perang ini berakhir" kata kakakku dengan mata teduhnya. Ia mendekapku.

Cerpen|Perang Dunia III



Pada tahun 2036 terjadilah perang dunia ketiga. Perang ini terjadi antara Amerika Serikat dengan Rusia. Perperangan ini sangat dasyat, sehingga mengakibatkan dampak yang merugikan diseluruh dunia, bahkan perperangan antara dua negara besar tersebut meluas sampai ke Benua Asia. Yang tidak terkena dampak perperangan ini adalah Amerika Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Adanya perang dunia ketiga yang tidak selesai-selesai membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menugaskan agen rahasianya yang bernama Robert Amstrong atau yang lebih dikenal dengan nama Robert untuk menyelidiki apa penyebab perang dunia ketiga itu. Setelah ada perintah penugasan yang jelas dari PBB, Robert akhirnya ditugasi untuk berangkat ke Rusia.

Cerpen|Legenda Peri Bulan


 LEGENDA PERI BULAN

Oleh Mila Nurhida


Wulan adalah seorang gadis desa yang miskin. Wajahnya agak suram, sebab ia menderita penyakit kulit di wajahnya. Orang-orang desa sering takut jika berpapasan denganya. Wulan akhirnya selalu menggunakan cadar.

Pada suatu malam, Wulan bermimpi bertemu dengan pangeran Rangga. Putra Raja itu terkenal dengan keramahannya dan ketampanannya. Wulan ingin berkenalan dengannya. Ia pun makin sering memimpikan Pangeran Rangga.

Saturday 28 July 2012

Cerpen|Hanya Separuh Harapan


HANYA SEPARUH HARAPAN 
Cerpen Dea

Kenalin aku Rara, aku anak rumahan. Aku ngak bermaksud sebagai anak yang ngak uptodate, tapi penyakit aku yang menyarankan semua ini. Aku punya penyakit yang dikenal sebagai penyakit leokimia. Penyakit ini sangat membuat aku seperti ratu. Tetapi aku senang karena semua jadi perhatian sama aku. Dan ngak semuanya enak, ada juga angak enaknya. Ngak enaknya aku jadi tidak bisa mandiri, pergi main sendiri seperti temen – temen aku yang lain.

Dan setiap hari aku harus cuci darah, kalau ngak gitu aku harus kemo. Aku semakin bosan dengan semua hal – hal yang seringa ku hadapi ini. Hingga suatu saat ada sahabar lama aku yang menjenguk aku, aku sempet lupa dengan penampilannya. Karena dia berbeda saat kita masih berusia 8 tahun dulu, dan sedangkan kita sekarangkan sudah berusia 15 tahun. Sebut saja dia Rora.

CERPEN|SELAKSANA RINDU DARI PESANTREN

SELAKSANA RINDU DARI PESANTREN
Cerpen Asep hidayat (IX.3)

Matahari pagi menyentuh pipiku. Berpendar pasi, seperti juga dedaunan. Sepi. Aku merentangkan kedua tanganku lebar-lebar, berharap aku bisa terbang dan menikmati seluruh ciptaan Tuhan dari atas sana. Mataku belum terbuka sepenuhnya, tapi tiba-tiba aku menatap sebuah amplop berwarna jingga di depan pintu kamarku. Kuambil lalu kubaca untuk siapa surat ini. Aku tersentak, surat ini untukku. Di sana terpampang jelas namaku, “untuk : VIDIANO LUCAS JOSEPH”.           

Aku heran, tak ada nama pengirim maupun alamat di baliknya. Dengan perasaan yang penuh tanda tanya aku segera merobek surat itu, lalu perlahan aku membaca isinya.

Cerpen|Membeli Waktu Ayah


 Membeli Waktu Ayah

Seperti biasa Rudi, kepala cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.

“Kok, belum tidur?” sapa Rudi sambil mencium anaknya. Biasanya, Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Imron menjawab, “Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?”

“Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?”


“Ah, tidak. Pengen tahu aja.”

“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”

Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.

“Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong,” katanya. “Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,” perintah Rudi. Tetapi Imron tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, “Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- tidak?” “Sudah, tidak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah.”

“Tapi, Ayah…” Kesabaran Rudi habis.

“Ayah bilang tidur!” hardiknya mengejutkan Imron. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, “Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok’ kan bisa.
Jangankan Rp 5.000,- lebih dari itu pun ayah kasih.”

“Ayah, aku tidak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini.”

“Iya,iya, tapi buat apa?” tanya Rudi lembut.

“Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-, maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-. Makanya aku mau pinjam dari Ayah,” kata Imron polos.

Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat. 

Cerpen|Bila Giliran Itu Tiba


 Bila Giliran itu Tiba

Riiing, riiing suara telepon dirumah kami berbunyi nyaring menjelang tengah malam. Telepon dari sahabat kami yang langsung teridentifikasi begitu bel berdering. Ada apa gerangan ya, batinku dalam hati karena aku yakin biasanya pada jam-jam seperti ini mereka sudah berangkat tidur. Saya hafal kebiasaan mereka yang suka tidur lebih cepat dan gemar menghidupkan sepertiga malamnya, serta bangun pagi.

Kuangkat telepon dan kuucapkan salam. Saya menerima salam balasan yang disampaikan dengan suara yang bergetar hebat seperti menahan sesuatu beban yang sangat berat. Tiba-tiba saya merasakan bahwa ada yang tidak beres dengan sahabat saya; dan saya memilih menunggu sampai ia berhasil menguasai perasaan dan emosinya. Setelah terdiam beberapa saat lamanya, sahabat saya mulai berbicara meskipun terbata-bata.
 
“Sister,…tolong saya….” Suaranya melemah dan terhenti dalam sunyi.
 
“Ada apa?” Tanyaku berusaha menyembunyikan perasaanku yang galau dan bergolak menahan rasa ingin tahu.
 
“Ayah saya sister…, dia…dia… baru masuk rumah sakit hari ini dan baru diketahui kalau ternyata dia mengidap kanker stadium akhir…”suaranya tercekat dan berhenti begitu saja.
Saya kaget sekali dan berusaha menguasai diri. Setelah terdiam beberapa saat, saya mencoba berbicara “Sabar ya, ini ujian dari Allah…”
 
“Sister, saya ingin sekali membimbing ayah saya; supaya dia bisa masuk Islam…” suaranya terhenti dan kurasakan ada keprihatinan dan kekuatiran yang mendalam dari nada bicaranya.
Ada jarak senyap yang panjang, lalu dia berujar lagi, “Sister, … (senyap) tolong bantu saya dengan doa ya?” suaranya memohon penuh iba dan melemah seolah mencari kekuatan penyangga.
 
Kurasakan pandanganku mulai kabur oleh air mata yang terus mengalir diam-diam tanpa kusadari. Selebihnya aku lebih banyak diam dan mendengarkan sahabatku bertutur tentang ayahnya sampai telepon ditutup.

***
 
Beberapa hari kemudian, sahabat saya kembali menelepon. Dari salam pembukanya, aku bisa merasakan kalau kali ini sahabatku terdengar lebih tegar. Setelah saling menyakan kabar masing-masing, sahabatku menarik nafas dalam-dalam dan hening kembali tercipta begitu saja.

Setelah beberapa saat lamanya, akhirnya aku tidak tahan untuk tidak menanyakan kabar ayahandanya. Dengan hati-hati aku bertanya:
 
“Bagaimana keadaan ayah?” senyap.
 
“Sister, sepertinya tidak ada harapan untuk ayah saya…” kudengar dia menarik nafas dalam-dalam; kemudian berujar lagi “Ternyata hidayah itu sesuatu yang tidak bisa dipaksakan ya…saya merasa kesulitan untuk mencoba membuka hati ayah saya sendiri…?” suaranya serak dan tertahan seperti meanggung kesedihan.

Saya tidak tahu harus berkata apa, akhirnya dengan menguatkan diri dan dengan sangat berhati-hati saya berkata,
 
“Yang penting berusaha sajalah, jangan pernah putus asa. Perkara hasil, itu terserah Allah dan yakinlah bahwa Allah pasti akan memberikan yang terbaik buat kita semua, InshaAllah”. Sebuah ungkapan penghibur yang sangat biasa dan kuyakin sahabatkupun sebenarnya sudah sering mendengarnya.
 
“Iya, ya?!” katanya mencoba menentramkan diri.
 
“Maafkan saya karena hanya bisa membantu dengan doa saja…”, sambungku.
 
“Tak apa, jangan lupa doakan kami terus ya Sis”, katanya, sebelum akhirnya telepon ditutup dengan salam.

***

Setelah percakapan ditelepon itu, saya kembali merenungkan apa yang sedang dialami oleh sahabat saya saat ini. Sesuatu yang pernah kami perbincangkan sebelumnya. Kami bahkan sempat membahas tentang apa yang sebaiknya kami lakukan saat giliran itu datang menjemput. Ya, giliran untuk berpisah dengan orang tua yang kita cintai dan hormati. Orang tua yang selama ini telah banyak berjasa dalam mendidik dan membesarkan kita.

Sebuah episode dalam kehidupan yang pasti dan kita yakini datangnya, namun tetap saja tidak semudah seperti yang kita bayangkan sebelumnya saat kita mengalaminya. Hal itu menjadi terasa semakin tidak mudah manakala orang tua yang kita cintai dan hormati ternyata berbeda akidah dan keyakinan dengan kita. Perpisahan dalam kondisi beda keyakinan tersebut pastinya akan menjadi salah satu ujian terberat karena ketiadaan harapan untuk bertemu kembali dengan mereka suatu saat di akhirat kelak.

***

Tiba-tiba saja saya kembali teringat permintaan ibu mertua yang sudah diajukan kepada saya entah berapa kali; dari cara yang halus dan tersamar, sampai terang-terangan. Beliau dengan sangat memintaku untuk mengurusi pemakaman dan merawat tempat pemakamannya bila beliau telah tiada. Sebuah permintaan yang sulit kupenuhi karena pasti akan banyak sekali pernak-pernik yang tidak sesuai dengan akidah dan keyakinan saya.

Saya selalu menolak beliau baik secara halus maupun langsung tapi beliau sepertinya tidak pernah bosan untuk meminta saya. Puncaknya terjadi saat kami liburan di Bali tahun lalu. Beliau kembali mengajukan permintaan tersebut saat kami hanya berdua ditemani kedua anak-anakku yang masih kecil. Lalu dengan sangat hati-hati aku berucap:
 
“Ibu, kenapa sih Ibu tidak meminta adik ipar saja yang sudah pasti mengetahui semua seluk beluk pemakaman maupun upacara sesuai dengan keyakinan Ibu?”
 
Ibu mertua tampak murung. Beliau hanya diam saja dengan pandangan yang menerawang sangat jauh.

Saya merasa sangat bersalah tapi tidak punya pilihan lain. Saya juga tidak mau berbohong kepada beliau. Lalu dengan hati-hati kembali beliau berujar bahwa sebenarnya beliau tidak masalah kalaupun saya tidak mengurusnya sesuai dengan prosesi yang sebenarnya. Cukup sekadarnya saja pokoknya yang penting saya menyatakan kesediaannya agar beliau bisa melimpahkan semua peninggalannya pada kami. Sungguh saya merasa sangat terharu dengan permintaan beliau tapi sekali lagi saya minta maaf karena saya takut bermain-main dengan masalah yang bisa membahayakan akidah saya.

Akhirnya, entah untuk yang keberapa kalinya, dengan sangat halus saya kembali berujar bahwa saya tidak memikirkan masalah peninggalan beliau, cukuplah bagi kami limpahan kasih sayang beliau selama ini. Kami tidak berharap lebih. Saya bahkan berharap saya bisa membahagiakan beliau semampu saya sepanjang tidak berseberangan dengan akidah saya. 
 Yang terlihat oleh saya kemudian adalah wajah beliau yang menyiratkan rasa kecewa yang mendalam meskipun beliau berusaha untuk menutupinya.

Sejak saat itu beliau tidak atau belum pernah mengulang permohonannya lagi. Bila sudah demikian, rasanya apa yang saat ini dialami oleh sahabat saya menjadi semakin nyata adanya. Kami pun pasti sudah ada didalam daftar tunggu itu. Ya Allah, bila giliran untuk berpisah itu tiba, semoga kedua mertuaku telah mendapat hidayah dari-Mu yang tak ternilai itu, InshaAllah, amin.

Sumber http://arifin-naval.blogspot.com/2011/04/bila-giliran-itu-tiba.html

Sunday 22 July 2012

Biografi|Sekelumit Tentang Gus Dur


All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple… but it is not.  The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs.
-KH Abdurrahman Wahid-

Kala itu hari Sabtu tanggal 18 April 1953. Dari siang hari hingga sore, seorang anak tetap duduk di tepian jalan Cimahi-Bandung, menunggui ayahnya yang tidak sadarkan diri karena kecelakaan. Dan pukul 10.30 keesokan harinya, sang Ayah yang berusia 38 tahun meninggal dunia. Jenazah sang Ayah kemudian diboyong ke Jawa Timur. Ada satu hal yang masih lekat dalam ingatan si Anak, yakni betapa banyaknya orang yang berbaris di pinggir jalan untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ayahnya. Dia tercekat. Dalam benaknya terbit pertanyaan, “Apa yang mungkin dapat dilakukan oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya? Apakah ada prestasi yang lebih baik daripada hal ini dalam hidup?”
Anak itu adalah Gus Dur, yang berpuluh-puluh tahun kemudian menjadi Presiden RI yang ke-4. Gus Dur adalah seorang tokoh yang jalan pikirannya sukar diterka, misterius dan kontroversial. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden pada dasarnya sudah menjadi suatu kontroversi. Apakah bisa seorang buta memimpin sebuah negara seperti Indonesia? Namun perlu diingat, walaupun mata Gus Dur buta, hati dan pikirannya tidak.
Semasa menjabat menjadi Presiden pun banyak sekali hal kontroversial yang beliau lakukan. Seperti meminta beberapa menteri Kabinet Persatuan Nasional mundur dari jabatan mereka, mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya adalah pembubaran DPR/MPR dan mengganti nama Irian menjadi Papua. Sifatnya yang sangat plural, demokratis dan moderat juga seringkali menuai protes dari berbagai pihak. Beliau memperbolehkan bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat, dengan syarat masih di bawah bendera Indonesia. Beliau mengumumkan tahun baru Cina (Imlek) sebagai hari libur nasional dan lewat Keppres RI No. 6/2000, beliau mencabut inpres yang memarginalkan etnis Tionghoa di segala bidang.
Sosok yang semasa hidupnya pernah menuntut ilmu di Universitas Al Azhar dan Universitas Baghdad ini adalah jembatan. Jembatan yang mencoba mengkoneksikan banyak pihak agar menjalin komunikasi setara. Beliau menjembatani berbagai perbedaan, seperti perbedaan keyakinan. Latar belakangnya yang kental dengan nilai-nilai islam tidak membuatnya tumbuh menjadi seorang muslim yang radikal. Beliau menjalin hubungan yang akrab dengan pemuka-pemuka agama lainnya. Bahkan beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan kepada Gus Dur sebagai “Bapak Tionghoa”.
30 Desember 2009, Bapak Pluralisme itu wafat. Meninggalkan segudang ide tentang ketuhanan, kemanusiaan dan kebangsaan. Hari Kamis tanggal 31 Desember 2009 beliau dimakamkan di pemakaman keluarga pondok pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur. Liputan di stasiun TV menayangkan ribuan warga, santri dan tokoh-tokoh lainnya yang menyemut ingin menyaksikan secara dekat prosesi pemakaman beliau membuat saya dan kemungkinan besar juga sebagian besar masyarakat lain tercekat, “Apa yang mungkin dapat dilakukan oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya? Apakah ada prestasi yang lebih baik daripada hal ini dalam hidup?”

Friday 6 July 2012

Cerpen|Beast Ravenge


Lelaki itu kelabakan mencari tempat perlindungan. Dia terus mencoba membuka setiap pintu yang ditemuinya. Tapi semua pintu tidak mau membuka. Semua pintu terkunci!

Dia menatap ke balik punggungnya. Menatap tepat ke arahku. Rasa takut membayang di wajahnya yang dibanjiri keringat. Mungkinkah dia masih ingat dengan kejadian beberapa tahun lalu?

Meski belum pernah melihatku sebelumnya--secara langsung, Ini kali pertama kami bertemu, dia pasti ingat dengan apa yang telah diperbuatnya di masa lalunya. Menyuruh dan membayar orang untuk membasmi hama yang mengancam produksi perusahaannya. Dan kebetulan hama itu adalah kami. Orangutan.
***

Terdengar bunyi tembakan lagi. Terdengar bunyi ranting patah karena diinjak. Terdengar lolongan dari para orangutan yang mencoba melarikan diri. Terdengar teriakan para pemburu yang bersemangat menukar mayat kami dengan sejumlah uang. Tapi tak terdengar suara angin sekali pun. Seolah-olah mereka menyingkir, tidak ingin menyaksikan pembantaian yang dilakukan oleh para manusia.

Makin banyak bunyi tembakan. Beberapa orangutan yang berbadan besar, kebanyakan jantan, memutuskan untuk melawan. Mereka bergelayutan dari pohon ke pohon lalu menjatuhkan tubuh mereka yang bongsor pada para pemburu. Para pemburu tidak tinggal diam, tentu saja. Mereka makin brutal. Bersatu-padu, mengarahkan semua senapan demi menolong teman mereka.

“Cepat pergi!” Kata ayahku. Dia berusaha keras menyembunyikan kepanikan dalam suaranya, tapi dia gagal.

Ibuku bergeming. Aku melontarkan pertanyaan yang sebenarnya sudah jelas apa jawabannya, “Ayah tidak ikut?”

“Bawa dia pergi, cepat!” Lengking ayahku pada ibuku. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia bahkan tidak lagi menyembunyikan kepanikan dalam suaranya. “Mereka sudah dekat!”

“Ibu, yakinkan dia untuk ikut.”

Tapi ibuku sudah merengkuhku dalam pelukannya. Dia mencium suaminya--mungkin untuk terakhir kalinya. 

“Ucapkan selamat tinggal pada ayahmu,” katanya.

“Aku tidak mau,” rengekku. “Aku ingin dia ikut!”

“Dengar aku!” Ayahku mengguncang tubuh mungilku. Dia memaku tatapannya tepat ke mataku. “Sekarang kamu bukan lagi anak-anak. Sekarang kamu seorang pemuda.”

“Tapi...”

“Sekarang kamu seorang pemuda,” ulang ayahku, sengaja meninggikan suaranya. “Sekarang kamu yang bertanggung jawab untuk melindungi ibumu. Kamu sanggup?” Ada ketegasan dalam dua kata terakhirnya.

Aku tidak sanggup! Teriakku dalam hati. Aku cukup mengenal ayahku. Ketika dia memutuskan melakukan sesuatu, keputusannya tersebut tidak bisa diubah lagi. “Ya, aku sanggup!” Kataku lumayan lantang, mencoba meniru suara teriakan orangutan dewasa, tapi suaraku malah terdengar seperti cicitan bayi.

Kami kemudian berpisah. Melompat ke arah yang berbeda. Aku memandang ayahku hingga dia hilang ditelan pepohonan. Ibuku berusaha menahan jatuhnya air mata. Kubenamkan kepalaku ke tubuhnya dan mulai menangis sejadi-jadinya.

Kami mengira kami sudah cukup jauh merentangkan jarak. Tapi tak lama terdengar lagi suara ranting diinjak. Badan kami kontan menegang. Dugaan kami salah. Manusia pemburu itu tampaknya belum puas memisahkan kami dari kawanan hingga datang mengejar kami sampai kesini. 

Aku tahu ibuku kelelahan jadi aku menyarankan diri menyembunyikan diri kami di semak-semak sebelum mereka melihat kami. Dia menyetujui ideku. Matanya kemudian menyisir daerah sekitar kami dengan cepat. Sebenarnya ada banyak semak di sekitar kami. Tapi tak ada yang cukup besar dan lebar untuk menyembunyikan kami berdua. 

Kulirik sekilas tiga manusia yang berjalan ke arah kami. Sejauh ini mereka belum mengetahui keberadaan kami. Tapi sebentar lagi, setelah beberapa langkah, pada akhirnya mereka akan tahu. 

Di saat genting itulah ibuku membuat keputusan yang sama sekali tidak kusukai. “Diam dan jangan membuat suara!” Desisnya sambil menaruh tubuhku ke dalam semak di dekat kakinya. “Kali ini bersikaplah sebagai anak yang baik. Turuti kata ibu dengan--”

Dia belum sempat menyelesaikan kata-katanya. Dia bahkan belum mengatakan apa rencananya. Tapi para manusia yang tak sabaran itu, yang rakus, yang menganggap kami hama, sudah melontarkan pelurunya tepat di punggung ibuku. Mereka menembak tidak hanya sekali. Tapi beberapa kali!

“Ja-jangan k-keluar, s-sayang!” Di saat sekarat pun masih sempat-sempatnya ibuku memasang muka galaknya padaku!

Aku nyaris keluar dari tempat persembunyianku dan menyerang mereka. Tapi tubuhku terlalu gemetar. Aku terlalu takut. Tapi aku berusaha mengingat wajah mereka. Wajah tiga pemburu itu.

Sesaat setelah mereka pergi, dengan membawa mayat ibuku, tangisku pecah.
***

Tepat di hari itu keinginan untuk membalas dendam tumbuh subur di hatiku. Aku, dengan bantuan kawananku kini, berhasil menemukan tiga pemburu itu. Tapi mereka hanya orang lokal yang menginginkan hadiah. Bukan otak dibalik pembantaian orangutan--meski mereka memiliki cukup andil, manusia mana sih yang bisa menolak sihir uang?

Otak dibalik pembantaian kaumku sekarang berdiri gemetar di hadapanku. Dia sekarang berteriak-teriak panik memanggil pengawalnya.

“Percuma,” kataku. “Mereka tidak akan datang.”

Dia mendadak berhenti berteriak. Matanya menatap takjub. “Kau bisa bicara?!” Reaksinya sama dengan tiga pemburu yang membunuh ibuku. Mereka tidak percaya aku bisa bicara. 

“Kamu kira apa gunanya mulut ini?”

Dua orang sahabatku yang berdiri di belakangku--berkat bantuan mereka-lah kami bisa melumpuhkan semua pengawal rumah ini--kontan tertawa terbahak-bahak.

“Maksud dia, kenapa kamu bisa bicara bahasa manusia?” Sahut Septa setelah meredakan tawanya. Disampingnya Katai masih terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.

“Apa... Apa yang kalian inginkan?” Tahu kami bisa diajak bicara lelaki itu mencoba bernegoisasi dengan kami. “Kalian ingin uang? Kalian boleh meminta berapa pun juga--”

“Aku tidak ingin uangmu pak tua!” Aku mendekatinya dalam satu lompatan. Muka kami sekarang sejajar. Manusia dan orangutan. “Aku ingin nyawamu.”

Dia menelan ludah. Dengan susah-payah. “T-t-tunggu du-dulu, aku pu-pu-punya ti-ti-ga istri dan aku--”

Aku menikamkan pisau yang sedari tadi kusembunyikan di balik punggung. Tepat di jantungnya. Dia tidak menjerit. Aku menyumpal mulutnya dengan tangan kiriku. Matanya memancarkan kebencian. Kebencian yang dibawanya ke alam baka.

Kubiarkan pisauku tertanam di dadanya. Aku tidak berniat memilikinya lagi. Pisau itu sudah terkontaminasi oleh darahnya yang kotor.

“Kita pergi?” Tanya Katai setelah beberapa saat aku terdiam memandangi hasil perbuatanku.

“Kita masih ada rapat, ingat?” Bukan aku yang menjawabnya, tapi Septa.

“Maksudku, kita pergi menghadari rapat,” elak Katai. 
Septa mendengus. “Aqes,” dia menyebut namaku. “Kalau kamu ingin sendiri dulu...”

“Tidak,” aku berbalik menatap mereka berdua. “Aku pemimpin kawanan. Aku akan tetap hadir.”

***

Sudah banyak orangutan yang berkumpul di ruang rapat. Ruangan yang mampu menampung hingga 30 orangutan itu berdinding bambu dan beratap rumbia. Mulut-mulut yang tadi terbuka langsung tertutup begitu aku dan kedua temanku masuk dan menempati tempat duduk kami di depan ruangan. Dua orang orangutan betina berdiri sambil mengangkat kantong anyaman berisi pisang berukuran besar lalu membagikannya pada hadirin. Termasuk kami.
Itu sudah menjadi kebiasaan kami. Tapi tak satu pun dari kami menyentuhnya sebelum rapat selesai. 

Lalu kenapa dibagikan bila tak boleh dimakan saat itu juga? Ini ide Septa. Pembagian pisang ini adalah semacam tes kesabaran. Selama empat kali rapat, hampir 10 orangutan dikeluarkan, tidak diikutsertakan dalam rencana. Siapa tahu ketidaksabaran mereka malah membuat berantakan rencana yang telah disusun dengan baik.

Aku menunggu dua betina itu duduk kembali ke tempatnya sebelum menatap satu-persatu wajah mereka yang hadir. Mereka balik menatapku. Seolah siap melakukan apa pun yang sebentar lagi aku ucapkan.

“Hakam, bagaimana perkembangan ulat bulu?” Kepalaku menoleh pada orangutan berbadan ramping dan tinggi yang duduk di bangku deretan depan di pojok paling kanan.

“Mereka setuju membantu kita,” jawabnya. “Bahkan beberapa dari mereka sudah menyerang pemukiman manusia.”

“Bagus,” kataku sambil manggut-manggut. Hakam tersenyum bangga. “Kapu?”

Orangutan yang duduk di baris tengah, nomor dua dari kanan, kontan menundukkan tubuhnya. “Serangga tomcat tidak bersedia membantu kita,” cicitnya. “Maaf--”

“Kamu tidak perlu meminta maaf,” potongku. “Aku punya rencana agar mereka mau membantu kita.”

“Bagaimana caranya?” Tanya Katai. Gelombang tanda tanya tiba-tiba terbentuk di ruangan itu.

“Dengan memanfaatkan wereng dan para tikus,” kataku dengan nada puas. “Sudah kamu urus kerjasama kita dengan dua 'pejuang' itu kan, Septa?”

“Tentu saja,” jawab Septa.

“Tapi bagaimana bisa hama seperti mereka...”

“Pejuang,” aku mengoreksi kata-kata Katai. Aku benci kata hama itu.

“Terserah,” kata Katai acuh.

“Mereka akan membuat panen gagal. Tikus akan merusak areal persawahan yang merupakan habitat tomcat. Dan setelah itu...”

“Mereka pindah tempat tinggal ke pemukiman manusia,” kata beberapa orangutan serempak, termasuk Septa.

Seekor orangutan yang duduk di deretan belakang mengacungkan tangannya.

“Ya, Meha?” Meha adalah orangutan termuda di ruang rapat ini.

“Lintah,” kata Meha, tapi suaranya kemudian menghilang.

“Ada apa dengan lintah? Mereka nyaris punah karena ulah manusia?”

“Jumlah mereka memang menyusut, pak. Tapi bukan itu yang ingin saya beritahukan pada anda,” dia berhenti sejenak untuk mendapatkan perhatian seluruh hadirin. “Mereka setuju ikut bagian dari rencana kita. Dan kini mereka telah mengerahkan kekuatan penuh di pemukiman manusia di kota Demak.”

“Itu berita bagus!” Aku bersorak gembira. Begitu pula seluruh kawananku yang menghadiri rapat ini. Tampaknya rencana kami mencari dukungan sebanyak mungkin, sejauh ini, berjalan dengan baik.

Kebencianku pada manusia tampaknya tumbuh subur jauh dari perkiraanku. Awalnya aku hanya ingin membalaskan dendam kematian kedua orangtuaku, tapi kemudian rencana itu berkembang menjadi lebih besar. Dan aku mendapat dukungan. Tidak hanya dari kawananku. Aku bertemu banyak hewan yang menyimpan dendam sama besarnya pada manusia. Mereka tidak terima habitat mereka, keluarga mereka, keberlangsungan hidup mereka yang seolah tidak ada artinya bagi manusia--selain bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kantong-kantong mereka yang menyerupai mulut yang kelaparan, direnggut begitu saja dari tangan kami. Dan kami mempertanyakan hal yang sama. Bagaimana bila kejadian itu terulang lagi? Bagaimana bila manusia-manusia dengan senapan apinya datang lagi untuk membantai kami? 

Dari dua pertanyaan tersebut, terbersitlah ide rencana mengambilalih bumi di benakku.

Sudah cukup kami mempercayakan nasib kami pada ras manusia. Memang siapa mereka berani-beraninya melabeli kami sebagai hama dan lalu mengeksekusi kami kapan saja sekehendak hati mereka? 
Sudah saatnya kami menunjukkan kekuatan kami. Sudah saatnya kami, hewan-hewan yang diberkati, memperjuangkan hak-hak kami.

Mungkin ramalan 2012 suku Maya, yang sering diperbincangkan manusia, sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Sebab gaya hidup mereka, para manusia, akan segera berubah. Menjadi budak para hewan. 


-------------------------------------------------------
http://junnotes.blogspot.com/2012/04/beast-revenge.html

Cerpen|KISAH SANG MALING – Cerpen Koran


Malam yang naas bagi Sukro. Dia terkepung dan tidak bisa lari ke mana‑mana lagi. Pandangan matanya silau oleh sorot lampu‑lampu senter para pengepungnya. Antara rasa ngeri dan putus asa, ia mengharap pertolongan Tuhan di malam itu. Antara rasa ngeri dan putus asa, ia masih sempat memikirkan keadaan istrinya. Wanita itu tergolek tak berdaya di rumah sakit karena terdapat kelainan pada kandungannya. Dokter mengatakan harus dilakukan pembeda­han.
Sukro mengharap Tuhan memaklumi dan memaafkan keja­hatannya di malam itu. Ia mencoba mencuri sepeda di kam­pung tetangganya ini, namun tidak berhasil karena keper­gok. Oh Tuhan, ini terpaksa kulakukan demi istriku, keluh­nya dalam hati.
“Modar kowe saiki! Mau lari ke mana lagi, ha?!”
“Ayo kita cincang dia sekarang!”
Sukro menatap wajah‑wajah pengeroyoknya dengan tatapan nanar. Hatinya gentar. “Ampun, pak. Saya terpaksa. Baru sekali ini saya berbuat. Istri saya perlu biaya di rumah sakit,” ia mencoba memohon belas kasihan dari mere­ka.
“Aaass, tiada maaf bagimu!” sahut salah seorang dari mereka.
“Dia ini pasti yang sering mencuri di tempat kita,” tuduh yang lain. “Sekarang lagi apes kowe, ya!”
“Ayo sikat!” Tiba‑tiba ada yang mengomando. Segera saja tubuh Sukro mendapat gebukan bertubi‑tubi. Kepalan‑kepalan tinju, tongkat, pentungan, tendangan, bahkan batangan besi panjang berganti‑ganti mendarat di tubuhnya. Bak‑buk! Bak‑buk! Dari kepala sampai kaki mereka menghajarnya. Massa yang beringas. Saat itu dalam pandangan mereka barangkali Sukro bukan lagi ‘manusia’. Tapi ia tak beda dengan nya­muk, kecoak atau tikus. Ia seperti binatang menjijikkan yang harus dipithes!
Sukro merasakan tubuhnya remuk‑redam. Pandangannya berkunang‑kunang. Dengan penuh semangat mereka menggebuki­nya sampai berkeringat. Ia sendiri juga berkeringat karena menahan rasa sakit. Tapi keringat yang bercampur darah.
Di malam itu para pengeroyoknya merasa bahwa mereka punya hak untuk langsung memvonis Sukro. “Ayo sekarang kamu ngaku, kamu tho yang selama ini sering mencuri di kampung ini?!” Seorang laki‑laki kekar menarik kerah bajunya dan menginterogasi. Sementara massa berhenti memukulinya.
“Ayo ngomong!” hardiknya sambil mengguncang‑guncang tubuh Sukro. Sukro mencoba mengumpulkan kesadarannya. Ia ingin bicara tapi bibirnya pecah dan beberapa buah giginya rontok.
“Ampun, pak. Bukan saya…,” kata Sukro dengan terengah‑engah.
“Mau ingkar, ya?! Nih rasakan!” sebuah bogem mentah mendarat di pelipisnya dan membuat Sukro mencelat. Ia menggeliat di bawah kaki mereka, berusaha untuk bangun. Lalu ada seorang pemuda menarik lengannya. Ia menahan tubuh Sukro yang berdiri terhuyung‑huyung. Lalu tiba‑tiba ia melepaskan pegangannya dan secepat kilat melakukan tendangan putar. Sekali lagi Sukro terjerembab karena menjadi korban uji coba tendangan putar dari pemuda yang baru saja lulus ujian sabuk hijau tadi.
Beberapa tangan segera menariknya. Belum sampai berdiri, kembali ia dihajar bertubi‑tubi. Sukro tak kuat lagi menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, bahkan ia sudah hampir putus asa untuk  tetap bisa hidup setelah ini. Tapi di dalam benaknya ia masih belum berhenti minta ampun kepada Tuhan. Kalau memang ia harus mati, biarlah, asal di akhirat nanti ia tidak mendapat siksa lagi.
“Sudah! Sudah!” akhirnya ada yang memberi komanda untuk berhenti. “Sekarang kita bawa dia ke rumah Pak Erwe.”
Lalu beramai‑ramai mereka menggiring Sukro yang babak belur itu. Setelah sampai mereka menceritakan keja­dian tadi kepada Pak Erwe.
“Siapa nama kamu?” tanya Pak Erwe.
“Jadi sekarang kamu ngaku nggak kalau kamu itu maling,” desak Pak Erwe kepada Sukro.
“Iya, pak,” sahut Sukro lirih. “Dan dia itu pasti maling yang sering beraksi di kampung kita ini, pak!” langsung disambung oleh salah seorang penangkapnya.
“Benar?” selidik Pak Erwe.
“Tidak, pak. Baru sekali ini karena istri saya butuh biaya untuk melahirkan,” ungkap Sukro.
“Ah, itu kan alasan saja!” sangkal salah seorang dari ‘penonton’.
“Jadi kamu bukan yang sering mencuri di sini?” tanya Pak Erwe.
“Bukan, pak. Saya baru pertama kali ini.”
“Baiklah, akan kita serahkan orang ini kepada po­lisi,” putus Pak Erwe.
“Tunggu dulu, pak. Persoalannya harus jelas, kita harus tahu siapa yang sering mencuri di kampung kita ini!” cegah Bendhul, salah seorang pentholan pemuda di kampung itu. Sementara teman‑temannya yang lainpun mendukung.
“Iya, pak. Agar masyarakat kita tidak resah lagi. Kita harus dapat mengungkapnya.”
“Barangkali pengakuannya itu hanya dibuat‑buat saja supaya kita kasihan.”
“Coba sekali lagi kamu katakan dengan jujur. Kamu ngaku saja. Kamu sering mencuri di sini, nggak?!” Pak Erwe kembali menanyainya.
“Sumpah, pak. Saya baru sekali ini,” bantah Sukro.
“Brengsek kamu ya!” Tiba‑tiba Bendhul menarik kerah Sukro dan menempelengnya.
“Bendhul! Sudah!” Pak Erwe merasa tersinggung atas perbuatannya itu yang dianggap meremehkan kewibawaannya. Sementara Bendhul yang masih meluap‑luap emosinya dipe­gangi oleh orang‑orang di sekitarnya.
“Pak Erwe, kita harus selidiki siapa tahu dia punya kawanan,” kata Bagong.
“Ah sudahlah, itu biar jadi urusannya polisi saja. Lagi pula kalian kan sudah menghajarnya sampai babak‑belur begini. Itu namanya kalian sudah main hakim sendiri. Nah, Ahmad dan Rijal, kalian berdua ikut saya mengantar orang ini ke kantor polisi. Baiklah bapak‑bapak dan saudara‑saudara sekalian, masalah ini kita tuntaskan dulu sampai di sini karena malam sudah larut dan esok hari kita masing‑masing  punya tugas yang harus dikerjakan. Selamat malam,” akhirnya Pak Erwe membubarkan acara interogasi itu.
Mereka pulang dengan pikiran dan perasaan masing‑masing. Ada yang merasa lega karena malingnya tertangkap. Ada juga yang merasa menjadi hero. Tapi ada pula yang masih penasaran seperti Bendhul dan Bagong. Masing‑masing punya cerita untuk esok harinya.
Sukro yang malang kini meringkuk dalam tahanan. Sebuah pekerjaan yang sia‑sia. Bebannya kini bertambah berat. Bagaimana ia harus mencari biaya untuk operasi istrinya? Tubuhnya saja sudah hancur. Belum lagi hukuman pengadilan yang nanti harus dijalaninya. Kuat pulakah istrinya nanti menanggung aib ini di tengah masyarakat? Otaknya tak kuat lagi memikirkan itu semua, ia hampir putus asa.
Oh Tuhan…, suara batinnya tercekat. Hampir saja ia menuduh Tuhanlah dalang dari peristiwa ini. Seandai­nya dia tidak miskin atau seandainya tidak ada kelainan di kandungan istrinya.
Untunglah masih ada sepercik iman yang tersisa di kalbunya. Masih cukup kuat untuk mencegahnya bunuh diri.
Di lain pihak, Pak Erwe termenung memikirkan kejadi­an semalam. Biasanya dia sendiri juga ikut menghajar kalau ada maling yang tertangkap basah seperti si Sukro itu. Tapi tadi malam sebelum Sukro digelandang ke rumahnya, tiba‑tiba ada sepercik kesadaran di hatinya. Tentang apa saja yang telah dikerjakannya selama ini. Ia yang tidak peduli dalam mencari nafkah, halal atau haram. Korupsi, kolusi, manipulasi… semua pernah dilakukannya.
Ia tahu perbuatan seperti itu sangat tercela dan berdosa. Tapi di jaman ini bukan dia sendiri yang begitu. Hal ini sudah umum, lumrah. Orang‑orang yang berusaha untuk jujur sudah langka. Dan kalau ada, mereka sulit untuk berkembang dalam kehidupannya. Bukankah hidup di tengah masyarakat, kita harus punya prestise agar dihar­gai?
Tapi tadi siang hampir saja ia tewas digilas oleh truk ketika sepeda motornya selip di tengah jalan. Untunglah tubuhnya terguling di kolong truk itu, di antara roda‑rodanya. Ia selamat dan sepeda motornya juga selamat karena terseret aspal ke tepi jalan. Ia dan sepeda motor­nya tidak tergilas oleh truk itu!
Kejadian itu berlangsung di depan sebuah masjid tepat pada saat adzan zuhur. Sebagai ungkapan rasa syukur­nya ia mampir ke masjid itu untuk menghadap kepada Allah. Ketika itu ia begitu takut pada kematian. Dalam doanya, ia sampai bercucuran air mata karena haru dan syukur. Peris­tiwa itu telah membuatnya berpikir pada malam harinya. Ia merasa malu kepada Tuhan. Ia juga malu kalau ada orang lain yang mengetahui perbuatannya selama ini. Bahkan ia juga malu terhadap teman‑temannya yang sama‑sama koruptor atau pernah diajak kolusi.Lalu datanglah Sukro yang digi‑ring oleh orang banyak ke rumahnya. Sukro yang maling sepeda itu. Baru sekali mencuri tapi apes nasibnya. Mena­tap Sukro seperti menatap bayangannya di cermin. Tapi Sukro terlalu bagus untuk jadi bayangannya! Apalagi ketika benar terbukti istri Sukro menjalani bedah caesar di rumah sakit. Sukro mencuri karena terpaksa. Sedangkan dia, dia mencuri karena merasa masih kurang dan dengan cara yang lebih licik.
Sementara itu Bendhul dan Bagong, dua orang di antara pentholan pemuda kampung itu, menjalani hari‑hari­nya dengan biasa. Mereka tak punya pekerjaan tetap selain berjudi dan teler. Kadang‑kadang jadi makelar di antara teman‑temannya. Tapi lebih sering mereka mencuri ke kam­pung tetangga atau mengompas orang. Mereka berdua dan teman‑temannyalah yang paling bersemangat menghajar Sukro di malam itu. Maling berteriak maling, maling menghajar maling.
Sedangkan Prakoso, pemuda yang baru lulus ujian sabuk hijau, dengan bangga bercerita kepada teman‑teman­nya, terutama pacarnya, tentang kisah keberaniannya me­nangkap maling. Bagaimana ia memburu maling dan mengepung­nya bersama orang banyak. Dan tidak ketinggalan pula diceritakan bagaimana tendangan putarnya berhasil meroboh­kan si maling.
Sukro dijatuhi hukuman tiga bulan kurungan. Malang nasibnya. Tapi masih ada satu orang yang kasihan dan mau membantu kesulitannya. Seluruh ongkos perawatan dan opera­si istrinya ditebus oleh Pak Erwe. Tuhan, ampunilah dosa‑dosaku selama ini. Inilah sebagian uang rakyat yang kukem­balikan kepada mereka, bisiknya lirih dalam hati.
___________
Cerita pendek ini pernah dimuat di Harian REPUBLIKA pada tahun 2002. Pengarang: Syafruddin Hasani.

Cerpen|War(Perang)


WAR
-Oleh Luigi Pirandello
Para penumpang yang baru meninggalkan Roma dengan kereta api cepat malam harus berhenti dan menunggu sampai fajar di sebuah stasiun kecil di Fabriano untuk ganti kendaraan dengan menggunakan kereta tradisional kecil yang melewati jalur utama ke Sulmona.
Ketika fajar, dalam sebuah kereta kelas dua yang di dalamnya sudah ada lima orang penumpang yang telah menunggu sejak tadi malam, seorang wanita berbadan gemuk seperti buntelan tak berbentuk dibantu ditarik naik masuk ke dalam. Ia diiringi oleh suaminya, seorang laki‑laki kecil kurus dan lemah—wajahnya pucat pasi, kedua bola matanya kecil dan tajam serta nampak malu‑malu dan kikuk—yang berjalan terengah‑engah.
Akhirnya setelah mendapat tempat duduk dengan sopan ia berterima kasih kepada para penumpang yang telah menolong istrinya tadi serta bersedia meluangkan tempat duduk untuk wanita itu. Kemudian ia berpaling kepada istrinya dan menarik kerah mantelnya, lalu dengan halus bertanya:
“Engkau baik‑baik saja, Sayang?”
Istrinya bukannya menjawab tapi malah menarik lagi kerahnya sampai ke mata seakan ingin menyembunyikan wajahnya.
“Dunia yang parah,” keluhnya sambil tersenyum sedih.
Dan ia merasa menjadi tugasnya untuk menjelaskan kepada teman‑teman seperjalanannya bahwa wanita yang malang itu perlu dikasihani, karena perang telah merebut putra satu‑satunya, seo‑rang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang mana kedua orang­tuanya telah mencurahkan seluruh hidup mereka untuknya, bahkan sampai meninggalkan rumah mereka di Sulmona untuk mengikutinya ke Roma di mana ia harus melanjutkan studinya. Kemudian melepasnya untuk ikut wajib militer dengan jaminan bahwa paling tidak dalam waktu enam bulan ia tidak akan dikirim ke medan perang, tapi sekonyong‑konyong mereka menerima telegram yang memberitahukan bahwa pemuda itu akan dikirim dalam waktu tiga hari dan meminta mereka berdua supaya mengantar keberangkatannya.
Wanita bermantel besar itu meronta‑ronta kecil di tempat duduknya dan berkali‑kali menggeram seperti seekor binatang buas, dia merasa yakin bahwa segala penjelasan itu tidak akan menumbuh­kan walau hanya sekedar simpati dari orang‑orang itu, yang seba­gian besar sama‑sama bernasib malang seperti dirinya. Salah seorang di antara mereka itu yang mendengarkan dengan perhatian khusus berkata:
“Seharusnya kalian bersyukur karena putra kalian baru sekarang dikirim ke front. Putraku telah dikirim sejak hari pertama pertempuran. Ia sudah dua kali pulang dalam keadaan luka dan setelah sembuh dikirim kembali ke front.”
“Bagaimana denganku? Aku memiliki dua orang putra dan tiga orang kemenakan di medan perang,” sambung penumpang yang lain.
“Mungkin, tapi bagi kami ia adalah anak satu‑satunya,” jawab sang suami membela diri.
“Apa bedanya? Anda bisa saja memanjakan anak satu‑satunya itu dengan perhatian yang berlebihan, tapi anda tidak bisa mencintainya lebih daripada anak‑anak lainnya seandainya anda juga punya. Kasih sayang orangtua tidak sama seperti sepotong kue yang bisa diiris‑iris lalu dibagi rata kepada semua anak. Seorang ayah akan memberika semua kasih sayangnya kepada setiap anaknya tanpa perkecualian, tidak peduli apakah satu atau sepuluh anak. Dan kalau sekarang aku menderita karena dua orang putraku, bukan berarti aku menderita untuk masing‑masing mereka setengah, bahkan penderitaanku berganda….”
“Benar, benar…,” desah sang suami yang nampak malu itu, “tapi seandainya (tentu saja kita semua berharap anda tidak akan pernah mengalaminya) seorang ayah memiliki dua orang putra di garis depan, lalu ia kehilangan salah seorang di antara mereka, maka ia masih memiliki seorang lagi sebagai pelipur laranya, sementara….”
“Ya,” potong temannya, “masih ada seorang anak sebagai pelipur lara baginya. Tapi juga demi anak yang satu itu ia harus tetap mempertahankan hidupnya. Sementara dalam kasus seorang ayah yang memiliki anak tunggal, jika anak itu mati maka sang ayah pun bisa ikut mati dan kesedihannya akan berakhir. Mana di antara dua posisi ini yang lebih buruk? Tidakkah anda lihat bahwa keadaanku bisa lebih buruk daripada keadaan anda?”
Nonsense!” interupsi seorang penumpang yang lain, seorang pria gemuk berwajah kemerahan dengan mata yang lelah.
Napasnya tersengal‑sengal. Dari kedua bola matanya yang menonjol keluar seolah‑olah akan menyemprotkan gejolak dahsyat dalam dirinya yang sudah tak terkendali dan hampir tidak kuat lagi ditanggung oleh tubuhnya yang lemah.
Nonsense,” ulangnya sambil berusaha menutupi mulutnya dengan telapak tangan seakan untuk menyembunyikan dua gigi depannya yang sudah ompong. “Nonsense. Apakah kita memberi kehidupan bagi anak‑anak kita untuk kepentingan kita sendiri?”
Para penumpang yang lain memandangnya dengan bingung. Salah seorang yang tadi anaknya dikirim ke front sejak hari pertama peperangan mendesah, “Anda benar. Anak‑anak kita bukan milik kita, mereka adalah milik negara ….”
Bosh,” potong laki‑laki gemuk tadi. “Apakah kita memikirkan negara saat kita memberi hidup kepada anak‑anak kita? Anak‑anak kita itu lahir … ya … karena mereka memang harus lahir. Dan ketika mereka memasuki kehidupan ini mereka membawa kehidupan kita ke dalam kehidupan mereka. Inilah yang sesungguhnya. Kita milik mereka tapi mereka tidak pernah jadi milik kita. Dan ketika mereka mencapai umur dua puluh, mereka pun sama seperti kita dulu waktu seusia mereka. Kita juga punya ayah dan ibu, namun di samping itu juga ada banyak lagi hal‑hal lainnya … gadis‑gadis, rokok, angan‑angan, dasi baru…dan negara, tentu saja, yang seruannya kita penuhi—ketika kita berumur dua puluh—bahkan walaupun ayah dan ibu tidak mengijinkan. Dalam usia kita yang sekarang ini, rasa cinta kepada tanah air masih tetap besar, tentu saja, tapi lebih kuat daripada itu adalah rasa cinta kepada anak‑anak kita sendiri. Apakah ada di antara kita di sini yang tidak dengan senang hati akan mengambil alih tempat anaknya di medan perang jika saja ia mampu?”
Sunyi. Masing‑masing mengangguk‑angguk seakan setuju.
“Mengapa kemudian,” lanjut laki‑laki gemuk tadi, “kita tidak memikirkan perasaan anak‑anak kita ketika mereka telah berumur dua puluh? Bukankah wajar saja dalam usianya yang sekarang ini mereka seharusnya mencintai negara mereka (tentu saja bagi seorang pemuda yang baik) lebih besar terhadap kecintaan mereka kepada kita? Bukankah wajar saja begitu, paling tidak mereka harus menganggap kita sebagai bocah‑bocah tua yang sudah tidak bisa apa‑apa lagi dan harus tinggal di rumah? Kalau negara ada, kalau negara adalah kebutuhan pokok seperti roti yang mana kita semua harus pergi dan membelanya. Dan putra‑putra kitapun pergi, ketika mereka telah berumur dua puluh. Mereka tidak membutuhkan air mata kita, karena kalau mereka gugur, mereka gugur dengan penuh semangat dan kebahagiaan (bagi seorang pemuda yang baik, tentu saja). Sekarang, jika seseorang mati muda dan bahagia, tanpa memiliki sisi gelap kehidupan, kemuakan terhadapnya, kepicikan, kekecewaan yang pahit … apa lagi yang bisa kita pintakan untuknya? Setiap orang harus berhenti menangis, setiap orang harus tertawa, seperti aku … atau paling tidak bersyukur kepada Tuhan, seperti aku ini. Karena putraku sebelum meninggalnya, mengirimkan pesan kepadaku yang mengatakan bahwa ia mati dalam keadaan puas karena hidupnya berakhir dengan cara terbaik yang dapat diharapkannya. Itulah sebabnya mengapa aku sekarang ini, seperti yang kalian saksikan, tidak bersedih ….”
Ia mengibaskan sebelah sisi belahan mantelnya seakan hendak memamerkannya. Bibir pucatnya yang menutupi gusinya yang ompong bergetar. Kedua bola matanya yang berkaca‑kaca menatap terpaku. Lalu ia mengakhiri kata‑katanya dengan sebuah tawa melengking yang terdengar seperti suara tangis yang terisak‑isak.
“Ya, ya,” yang lain menyetujui.
Sementara perempuan tadi, yang terbungkus dengan mantelnya di pojokan, duduk sambil menyimak penuh perhatian. Sudah selama tiga bulan terakhir ini ia berusaha mencari di antara kata‑kata suaminya dan kawan‑kawannya sendiri sepotong kalimat yang dapat menghiburnya untuk mengatasi kesedihan yang dalam ini. Sepotong kalimat yang dapat menunjukkan kepadanya bagaimana seorang ibu mesti bersedia mengikhlaskan hatinya untuk melepas putranya bukan hanya untuk kematian saja tapi bahkan untuk suatu kehidupan yang berbahaya. Dan dari sekian banyak ucapan‑ucapan itu ia belum menemukan sepatah katapun … dan kesedihannya semakin dalam setelah merasa—menurut dugaannya—tak seorangpun yang dapat berbagi perasaan dengannya.
Akan tetapi sekarang ucapan‑ucapan dari penumpang tadi itu mengejutkannya dan hampir membuatnya pingsan. Tiba‑tiba saja ia menyadari bahwa bukan hanya orang lain saja yang salah dan tidak dapat mengerti, tapi bahkan dia sendiri juga tidak bisa menempatkan dirinya pada tingkatan para ayah dan ibu yang sanggup merelakan, tanpa tangis, bukan hanya untuk kepergian putra mereka saja, namun bahkan untuk kematiannya.
Dia membungkuk di pojokan dan menengadahkan wajahnya sambil berusaha menyimak  dengan teliti atas detil‑detil yang diceritakan oleh laki‑laki gemuk itu kepada teman‑teman seperjalanannya tentang bagaimana ketika putranya itu gugur sebagai seorang pahlawan untuk raja dan negerinya, dengan bahagia dan tanpa penyesalan.
Rasanya bagi perempuan itu dirinya telah tersesat ke suatu dunia yang tak pernah dibayangkannya, dunia yang begitu jauh tak dikenalnya dan dia begitu senang mendengar setiap orang bersama‑sama mengucapkan selamat kepada sang ayah yang tegar itu, yang dapat dengan begitu tabah menceritakan tentang kematian putranya.
Kemudian sekonyong‑konyong, seperti tidak pernah mendengar apa‑apa dari cerita yang baru saja diucapkan tadi dan hampir seperti terbangun dari mimpi, dia bertanya kepada laki‑laki tua itu:
“Lalu, apakah putra anda benar‑benar sudah mati?”
Semua orang kini memandangnya. Laki‑laki tua tadi juga berpaling ke arahnya. Kedua bola matanya yang besar menonjol dan berwarna abu‑abu muda dengan berkaca‑kaca menatap lekat‑lekat ke wajah si perempuan. Untuk beberapa saat ia mencoba menjawab, namun kata‑katanya tersekat di tenggorokan. Ia memandangi dan memandangi terus wanita itu, seakan baru sekarang—karena per­tanyaan yang bodoh dan sembrono itu—tiba‑tiba ia menyadari bahwa pada akhirnya putranya memang sungguh‑sungguh telah mati. Anak itu telah pergi untuk selamanya,  selamanya ….
Wajahnya berkerut, berubah mengerikan, kemudian dengan cepat ia merenggut sehelai sapu tangan dari tasnya dan membuat semua orang terkejut ketika tangisnya meledak di dalam sedu‑sedan yang pedih memilukan hati.
.
.
.
LUIGI PIRANDELLO (1867 ‑ 1936), meskipun kebanyakan masa hidupnya dihabiskan di Roma, namun ia lahir dan berasal dari Sisilia asli. Meski kehidupan rumah tangganya tidak bahagia dan ia tidak merasa cocok dengan karirnya sebagai guru, tapi ia memproduksi banyak karya hebat di bidang cerita pendek, novel dan drama. Penghargaan baru diperolehnya setelah memasuki usia lima puluh tahunan. Di antara karya‑karya besarnya adalah naskah drama yang berjudul Six Character in Search of An Autor dan As You Desire Me. Ia menerima Hadiah Nobel pada tahun 1934.
.
SUMBER: http://www.geocities.com/muna_qudah/pirandello.html
.
Alih bahasa Syafruddin HASANI.