Monday 2 July 2012

Cerpen|REOG

REOG Wallpaper for PC 1024 x 768 - Left: Reog, Mid: Ragil, Right: Barong Masa Raja-Raja Nusantara. Birunya langit mulai meredup di atas hutan di perbatasan Kerajaan Kediri. Para unggas siang beterbangan kembali ke peraduannya di pohon-pohon rindang. Namun burung-burung itu malah berpencaran ke langit lepas. Ada apa gerangan? Rupanya mereka mendengar suara riuh-rendah dari dalam hutan itu, bersumber dari dua kelompok yang tengah berlaga. Kelompok pertama terdiri dari makhluk-makhluk aneh setengah manusia yang disebut siluman. Lainnya terdiri dari pendekar sakti berpakaian hitam-hitam dan berkulit semerah darah yang disebut Warok. Pasukan siluman tampak di atas angin, bertubi-tubi mendesak para Warok yang kalah jumlah. Tampak di tengah kerumunan itu sesosok manusia yang terpuruk di tanah, berbulu bagai harimau dan rambutnya lebat mengembang, berwarna-warni bagai ekor merak. Di hadapannya seorang pria bertopeng berdiri tegak, tubuhnya seakan terbelit ribuan akar hijau. “Ajalmu tiba, Singabarong,” ujar si topeng hijau sambil menghunjamkan cakar hitamnya ke arah lawan. Anehnya sang lawan malah bergeming. Laju cakar terhenti, tepat menggores kulit lehernya. “Lakukanlah! Tunggu apa lagi, Reog?” Reog menarik cakarnya dan berujar, “Aku tak membunuh lawan yang tak berdaya. Pergi!” “HABISI AKU!” “PERGI, sebelum aku berubah pikiran!” Senyum Singabarong mengembang. Ia lalu bangkit dan berseru, “Pasukan, MUNDUR! Kau menang, Kelana Sewandana! Sang Dewi dari Kediri layak jadi milikmu!” Larilah ia bersama sisa pasukannya. Tiba-tiba seorang Warok berjanggut putih berseru, “KEJAR! HABISI MEREKA!” Serta-merta seluruh pasukan Warok mengejar, meninggalkan si pemimpin tua bersama Raja Ponorogo Kelana Sewandana, Patih Bujang Anom dan Reog. “Daulat Baginda, kini kita bisa meneruskan perjalanan,” ujar Warok Tua sambil berlutut bersama Reog. “Bagus, Bagus! Kalian Warok memang pantas diandalkan,” ujar Raja Kelana sambil mengenakan Topeng Kencana pada wajah tampannya yang terluka berat akibat pertempuran tadi. “Terutama kau, Reog, yang mengalahkan Prabu Singabarong. Kau pantas mendapat anugerah tertinggi!” Warok Tua menyela, “Ampun Baginda, tapi aku merasa ada pengkhianat di antara kita.” “Benarkah? Siapa?” tanya Kelana, terperanjat. “DIA!” Secepat kilat, Warok Tua menyarangkan cakar hitamnya di tubuh si pengkhianat. Tak siap, Reog hanya bisa berkata lirih, “A-apa... salahku, guru?” “Pura-pura tak tahu?” hardik Warok Tua. “Musuh jelas takluk, tapi kau tak menghabisinya, malah melepaskannya. Entah kau bersekongkol dengan musuh atau kau sudah lupa aturan utama Warok, TIADA AMPUN! Karena itu, tiada ampun pula bagimu!” Mendengar itu, Reog malah tertawa sekeras-kerasnya. “Inikah harga sebuah kesaktian?” ujarnya. “Terjebak dalam aturan yang mengabaikan nurani dan kehormatan? PUIH! Aku tahu, kalian hanya iri pada kekuatanku dan mengincar topeng saktiku ini! Jadi dengar! Siapapun yang memakai topengku akan mati mengenaskan! Hanya pembela kehormatan sepertikulah yang berhak mewarisinya! HAHAHAHA!” Seiring tawa terakhirnya, Reog meledakkan sisa tenaga dalamnya hingga mementalkan Warok Tua. Raga Reog luluh jadi debu, menyisakan topeng yang tergeletak di jalan setapak. Dengan tubuh bergetar Warok Tua memungut topeng hijau bertanda matahari hitam di tengahnya itu. Ia terdiam di tempat, mengernyitkan dahi dan menggertakkan gigi. ==oOo==
REOG Chara PC Wallpaper 1024 x 768 - Ragil: Justice vs Bondan: Honor vs Johnny: Truth Abad demi abad berlalu. Matahari masih tetap bertakhta di puncak langit, membasuh rimba pencakar langit bernama Jakarta dengan sinar teriknya. Udara panas, pengap dan berpolusi memeras semangat para pejalan kaki, tak terkecuali pemuda kurus, berambut gimbal dan berkulit sawo terlalu matang ini. Dengan wajah lesu ia menyeka peluh di keningnya. Senyum baru bersemi di bibir tebalnya saat kakinya melangkah ke dalam sebuah kafe di pinggir jalan itu. Pemuda itu menoleh kiri-kanan lalu menghampiri seorang wanita yang duduk sendirian dekat jendela. Wanita berparas ayu itu mengenakan blus putih yang dibalut blazer hitam serta celana jeans biru, tampak penuh kharisma. Ia menoleh, menatap si pemuda dengan mata jeli berkacamata, penuh selidik. Tak sengaja mata si pemuda terpaku pada sebentuk cincin batu mirah di jari manis kiri wanita itu. Cincin itu tampak antik, merata kilau permatanya diterpa cahaya dari luar. Cepat-cepat ia mengalihkan perhatiannya dari benda itu. “P… permisi… Ini Mbak Rania Giselda?” tanya si pemuda sesopan mungkin. “Ya. Kamu pasti Bondan Prasetyo, bukan?” Rania mendelik. Pemuda bernama Bondan itu mengangguk. “Oke, duduklah.” Wanita itu tersenyum, mencairkan suasana. Dengan anggun Rania menghirup Iced Hazelnut Latte-nya. Ujarnya, “Nah, Bondan. Perlu kamu tahu, saya adalah seorang detektif swasta. Seorang klien menyewa saya untuk menyelidiki kasus pencurian Topeng Reog dari Museum Nasional.” “Saya melihat beritanya di internet. Tapi, apa hubungan saya dengan kasus itu?” “Kamu adalah tersangka utamanya, Bondan.” Mata Bondan terbelalak bagai disambar petir. “Saya? Yang benar saja mbak! Kalau saya pencurinya, saya pasti sudah sembunyi!” “Bicara itu mudah,” ujar Rania. “Untuk meyakinkan yang berwajib kita butuh BUKTI, bukan hanya bicara. Data dari museum menunjukkan namamu ada di daftar tamu sebagai peneliti Topeng Reog, lengkap dengan nomor ponsel dan alamat e-mail pula. Bukan hanya sekali, tapi dua belas kali dalam dua bulan.” “Ya, penelitian saya itu untuk bahan artikel di blog saya. Apa mbak sudah membacanya?” “Baru sekilas. Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu tertarik pada Reog?” “Saya tertarik karena menurut saya, Topeng Reog adalah bukti misteri sebuah legenda yang selama ini tersimpan rapat. Agar tahu lebih banyak, saya bahkan pergi ke Ponorogo menemui si penemu topeng.” “Wah, sampai sejauh itu? Apa saja yang diceritakannya padamu?” “Kata petani itu, ia tak sengaja terperosok ke dalam lubang di perbukitan. Ternyata itu sebuah gua. Topeng itu ia temukan pada sebuah prasasti dalam gua itu. Di prasasti itu ada tulisan yang dipahat dalam aksara Jawa Kuno.” “Terkutuklah orang yang memakai Topeng Reog, Pendekar Darah Hitam,” sela Rania sambil menggeser jarinya di layar smartphone-nya. “Persis,” ujar Bondan. “Si penemu menganggap tulisan itu gertak sambal saja. Ia membawa pulang topeng itu lalu menyerahkannya ke Museum Nasional.” Rania mengangguk, “Oke. Kalau begitu saya punya satu berita lagi untukmu. Si penemu topeng ditemukan tewas mengenaskan beberapa hari yang lalu. Kulit di sekujur jenazahnya merah darah dengan urat-urat hitam bertebaran.” “G-gila…!” Wajah Bondan sontak pucat-pasi. “Orang itu pasti pernah memakai Topeng Reog, lalu kena kutukan…!” “Nah, karena pencurian itu terjadi kemarin, tak mungkin si almarhum itu pelakunya. Lagipula, saya sempat menyelidiki tempat kejadian dan menemukan ini.” Rania mengeluarkan sebuah kantong plastik kecil berisi serpihan bulu putih. “Hasil pengujian laboratorium masih lama, tapi saya berani menyimpulkan ini bukan bulu manusia.” Keringat dingin menitik di dahi Bondan. “Mbak Rania,” ujarnya. “Kasus ini sudah melibatkan siluman dan alam gaib. Maaf deh, s-saya tak berani... eh... Permisi...” Melupakan sopan-santun, si gimbal bangkit dan bergegas keluar dari kafe. Belum jauh ia berjalan, tiba-tiba seorang pria menariknya ke dalam gang yang sepi, kumuh dengan bau sampah yang pekat. Pria berpenampilan preman bertubuh kekar itu bertanya, “Kau Bondan Prasetyo?” Masih pucat, Bondan menjawab sekenanya, “Y-ya… Siapa kau?” Preman itu malah menyeringai aneh. Ujarnya, “Oh, sebentar lagi kau akan tahu siapa aku. Tapi karena kau terlalu banyak tahu tentang Topeng Reog, kau harus MATI!” Mendadak wajah si preman berubah merah dan dijalari urat hitam. Warok. Jantung Bondan serasa copot melihatnya. Sang Warok menerjang maju dengan pisau lipat di tangan. Bondan yang tak bisa ilmu beladiri mundur menghindar, namun pisau sudah mengancam jantungnya. Tiba-tiba terdengar letusan. Sang Warok tersurut mundur dengan luka tembak di lengan. Bondan menoleh ke belakang dan melihat penyelamat jiwanya, Rania yang tetap membidik dengan pistol semi-otomatisnya. Gadis itu berseru lantang, “TAHAN, BUNG! Menyerahlah, kalau tidak peluru berikutnya akan bersarang di jantungmu!” Lagi-lagi Warok itu menyeringai, wajahnya jadi makin menyeramkan. Ujarnya, “Coba saja… KALAU BISA!” Ia melabrak lagi, gerakannya lebih cepat dari yang tadi. Pistol menyalak lagi, dan ia bersalto di udara menghindari peluru. Warok itu mendarat dan maju lagi, namun langkahnya terhenti seketika. Dirabanya darah hitam yang mengalir dari luka tembak di dadanya. “Uhh… Bagaimana bisa?” Untuk memastikan sebabnya, preman itu menatap Rania yang kini menggenggam dua pistol, lalu menggertakkan gigi dalam geram. Anehnya, luka fatal itu tak merobohkannya. Warok itu malah lari secepat kilat ke dalam gang. Ia bahkan mengelak tembakan ketiga Rania seakan luka-luka tadi tak pernah ada. “BERHENTI KAU!” seru Rania. Ia bergerak akan mengejar, namun urung niatnya mendengar suara riuh. Ia menoleh ke arah massa yang mulai berkerumun di depan gang karena mendengar letusan pistol tadi. Cepat disarungkannya pistol di balik blazer-nya. Dengan sigap Rania berteriak pada massa penonton, “Tenang semuanya! Mas ini tadi dipalak preman! Sudah beres sekarang! Mohon bubar!” Karena tak ada yang bisa ditonton lagi, massa membubarkan diri. Tak lama kemudian, tinggal Rania dan Bondan saja di gang itu. “Nah, jelas kan? Si penemu topeng pasti sudah memberitahukan identitasmu pada mereka. Jadi suka atau tidak, kamu sudah terlibat, Bondan. Tak ada jalan lari atau sembunyi, bahkan rumah kamupun tak aman lagi,” ujar Rania pada Bondan yang keringat dinginnya makin deras. “J-jadi, itu tadi… Warok?” Rania mengangguk. “Aduh, Gusti. Saya ini masih mahasiswa, jomblo pula, belum siap mati! Harus bagaimana ini, mbak?” Rania menatap lawan bicaranya lekat-lekat dan berujar, “Satu-satunya jalan, kamu harus membantu saya mengungkap kasus ini. Selain mendapat bukti kamu tak bersalah, penelitianmu pasti akan tuntas dan nyawamu aman. Tenang saja, saya pasti melindungimu.” Bondan terpekur sejenak. Ia menghela napas lalu berkata, “Baiklah Mbak Rania, saya akan membantu. Nampaknya memang tak ada pilihan lain.” “Bagus. Kalau begitu kita akan ke Ponorogo, ke gua tempat topeng itu ditemukan. Firasat saya mengatakan ada lebih dari petunjuk di sana. Kamu masih ingat letaknya, kan?” “Y-yah, kurang-lebih…” jawab Bondan, garuk-garuk kepala. “Bagus. Temui saya jam empat nanti di Gambir. Kita berangkat sore ini juga dengan kereta api. Nah, saya permisi dulu. Siapkan dirimu dan jangan terlambat!” Bondan tak menjawab. Ia hanya terpaku saja di tempat, memandangi gadis cantik yang melenggang pergi dengan anggunnya itu. Tubuhnya masih gemetar, trauma akibat kejadian tadi. ==oOo==
DreamAvatar Chara: Reog, Barong & Rania. Made with DreamAvatar in www.tektek.org Ponorogo. Langkah-langkah pelan menapaki lereng perbukitan di Barat Daya Kota Ponorogo, Jawa Timur. Sesekali langkah itu terhenti. Bondan melayangkan pandangannya ke hamparan pepohonan dan pemukiman di sekitar, menghirup udara sejuk yang mengisi kembali semangatnya. Peluh membasahi tubuh, wajah dan rambutnya. “Ayo cari terus, Bondan! Jangan berhenti sekarang! Kita harus menemukan gua itu sebelum gelap!” tegur Rania. Wanita itu bersepatu bot, menyisiri sisi bukit dengan gerakan yang masih lincah, penuh semangat. Wajah Bondan ditekuk seribu. “Iya, mbak, iya!” ujarnya. “Hmm, rasanya jalannya sudah benar, tapi kok guanya tak kelihatan?” “Tajamkan penglihatanmu! Cari lebih teliti!” “Duuh... Mbak sih sudah terlatih, lha saya? Jangankan pencak silat, jogging saja saya ja... AAAAHHHH!!!” Tiba-tiba Bondan terperosok dalam sebuah lubang yang tersamarkan rumput. Tubuhnya terus meluncur bagai di mainan luncuran. Tak lama kemudian ia terpelanting, jatuh tengkurap di permukaan tanah datar. “Awwww...” Sambil meringis Bondan menegadah, melihat mulut gua yang lebar dengan obor-obor menyala di sisi-sisi dindingnya. Tak salah lagi, ini Gua Warok yang dikunjunginya bersama si penemu topeng waktu itu. Tiba-tiba sesuatu yang berat menimpa punggungnya, membuatnya meraung kesakitan. “Si beban” diam sejenak, lalu terangkat dan berlutut di depan si gimbal. Rania. “Wah, maaf. Saya juga terperosok tadi. Kamu baik-baik saja, kan?” Suara Bondan lirih, “Rasanya... tadi ada... tulang... yang bergeser...” “Sini!” Dengan cekatan Rania menarik dan mendudukkan “pasien”-nya. Lalu ia memijat tubuh Bondan layaknya ahli pijat refleksi. “Bagaimana, sudah lebih baik?” “Ehhh... l-lumayan...” “AWAS!” Dengan kasar Rania menarik Bondan berdiri dan menyiagakan kedua pistolnya. Belum sempat protes, Bondan langsung menyadari maksud tindakan itu. Empat pria muncul di kejauhan, menghadang di lorong gua. Wajah mereka merah-hitam dan beringas. Bondan mengenali salah satunya, preman yang menyerangnya baru-baru ini. Si preman berseru, “HABISI MEREKA!” Para Warok menyerbu bersamaan. Tembakan bergema. Satu timah panas bersarang di dahi salah satu Warok, menewaskannya seketika. Tiga lainnya lantas mengeroyok Rania. Tiba-tiba Rania berseru, “Bondaan, terobos mereka!” “Tapi, mbak…!” ujar si gimbal panik. “CEPAT! Biar kutangani sendiri!” Dengan wajah meringis Bondan lari. Suara-suara letusan pistol, teriakan dan baku-hantam makin sayup-sayup… Disusurinya lorong-lorong gua yang bercabang-cabang bagai labirin. Tak henti Bondan menoleh kanan-kiri, jangan-jangan ada Warok lagi yang menyergap. Tak lama kemudian, kakinya melangkah dalam sebuah ruangan luas. Mata Bondan lantas terpusat pada sebuah prasasti batu di tengah ruangan itu. Ada benda hijau yang tergeletak di atasnya. Topeng Reog. Rupanya pusaka itu telah kembali ke tempat asalnya. Saat Bondan menghampiri prasasti itu, tiba-tiba sesosok pria bertubuh kekar bak binaragawan menghadangnya. “Eit, jangan coba-coba sentuh topeng ini!” hardik pria itu. Refleks, Bondan melangkah mundur sambil berujar, “Siapa kau?” Pria tampan berambut panjang berombak itu menjawab sopan, “Namaku I Made Wardhana. Siapa namamu?” “Aku Bondan. Mengapa aku tak boleh menyentuhnya?” “Karena topeng itu terkutuk.” “Bagaimana bisa kalau hanya menyentuhnya saja?” “Sekali menyentuh, kau akan ingin memilikinya. Sekali kaumiliki, kau akan ingin memakainya.” “Lantas apa yang akan kaulakukan dengan topeng itu?” “Menguburkannya di gua ini.” Si gimbal terperangah, “Haah? Untuk apa?” “Agar tak ada orang lain yang menemukan topeng ini, menyalahgunakannya dan terkena kutukan Topeng Reog.” “... Seperti si penemu topeng itu.” “Persis. Sadarkah kau sekarang? Kutukan Topeng Reog bukan isapan jempol, Bondan! Topeng ini punya kekuatan gaib dahsyat, pembawa bencana! Kuakui, aku terpaksa bekerjasama dengan para Warok dan mencurinya dari museum. Aku lalu mencoba menghancurkannya dengan segenap tenaga, tapi gagal!” “Ah, masa?” Dahi Bondan mengernyit tak percaya. Made melanjutkan, “Kucoba pula meleburnya di kawah Gunung Merapi, tapi topeng itu malah melompat ke luar kawah, utuh tak bercacat! Jadi, terpaksa kuputuskan mematuhi pesan di prasasti dengan membawanya kemari, menguburnya dengan meruntuhkan gua ini, tak ada jalan lain!” Bondan terdiam. Dahinya mengerut tanda terjadinya kontradiksi dalam benaknya. Melihat gelagat ini, Made bicara lagi, “Coba pikir, tilik hati nuranimu! Mana yang lebih penting, bukti legenda atau nyawa manusia? Apalah artinya sebuah bukti kalau itu jadi pembawa bencana bagi umat manusia? Nah, tolong jangan halangi aku. Kalau tak mau membantu, silakan tinggalkan tempat ini.” “ENAK SAJA kau mengatasnamakan umat manusia!” hardik Bondan tiba-tiba. “Apa buktinya Topeng Reog pembawa bencana? Apa dasar legendanya? Apa kau bertindak karena hasutan Warok semata? Bung Made, tujuanmu itu terdengar baik dan mulia, tapi kau menghalalkan segala cara! Kau mencuri, Warok mengancam dan mencoba membunuhku. Katakan, apa itu tindakan terhormat, tindakan ksatria? Ooh, aku tahu sekarang, kau sendiri juga sudah mencoba memakai Topeng Reog, tapi topeng itu menolakmu, ya kan?” “OMONG KOSONG! Mustahil aku menginginkan topeng itu! Persetan dengan kehormatan! Walaupun aku akan dihujat sepanjang zaman, setidaknya kebenaran dan kebaikan umat manusia ditegakkan!” Nada bicara Made meninggi, harga dirinya terusik. Bondan mengangkat bahu, “Yah, kalau itu jalan yang kaupilih, silakan saja, toh aku tak kuasa mencegahmu. Tapi camkan ini. Dalam kamusku, segala maksud baik yang tak dilandasi rasa kehormatan takkan pernah membuahkan hasil yang baik.” Sebuah suara tiba-tiba merasuki benak Bondan. Aha, seorang pembela kehormatan. Akhirnya aku menemukan orang yang sepikir-sejiwa denganku. Pewarisku. “Hah? Siapa kau? Tunjukkan dirimu!” hardik Bondan tiba-tiba. Mau tahu siapa aku? Pakailah topeng itu. “Tunjukkan dulu dirimu!” “Hei bung, kau tak apa-apa?” Made menegur Bondan. “Tenangkan dirimu, Bondan. Biar kuambil alih di sini.” Sebuah suara wanita bergema lantang dari arah jalan masuk. Bondan dan Made menoleh ke arah wanita itu. Tubuhnya luka-luka, tapi ia tetap berdiri tegak mengacungkan kedua pistolnya. “Hmph, ada lagi orang yang suka ikut campur! Siapa kau?!” seru Made. Wanita itu menjawab, “Rania Giselda, detektif swasta.” “Puih! Apa urusanmu dengan satu topeng itu?” “Klienku menugaskanku untuk mengusut kasus ini, jadi harus kutuntaskan,” ujar Rania dengan ketenangan layaknya seorang profesional. “Sebaliknya, pengusaha sukses dan terkenal sepertimu seharusnya mengerti, Made Wardhana. Semulia apapun tujuanmu, caramu sudah salah. Kau kutahan karena melawan hukum dan keadilan.” Di depan todongan pistol, Made malah menggertakkan gigi. Rania menambahkan, “Para Warok sudah kulumpuhkan. Kalau kau melawan, nasibmu akan seperti mereka.” “Hmph. Maaf saja, Nona Rania, tapi kebenaran tak selalu bersisian dengan keadilan. Jadi, sebagai pejuang kebenaran, aku harus melawanmu.” Sebentuk aura emas terpancar dari tubuh Made. Sepasang pistol Rania memuntahkan empat peluru. Dengan mudah Made melompat kesana-kemari, menghindari keempatnya. Ia bahkan menyeruak secepat kilat, menghantamkan tinju dahsyat di tubuh Rania. Walhasil wanita itu terlontar, membentur dinding dan roboh di lantai gua. Melihat keperkasaan Made itu, Bondan gemetar dan bergerak mundur. Tak disadarinya, ia bersandar di prasasti. Suara misterius itu berbisik lagi, Ayo pewarisku, kenakan topengnya. Made berbalik untuk menghalau. Terlambat, tangan Bondan terlanjur melepas topeng itu dari prasasti. Terpaksa si pria besar berseru, “Sadarlah, Bondan! Percayalah padaku! Kembalikan topeng itu pada tempatnya!” Dia bohong, Bondan. Dia hanya ingin melenyapkanku, itu saja. Bondan menggeleng. “Kau bohong, Made! A-aku akan memakainya!” Tatapannya kosong, jelas ia mulai kerasukan. “SADARLAH!” KENAKAN! Seakan ada suatu kekuatan menggerakkan tangan Bondan, menempelkan topeng itu di wajahnya. Tiba-tiba Bondan merasakan sulur-sulur akar menjalar di seluruh tubuh dan leher, kecuali rambutnya Kuku-kuku hitam memanjang dari kesepuluh jari tangannya. Ia beralihrupa jadi manusia pohon berbatang hijau. Si manusia pohon memiringkan kepalanya ke samping, menatap tajam Made sambil bicara, “Akulah Reog. Reog adalah aku. Kau tak pantas jadi lawanku.” “Itukah menurutmu? Baik, biar wujud tarungku yang mengimbangimu,” ujar Made. Tangannya membuka kancing kemeja batiknya, memperlihatkan sebentuk kalung berliontin kepala singa emas di depan dadanya. Liontin itu berpendar cerah dan membesar, membentuk zirah emas. Tak hanya itu, bulu-bulu singa putih muncul bagai mantel yang menutupi seluruh tubuh Made. Sebentuk topeng emas menutupi wajahnya dan rambut panjangnya berubah pirang, mengembang bagai surai singa. Terperangah, Reog berujar, “Kau…” “Siapapun yang kaupikir itu, aku bukan dia. Aku adalah pewaris Barong, satwa suci pelindung kebenaran dan perlambang kebaikan. Sudah tugasku menghentikanmu, Reog, hei penebar bencana,” ujar siluman adidaya dalam legenda Bali itu sambil menunjuk tepat ke wajah lawan. “Oh ya? Memangnya kau mampu?” ejek Reog. “Kita lihat saja!” Teriring raungan dahsyatnya, Barong menyerbu maju. Reog tak mau kalah dan maju pula. Ia bergerak layaknya ahli akrobat, melompat, menukik, menyerang secepat kilat dari sudut-sudut tak terduga. Cakar hitamnya berkelebat, disambut tinju Barong yang menerpa bagai gunung runtuh. Cakar-cakar darah hitam berhasil menorehkan luka di tubuh Barong. Namun siluman itu tak tampak melemah. Tiga tinjunya malah menghantam lawan hingga terpelanting dan jatuh terduduk. Melihat kesempatan, Barong melesatkan tinju lagi yang hanya menghantam udara kosong. Ia menegadah, Reog sudah melompat tinggi di atasnya. Terlambat, cakar pamungkas terjun, mendera punggung lawan dengan kekuatan berlipat ganda. Kali ini Baronglah yang bertekuk lutut. “Sudah kubilang tadi, kau tak pantas! Saatnya kau mati,” ujar Reog sambil menerjang untuk menghabisi lawan. “Kau salah besar!” Di luar dugaan Barong bangkit, kembali berdiri kokoh. Dua tinjunya memalu tanah, menimbulkan gempa yang membuat pijakan Reog goyah. Serentetan tinju Barong memberondong tubuh lawannya bagai hantaman ribuan godam. Saat deraan reda Reog tumbang, terkapar tak berdaya di tanah. Barong berdiri tegak dan berseru lantang, “Habis kau, Reog. Hanya nerakalah tempat yang pantas bagimu.” Siluman singa putih itu mengulurkan tangan untuk melepas Topeng Reog. Tiba-tiba sebuah peluru api menghunjam bahu kanannya. Barong meraung kesakitan, lalu menoleh ke arah datangnya tembakan. Rania berdiri di sana dengan pistol teracung, masih berasap. Sambil menyeringai ia berujar, “Salah. Kaulah yang tamat, Barong. Tapi sebelum itu aku akan sangat menikmati menyiksamu.” Peluru api kedua menembus lengan kiri Barong. Menyadari tubuhnya makin lemah dan mustahil menang, Barong berseru, “Sial! Itu bukan peluru biasa! Awas, tunggu pembalasanku!” Ia melarikan diri, berhasil mengelak peluru api ketiga dan keempat. Rania tak mengejar. Ia menarik pelatuk berkali-kali, tak ada peluru melesat. Dengan pandangan kabur Bondan menatap cincin mirah Rania, yang berpendar lalu berangsur padam. Sesaat kemudian, Rania Giselda berlutut di depan Bondan sambil tersenyum. Ujarnya, “Akulah pewaris Rangda, pemilik Cincin Api Gaib. Karena kau sudah bangkit, Reog, bagaimana kalau mulai sekarang kita bekerjasama?” Rangda, penyihir terkuat dalam legenda Bali? Ratu para Leak? Perlambang kejahatan? Pengemban kekuatan tergelap? Musuh abadi Barong, pelindung kebenaran? Ya, tepat sekali. Dia telah berjasa mempersatukan kita, jadi mulai sekarang Rangda adalah sekutu kita. “Tidak! Tidak! Enak saja! Aku ini orang bebas! Takkan kubiarkan kau, Rangda atau siapapun memperbudakku! Aku tak su…” Bondan yang tubuhnya dijajah Reog ingin berontak, namun pandangannya makin lamur dan segalanya jadi gelap. ==oOo== Beberapa minggu kemudian… Sesosok pria ceking berambut gimbal berdiri di puncak gedung, beratapkan bulan purnama dan langit malam. Dialah Bondan. Matanya menatap ke kejauhan. Wajah tirusnya bagai ditekuk seribu. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Bondan melihat nama penelpon di layarnya, “Rangda”. Ia menghela napas, mendekatkan ponsel di telinganya dan berucap malas, “Ya.” “Aha. Tugas baru? Rinciannya? Baik. Akan kulaksanakan. Ya.” Bondan menatap dan menekan-nekan tombol ponselnya sejenak, lalu ditutupnya dan dimasukkannya kembali ke saku celananya. Ia lalu merogoh jaketnya dan menatap topeng di tangannya. Topeng yang persis dengan replikanya yang kini tersimpan aman di Museum Nasional. “Saatnya beraksi lagi,” ujarnya. Lalu didekatkannyalah topeng itu ke wajahnya, wujudnya berubah menjadi manusia pohon. Ditatapnya bulan lalu ia meraung keras, meratapi takdir yang menyertai kesaktiannya ini. Ya, inilah sosok yang disebut penjahat, pengkhianat kaumnya, sang terkutuk. Tak seorangpun bisa menduga apa tindakan dia sebentar lagi. Saat ini, hanya satu hal yang pasti. Seorang pendekar super telah terlahir kembali. Reog. -------------------------- REOG Versi Revisi - Jakarta, 11 Oktober 2011 Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cerpen Fantasy Fiesta 2011 Untuk keterangan lebih lanjut tentang Fantasy Fiesta, kunjungi situs http://www.kastilfantasi.com Penyelenggara: - Kastil Fantasi (http://www.kastilfantasi.com) - Adhika Pustaka (http://www.adhika-pustaka.com) -------------------------- Untuk keterangan lebih lant tentang legenda Reog, Warok, Barong dan Rangda silakan kunjungi beberapa sumber berikut ini: Legenda Reog Ponorogo dan Warok - Blog Arie Saksono Legenda Barong versus Rangda - Blog VANtheyologist Barong & Rangda - Balinese Two Opposites (Baliaround.com) Reog Ponorogo - Wikipedia Bahasa Indonesia Barong (Mitologi Bali) - Wikipedia Bahasa Indonesia Rangda (Mitologi Bali) - Wikipedia Bahasa Indonesia Data tentang pistol semi-otomatis di Wikipedia Pistol Ragil: Beretta 92 Compact (Wikipedia)

0 comments:

Post a Comment