Monday 2 July 2012

Cerpen|KISAH TENTANG MUSIM DINGIN

Aku merasakannya… saat rasa dingin yang membekukanku ini semakin parah… kau datang dengan kehangatanmu,… dan membantuku menemukan harapan. *-*-*-* Pagi itu salju berjatuhan dengan deras. Butir-butir putih yang beku itu melayang-layang dan menghampar di jalanan. Di sudut jalan, tepatnya di bawah sebuah pohon, seorang bocah dengan pakaian yang cukup tebal sedang berjongkok sambil menggigil kedinginan. Sepertinya dia juga menangis. “Kau kenapa?” sebuah suara lembut menyapa si bocah. Bocah yang tadinya menangis itu mendongak. Di sudut matanya yang penuh air, dia melihat seorang gadis sebaya dengannya yang keheranan. Gadis itu menggunakan pakaian super tebal dan memakai topi wol yang melindungi kepalanya. “Siapa?” tanya si bocah nyaris berbisik. “Aku?” si gadis balas bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Dia tersenyum hangat, lalu ikut berjongkok di depan si bocah. “Firelia.” Sambungnya sambil menjulurkan tangan. Si bocah menatap wajah gadis bernama Firelia itu. Wajah yang memerah karena kedinginan, tapi terlihat sangat cantik. Kemudian dia menatap tangan Firelia yang terjulur kepadanya. “Violin!” balasnya. Dia menjabat tangan Firelia, dan saat itulah kehangatan mengalir ke tubuhnya. Kehangatan aneh yang terasa… nyaman. “Kau kedinginan ya?” tanya Firelia lembut. Dia terus menggenggam tangan Violin agar tangan itu merasakan kehangatan. “Kenapa kau menangis?” sambungnya heran. Violin diam. Dia menundukkan kepalanya begitu dalam, dan tak berniat menceritakan masalahnya. “Baiklah, kau mungkin tak mau cerita. Tapi apapun masalah yang membuatmu menangis itu…” Firelia mendekatkan tubuhnya ke arah Violin. Dengan tangan kirinya dia membelai pipi bocah itu bermaksud menghapus airmatanya. “Pasti akan membuatmu semakin kuat. Ingat, setiapkali hujan reda, bunga selalu tumbuh kan?” dia tersenyum lembut. Wajah Violin memanas. Dia merasa sentuhan gadis itu memberikan kenyamanan, hingga hatinya terasa hangat. “Bunga?” tanyanya pelan. Firelia mengangguk dan tersenyum semakin lebar. “Seusai hujan, bunga akan tumbuh. Juga seusai kesedihanmu, kebahagiaan akan muncul. Itu yang harus kau yakini.” Dia berdiri dengan pelan. Violin menatap sosok Firelia yang berdiri di depannya. Dia merasa nyaman setelah kehadiran gadis yang baru dikenalnya itu, dan saat itulah Firelia melepas topi wolnya. “Pulanglah! Sepertinya salju akan semakin tebal,” ucap Firelia sambil memakaikan topinya di kepala Violin. Violin terkejut. Jantungnya berdetak begitu cepat dan cukup menyakitkan. Wajahnya memerah, tapi rasa nyaman juga menyertainya. Dia menatap Firelia yang kini tersenyum. Lalu gadis itu berlalu. Punggungnya meninggalkan Violin yang masih berdiam di tengah salju. *-*-*-* Saat ini… Musim dingin telah berlalu lagi… sudah berapa tahun semenjak kau datang padaku? sudah berapa tahun juga kau pergi? aku selalu merindukan kehangatan yang kau berikan… *-*-*-* Salju berjatuhan cukup ringan sore itu. Setelah seharian berjatuhan, kini seluruh kota diselimuti oleh hamparan warna putih yang sangat dingin. Di antara salju itu, tepatnya di sebuah jalan kecil yang tak luput oleh salju, seorang remaja yang masih menggunakan seragam SMAnya berjalan. Wajah tampannya terlihat memar-memar. Dia menembus salju yang terus berjatuhan dengan langkah pelan sambil menggendong seorang gadis yang tak sadarkan diri. Gadis itu bertambat lemas di punggungnya. “Vi-Violin!” panggil gadis itu saat perlahan membuka matanya. Dia merasakan punggung yang menggendongnya begitu hangat. Violin, pria yang menggendong gadis itu bergeming. Dia terus berjalan menembus butir-butir salju yang berjatuhan. “Violin, turunkan aku! Aku baik,” kata gadis itu lagi. Tidak, jangan turunkan aku! “Diamlah! Tidur saja kau di punggungku!” balas Violin sangat pelan tanpa sedikit pun menoleh. “Violin, aku…” “Iya?” balas Violin pelan. “Belum ingin pulang…” Langkah Violin terhenti. Dia membiarkan beberapa butir salju berjatuhan di tubuhnya, lalu kembali melangkah dengan diam. *-*-*-* Entah mengapa salju samasekali tak membuat Violin kedinginan. Terlebih saat gadis yang duduk di sebelahnya menyandarkan kepala ke pundaknya. Jantungnya berdetak sangat kencang dan mulai terasa sakit. “Dhian!” panggil Violin lirih. Dia menatap ke sungai yang airnya tampak begitu dingin di depannya. “Emm,” balas gadis yang duduk di sebelahnya. Keduanya duduk di sebuah kursi kayu lebar di tepi jalan yang menghadap ke sebuah sungai yang tak luput terkena salju. Violin membuka mulut hendak berkata, tapi ragu. Dia justru mendesah lelah. “Kau belum mau pulang?” tanyanya tanpa menatap gadis di sebelahnya. “Belum,” Setelah itu keheningan yang terasa damai menaungi keduanya. “Violin!” panggil gadis di sebelah Violin lirih. Violin tak menjawab. Kehangatan yang melandanya tak mengijinkan untuk berkata apapun. Hanya mendengarkan suara indah gadis itu. “Kenapa?… kenapa kau melindungiku tadi?” “Dhian, aku…” akhirnya Violin mampu berkata. Dia berpikir cukup lama, dan melanjutkan ucapannya. “Pria brengsek itu pantas dihajar. Siapa suruh dia menggodamu tadi,” ucapnya lebih tegas. “Oh… kukira…” kali ini ucapan Dhian yang terpotong. Dia tersenyum lembut, dan memejamkan matanya begitu damai. “Terimakasih!” Salju mulai berjatuhan dengan deras. Violin menatap baik-baik kristal dingin itu. Mengamati betapa indah mereka. “Memang indah, kan?” kata Dhian tanpa membuka mata. Violin menoleh ke arah Dhian. Dia menatapnya dengan heran, tapi dari suara itu dia merasakan kenyamanan. “Apa yang kau pikir dari salju, Violin?” Dhian membuka mata, lalu menjulurkan tangan kirinya untuk menerima butir-butir salju. Dia tersenyum, dan memperbaiki posisi kepalanya di pundak kiri Violin. “Salju?” Violin menengadah ke langit berawan di atas sana. “Entahlah… tapi yang jelas mereka… indah,” dia memejamkan mata untuk merasakan butir-butir salju yang berjatuhan di wajahnya. Seindah dirimu yang membuatku merasa hangat, Dhian. Sambungnya dalam hati. “Mereka… tidak membuatmu takut lagi?” kata Dhian pelan. Violin mengerjap. Jantungnya berdetak satu kali dan sangat keras. Dia menoleh kepada Dhian yang saat itu memejamkan matanya lagi. Apa maksudmu? “Mungkin kau akan membenci mereka lagi, suatu hari nanti, Violin,” “Tidak akan.” Violin menjawab dengan tegas. “Ayo, kuhantar kau pulang!” *-*-*-* Satu hari kemudian Malang bagi Violin. Dia masih berjalan menyusuri jalanan di malam hari saat salju turun dengan derasnya. Udara terasa membeku. Jalanan dipenuhi hamparan warna putih, dan di kanan-kiri ada beberapa kios yang masih buka, tapi Violin tidak memutuskan untuk berteduh. Salju ini… Violin menghentikan langkahnya. Dia menjulurkan tangan untuk menerima salju yang berjatuhan. Dalam kebekuan ini… aku justru bisa mengingatmu… Setelah beberapa saat, Violin melanjutkan langkahnya. Dia menembus udara dingin yang bahkan mampu menerobos pakaian tebalnya. “Violin!” Sebuah suara yang terdengar indah itu membuyarkan pikiran Violin. Dia berhenti, lalu menoleh ke sumber suara. Dia melihat seorang gadis yang kedinginan, dan berteduh di salah satu kios. Dhian! Panggilnya dalam hati. Mereka saling bertatapan beberapa saat. Wajah gadis itu memerah karena kedinginan tapi tetap terlihat cantik. Dia memakai pakain tebal lengkap dengan topi wolnya. Violin membungkuk pelan. “Selamat malam!” ucapnya lirih sambil berlalu dari gadis itu. Jangan hanya memberiku harapan, Dhian! Tapi langkah Violin kembali terhenti saat dia mendengar langkah cepat menujunya. Belum sempat dia menoleh, terlebih dahulu Dhian sudah berdiri di sebelahnya. “Hey, apa yang kau lakukan? Salju semakin deras,” kata Dhian sambil menghusap butir-butir salju di bahu Violin. Violin tertegun. Jantungnya berdetak satu kali dan begitu menyakitkan. Ada rasa aneh yang menari-nari di hatinya saat tangan gadis itu menyentuhnya. “Apa…” “Eh?” tanya Dhian heran. “Lupakan!” Violin berjalan mendahului Dhian, tapi gadis itu kembali menyusul dan berjalan bersebelahan. “Kenapa kau tidak berteduh?” tanya Dhian bersahabat. Violin tak segera menjawab. Dia terus menundukkan kepala sambil berpikir. “Karena aku suka mereka,” balas Violin pelan. “Maksudku salju-salju ini,” sambungnya menegaskan. “Suka?” tanya Dhian heran. “Kenapa?” “Karena aku bisa merasakan kehangatan dari mereka. Kehangatan saat…” Violin tak menyelesaikan ucapannya. “Oh…” balas Dhian pelan. “Emm… untuk kemarin itu… terimakasih banyak ya!” lanjutnya mengalihkan pembicaraan. Dia menyinggung tentang perkelahian Violin untuk melindunginya. “Jangan dipikirkan!” “Wajahmu?” Dhian menahan tangan Violin hingga langkah mereka terhenti. Sontak Violin menatap wajah Dhian. Saat itu juga jantungnya terasa akan meledak. “Masih sakit ya?” tanya Dhian sambil membelai wajah Violin dengan tangan yang terbuntal sarungtangan. Violin menundukkan kepalanya, lalu berpaling. “Lupakan!” Saat itu juga dia merasa kepalanya begitu hangat. Saat dia menoleh ke arah Dhian, dia baru sadar bahwa topi wol di kepala gadis itu kini berpindah ke kepalanya. Dhian tersenyum lembut. “Ini hadiah untukmu. Sekalilagi terimakasih!” Lalu gadis itu berjalan ke depan meninggalkan Violin yang masih tertegun. Violin langsung terbawa ke beberapa tahun lalu saat ada seorang gadis yang juga memberinya topi wol. Firelia! “Ayo! Apa kau ingin membeku di sana?” teriak Dhian sambil menoleh ke arah Violin. Gadis itu tersenyum. Violin membuka mulutnya hendak berkata, tapi tidak jadi. Dia diam beberapa saat sambil terus menatap senyum gadis di depannya. “Bunga akan muncul saat hujan reda, kan?” katanya setengah berteriak. “Eh?” Dhian memiringkan kepalanya dengan heran. Wajahnya sudah memerah lagi karena kedinginan. Dia diam beberapa saat, lalu berpaling dari Violin. “Dhian!… apa kau pernah mengatakan itu pada seseorang? Dulu… saat seorang bocah menangis di antara salju?” tanya Violin semakin berharap. Dia maju satu langkah dan berhenti. Bodoh! Apa yang kutanyakan? Dhian masih membisu. Dia mendesah dan mendongakkan wajahnya ke atas hingga beberapa butir salju menerpa wajahnya. “Menurutmu?” dia menoleh ke arah Violin, tapi kali ini tanpa senyum. “Ah…” Violin mengerjap. Dia mundur tiga langkah ke belakang saat menerima tatapan gadis itu. “Aku adalah salju, Violin. Mereka adalah jiwaku.” Dhian merentangkan tangan kanannya ke samping menyambut salju. “Aku ada karena mereka… dan saat musim dingin berlalu, keberadaanku juga akan berlalu,” Violin mengerjap, tapi dia merasakan kehangatan saat mendengar suara bagai nyanyian tersebut. “Jadi benar? Kau yang datang padaku dulu… membagi jiwa-jiwamu kepadaku karena aku hampir putus asa? Kau memberiku kehidupan dengan saljumu?… apa benar kau itu dia?” Dhian memutar tubuhnya dan menghadap Violin. Dia mendesah sambil memejamkan mata, lalu kembali menatap Violin. Dengan senyuman. “Kau menjaga jiwa-jiwa itu dengan baik, Violin,” kata Dhian pelan. “Terimakasih karena sudah bisa merasakan hangat saat bersama jiwa-jiwaku!” “Firelia!” Violin bergegas menuju gadis di depannya itu. Dia berlari menembus salju, tapi segera berhenti. Dhian memejamkan matanya. Bersamaan dengan itu hembusan salju yang begitu deras muncul dari arahnya dan menerjang Violin. Violin menggunakan kedua tangannya sebagai perisai menghalau salju itu. Dia mengerang kesal saat semakin lama, hembusan salju itu semakin kencang, dan tidak memungkinkannya untuk menatap Dhian. Dia jatuh merunduk saat terjangan salju berakhir, lalu menghantamkan tinjunya ke jalan saat menyadari Dhian hilang entah kemana. *-*-*-* Setelah malam itu… keberadaan gadis bernama Dhian tak pernah lagi dijumpai oleh Violin. Dia… gadis itu… menghilang. Violin tak tahu harus berbuat apa. Telah semua orang di sekolahnya dia tanya, tapi tak satu pun dari mereka yang mengetahui keberadaan gadis itu. Padahal sebelumnya, Violin berharap semuanya akan lebih baik. Setelah dia yakin bahwa Dhian adalah gadis yang dulu memberinya kehangatan. Dulu… delapan tahun yang lalu. Bahwa gadis itu adalah Firelia. Langkah cepat Violin kini melambat. Telah berhari-hari setelah dia menyadari bahwa keberadaan Dhian menghilang. Bahkan yang lebih mengejutkannya adalah bahwa keberadaan gadis itu juga telah dilupakan di sekolahnya. Kini hanya dia sendiri yang mengingat gadis cantik tersebut. Violin mendesah lelah sambil menengadah ke atas. Salju berjatuhan dengan pelan dan menerpa wajahnya. “Apakah ini airmatamu, Firelia?… kau menangis sedemikian pilu hingga airmatamu membeku… dan dijatuhkan oleh bintang menjadi salju?” gumamnya pelan, dan menundukkan kepala. Dia menjulurkan tangan kanannya ke depan saat sebutir salju jatuh. “Ataukah ini justru airmataku?” dia menggenggam sebutir salju itu, lalu mendekap di dadanya. Dia memejamkan mata untuk merasakan kehangatan dari sebutir salju di tangannya. “Kau bilang bahwa salju adalah jiwamu. Kau juga bilang bahwa kau akan menghilang saat musim dingin berlalu…” Violin membuka matanya. “Tapi musim dingin belum berlalu… kenapa kau menghilang sekarang?” Violin melanjutkan langkah pelannya. Tidak menyusuri jalan, melainkan ke arah sebuah pohon yang daunnya tertimbun salju. Dia berhenti di bawah pohon itu, lalu berbalik memunggunginya. Dalam sekejap dia menjatuhkan tubuhnya. Dia menekuk kedua kakinya dan memeluknya erat. “Bila memang kau harus pergi… kenapa tidak…” gumamnya dengan terisak. Perasaan haru menyelimutinya, dan tercurah melalui tetesan airmata ke pipinya. Dia menangis… seorang diri, dan di antara salju yang berjatuhan. Melihat peristiwa itu, seseorang yang dari tadi bersembunyi, kini menampakkan diri. Dia berjalan pelan menghampiri sosok Violin yang masih menangis dalam naungan salju. “Kau kenapa?” Suara indah itu terdengar di telinga Violin. Langsung saja dia menghentikan tangisnya, dan mendongak. “Ah…” jantungnya hampir berhenti berdetak. Dia melihat sebuah senyum paling indah yang pernah dilihatnya. Senyum yang sangat hangat hingga mampu mencairkan kebekuan di hatinya. “Kau menangis lagi?” tanya seorang gadis di depan Violin. Gadis yang memakai seragam sekolah itu berjongkok di depan Violin. Dia tersenyum beberapa saat sambil menatap wajah Violin yang kedinginan. “Dasar kau ini!” ucapnya sambil mengelus-elus rambut Violin. Violin menyeka airmatanya. Dia mencoba tersenyum saat melihat gadis paling cantik di matanya itu. “Kemana saja kau?… aku… aku… ah,” ucapannya terhenti saat gadis di depannya membelai wajahnya. Salju yang mulai deras berjatuhan kini terasa sangat hangat oleh Violin. Dia terus membiarkan gadis di depannya membelai wajahnya yang kini memanas. Kini seluruh tubuhnya terasa hangat karena gadis itu. “Kelak kau tidak boleh menangis lagi!” pinta gadis itu sambil terus membelai pipi kanan Violin. “Saat ini kau harus menjaga agar bunga yang bermekaran setelah hujan itu tidak kedinginan oleh airmatamu!” dia tersenyum hangat. Apa yang kau katakan?… apa maksud perkataanmu itu?… kau tidak bermaksud pergi lagi, kan? “Dhian!” “Emmm,” gadis itu mengangguk. “Kau tidak berniat meninggalkanku, kan?” tanya Violin sambil menggenggam tangan gadis itu. Dia meremasnya erat berusaha agar gadis itu tidak bisa pergi. Gadis itu menghela nafas panjang. Dia diam beberapa saat, sebelum akhirnya berkata. “Aku… akan menghilang saat musim dingin berlalu, Violin!” “Kalau begitu aku juga akan pergi!” balas Violin cepat. Dia melepaskan tangan gadis itu, lalu menghusap salju yang berjatuhan di kepala si gadis. “Ah… kau tidak bisa,” “Kalau begitu kau jangan pergi!” “Violin!” panggil gadis itu pelan. Dia langsung mendekap erat pria di depannya itu. Membiarkan butir-butir salju yang berjatuhan menerjang raga mereka berdua. “Waktuku habis… aku tak punya waktu lagi,” Violin diam. Dia membiarkan berbagai emosi berkecamuk di hatinya. “Dari awal aku tahu ini akan terjadi, tapi aku tetap memaksa untuk bertemu.” Kata gadis itu sambil tersenyum lembut. Entah apa yang sedang dirasakannya kini, tapi dia justru tersenyum. “Kau masih bisa tersenyum?” tanya Violin pelan. “Apa karena kau itu salju, jadi semua rasa sedihmu telah terbekukan dan mati?” sambungnya lumayan keras. “Kau salah, Violin.” Gadis itu membelai rambut Violin. “Aku bukanlah salju. Aku adalah musim dinginnya. Aku adalah yang selalu menangis saat salju turun,” Violin mengerjap. Dia sama sekali tak bisa berpikir normal saat itu, sehingga mempercayai semua ucapan gadis yang memeluknya. “Jadi kau… sedang menangis saat ini?” gumamnya sambil menatap ke atas. Maksudnya menatap butir-butir salju yang terus berjatuhan. “Iya,” balas gadis itu lirih. “Lalu… lalu kenapa kau datang padaku dulu?… kenapa kau datang bila tahu akhirnya akan seperti ini?” “Karena…” gadis itu menghentikan perkataannya. Dia mulai merasakan bahwa pria dalam pelukannya ini juga memeluknya. Bahkan lebih erat. “Perpisahan memang menyakitkan… tapi akan lebih menyakitkan apabila kenangan ini tak pernah ada,” “Kau egois!” gumam Violin lirih. Gadis itu tersenyum. Kali ini dia mengendurkan dekapan terhadap Violin, dan membiarkan Violin yang kini memeluknya. “Iya, ya!” “Dhian!… tubuhmu dingin,” kata Violin saat merasakan rasa hangat di tubuh gadis itu kini menghilang, dan justru membeku. “Iya. Karena kehangatanku akan kuserahkan padamu. Aku menitipkan mereka padamu,” gadis itu memejamkan mata, dan melemaskan seluruh tubuhnya. Dia membiarkan rengkuhan Violin semakin erat. “Apa ini berarti…” ucapan Violin terhenti. Dia yang menyadari suatu hal langsung mempererat dekapannya terhadap gadis di pelukannya. “Tolong jangan ucapkan selamat tinggal!” “Tidak akan,” balas gadis dalam pelukan Violin. “Aku hanya ingin berkata bahwa…” “Diamlah!” sergah Violin resah. Dia merasa bahwa tubuh gadis itu semakin dingin, bahkan melebihi dinginnya salju. “Tetap diam, dan tidurlah di pelukanku!” “Violin!” panggil gadis itu tenang. “Kau membuat hatiku hangat… terimakasih!” sambungnya semakin pelan. “Tidak. Jangan bicara lagi!” Violin semakin merasa resah saat tubuh gadis itu seolah menyusut. Pelukannya semakin renggang, tapi dia langsung mengeratkannya. Tak mau melepaskan gadis itu. “Aku bahagia bisa bertemu denganmu,” ucap si gadis nyaris berbisik. “Kelak kau jangan menangis lagi, ya! Biar aku saja yang menangis!” “Apa kau tak bisa diam?” “Aku adalah musim dingin, Violin! Dan akan selamanya begitu…” “Lantas kenapa?… apa kau ingin aku melupakan semua tentangmu setelah musim dingin berlalu?” Tidak, Violin. Jangan lupakan aku! Jangan pernah lupakan aku! “Aku hanya… musim dingin,” “Berhenti bicara seperti itu!” kali ini Violin nyaris berteriak. Dia semakin mempererat pelukannya terhadap gadis itu. “Kau… pasti membenciku setelah ini. Kau pasti akan sangat membenci musim dingin setelah aku pergi…” “Tidak. Jangan pergi!” pinta Violin. “Aku takkan pernah membencimu. Aku takkan pernah membenci musim dingin. Aku…” “Jangan… membenciku, Violin!” “Tidak! Jangan…” Dan hanya sampai di sana. Memang benar-benar sampai di sana, karena setelah itu salju berjatuhan semakin deras, dan tubuh gadis di dekapan Violin itu memudar di antara salju. Tubuhnya melebur menjadi kristal-kristal dingin dan berhamburan ke segala arah. Meninggalkan Violin yang kini berlutut di tengah-tengah salju. Pria itu merasakan kesedihan teramat sangat, tapi enggan meneteskan airmata sekalipun. Dia takkan menangis. *-*-*-* “Ayah, kenapa anak laki-laki itu menangis?” Firelia bertanya kepada seorang pria tua yang berdiri di sebelahnya. Mereka berdiri di sebuah tempat yang penuh oleh butir-butir kristal bercahaya yang terus berjatuhan. Keduanya menatap ke sebuah celah dimensi yang menunjukkan sebuah tempat penuh salju. “Dia takut dengan musim dingin, Firel! Karena itu dia menangis.” Orangtua yang dipanggil ayah itu menjawab dengan penuh sahajanya. “Ehmmm…. dia takut padaku?… kenapa dia takut?” tanya Firelia sambil menatap orangtua itu. “Karena dia menganggapmu mengerikan. Kau memberikan kedinginan yang membelenggu kebahagiaannya. Itulah yang anak itu pikirkan.” “Ah… aku tidak seperti itu.” Firelia menatap sebal ke arah anak laki-laki yang dia lihat sedang menangis. “Dia harus diberitahu bahwa aku itu tidak menakutkan.” “Kalau begitu datangilah dia, Firel! Yakinkan dia bahwa musim dingin… maksud Ayah, kau itu tidak menakutkan!” “Emm!” Firelia mengangguk, lalu berjalan dengan melompat-lompat ke arah celah dimensi di depannya. Tak lama setelah itu, Firelia telah di depan anak laki-laki yang menangis. “Kenapa kau?” tanyanya kepada anak laki-laki itu. Anak itu mendongak menatap Firelia. Matanya masih berlinangan airmata. “Siapa?” “Aku?” Firelia menunjuk dirinya sendiri. Dia tersenyum hangat sambil berjongkok di depan anak itu”Firelia,” dia menjulurkan tangannya. Anak itu terlihat berpikir. Dia menatap wajah Firelia yang mulai memerah karena kedinginan, lalu menatap tangannya yang terjulur. “Violin,” dia menjabat tangan Firelia. *-*-*-* “Violin. Anak itu bernama Violin, Ayah,” kata Firelia setelah kembali ke dunianya yang penuh salju bercahaya. “Iya. Kau berhasil, Firel. Kau musim dingin yang baik,” kata si orangtua sambil mengelus-elus kepala putrinya. “Emmm,” Firelia mengangguk. “Aku memberikan topi wolku untuknya.” “Kau memang baik, sayang.” “Dan, Ayah!” panggil Firelia lagi. Dia membuka mulutnya hendak berkata, tapi dia ragu. “Bisakah aku bertemu dengannya lagi?… aku ingin berteman dengan anak itu!” sambungya setelah beberapa saat berpikir. “Bisa, sayang. Tapi tidak sekarang. Tunggulah setelah kau cukup besar!” balas orangtua itu sambil tersenyum. “Baiklah. Aku akan menunggu.” Firelia tersenyum lembut. *-*-*-* —http://kastilfantasi.com/2012/07/kisah-tentang-musim-dingin/

0 comments:

Post a Comment