Sunday 22 July 2012

Biografi|Sekelumit Tentang Gus Dur


All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple… but it is not.  The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs.
-KH Abdurrahman Wahid-

Kala itu hari Sabtu tanggal 18 April 1953. Dari siang hari hingga sore, seorang anak tetap duduk di tepian jalan Cimahi-Bandung, menunggui ayahnya yang tidak sadarkan diri karena kecelakaan. Dan pukul 10.30 keesokan harinya, sang Ayah yang berusia 38 tahun meninggal dunia. Jenazah sang Ayah kemudian diboyong ke Jawa Timur. Ada satu hal yang masih lekat dalam ingatan si Anak, yakni betapa banyaknya orang yang berbaris di pinggir jalan untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ayahnya. Dia tercekat. Dalam benaknya terbit pertanyaan, “Apa yang mungkin dapat dilakukan oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya? Apakah ada prestasi yang lebih baik daripada hal ini dalam hidup?”
Anak itu adalah Gus Dur, yang berpuluh-puluh tahun kemudian menjadi Presiden RI yang ke-4. Gus Dur adalah seorang tokoh yang jalan pikirannya sukar diterka, misterius dan kontroversial. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden pada dasarnya sudah menjadi suatu kontroversi. Apakah bisa seorang buta memimpin sebuah negara seperti Indonesia? Namun perlu diingat, walaupun mata Gus Dur buta, hati dan pikirannya tidak.
Semasa menjabat menjadi Presiden pun banyak sekali hal kontroversial yang beliau lakukan. Seperti meminta beberapa menteri Kabinet Persatuan Nasional mundur dari jabatan mereka, mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya adalah pembubaran DPR/MPR dan mengganti nama Irian menjadi Papua. Sifatnya yang sangat plural, demokratis dan moderat juga seringkali menuai protes dari berbagai pihak. Beliau memperbolehkan bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat, dengan syarat masih di bawah bendera Indonesia. Beliau mengumumkan tahun baru Cina (Imlek) sebagai hari libur nasional dan lewat Keppres RI No. 6/2000, beliau mencabut inpres yang memarginalkan etnis Tionghoa di segala bidang.
Sosok yang semasa hidupnya pernah menuntut ilmu di Universitas Al Azhar dan Universitas Baghdad ini adalah jembatan. Jembatan yang mencoba mengkoneksikan banyak pihak agar menjalin komunikasi setara. Beliau menjembatani berbagai perbedaan, seperti perbedaan keyakinan. Latar belakangnya yang kental dengan nilai-nilai islam tidak membuatnya tumbuh menjadi seorang muslim yang radikal. Beliau menjalin hubungan yang akrab dengan pemuka-pemuka agama lainnya. Bahkan beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan kepada Gus Dur sebagai “Bapak Tionghoa”.
30 Desember 2009, Bapak Pluralisme itu wafat. Meninggalkan segudang ide tentang ketuhanan, kemanusiaan dan kebangsaan. Hari Kamis tanggal 31 Desember 2009 beliau dimakamkan di pemakaman keluarga pondok pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur. Liputan di stasiun TV menayangkan ribuan warga, santri dan tokoh-tokoh lainnya yang menyemut ingin menyaksikan secara dekat prosesi pemakaman beliau membuat saya dan kemungkinan besar juga sebagian besar masyarakat lain tercekat, “Apa yang mungkin dapat dilakukan oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya? Apakah ada prestasi yang lebih baik daripada hal ini dalam hidup?”

0 comments:

Post a Comment