Thursday 2 November 2017

Nama Ke-1001

Cerpen Karangan: Evi Ariskawati

Hasil gambar untuk letter wallpaper

Cupid masih berbaring dengan tenang di salah satu dahan terbesar pohon tua, pohon tua di tengah ilalang kekuningan yang selalu menajdi tempat kesukaannya. Angin senja yang hangat masih setia membelai-belai pipinya, sembari meniupi ilalang kekuningan hingga menciptakan gerakan meliuk lembut yang menyejukkan mata. Cupid memandangi lembaran manuskrip tugas dengan warna putih gading di tangannya, kemudian tersenyum puas. Seribu nama sedang jatuh hati hari ini, tugasnya sempurna.

Namun kemudian keningnya berkerut. tinta keemasan mulai terangkai pudar setelah nama keseribu. Semakin jelas hingga sempurna membentuk sebuah nama.
“Auralia Azzahra” Cupid bergumam pelan.
Cupid mendesah, ada satu “Pecinta” tambahan lagi ternyata sore ini. Tidak biasanya ada tambahan nama di manuskrip tugasnya sesore ini. Lagi pula jarang sekali Ia menerima nama lebih dari seribu setiap harinya. Yah, mungkin saja untuk nama yang satu ini berbeda, fikirnya. Siapa yang tahu kapan seseorang akan merasakan jatuh cinta? Tidak ada. Begitu juga Cupid, dia hanya menerima kertas tugas, dan memanahkan panah cinta pada setiap hati yang tertulis nama di kertas tugasnya, itu saja. Tentang hati siapa yang akan dipanahnya, itu bukan urusannya. Ada tangan Maha Besar disana yang sudah mengaturnya.

Cupid berdiri dengan senyum lembut di ujung bibirnya. Merentangkan sayap putih keemasannya dan bersiap kembali ke bumi. Menemui klien terakhirnya hari ini.


Cupid kembali bertengger di dahan pohon. Kali ini dahan yang berukuran jauh lebih kecil dari dahan pohon tua yang biasa menjadi tempat peristirahatannya. Bukan lagi pohon tua di tengah-tengah padang ilalang yang kekuningan, kali ini pohon besar nan rindang ini berada di pelataran bangunan sebuah masjid. Cupid sempat heran sebelumnya tentang tempat yang sangat tidak biasanya seseorang akan mengalami jatuh cinta ini. Ah, tapi sekali lagi, tidak ada yang tahu kapan dan dimana seseorang akan merasakan jatuh cinta. Cupid tersenyum kecil, mengingat betapa besanya tangan Yang Maha Mengatur Hati itu bekerja dengan begitu sempurna, menjadikan setiap perasaan cinta jatuh dengan begitu indah, dimana pun tempatnya.

Masjid bernuansa biru dan abu-abu itu terlihat begitu megah dengan empat pilar besar di bagian depannya, dan sebuah menara tinggi dengan Toa besar terpasang pada empat sudutnya. Masjid itu terasa begitu asri. Pohon-pohon rimbun di pelataraanya menciptakan siluet-siluet senja bagi siapa saja yang lewat dibawahnya. Dari salah satu dahan pohon, Cupid bisa mendengar riuh suara anak-anak kecil dari dalam masjid. Kadang mereka bernyanyi, tertawa, atau bersama-sama melantunkan ayat-ayat-Nya. Cupid tertarik untuk melirik ke celah-celah jendela besar berukir di sepanjang sisi masjid. Mencoba mencari tahu siapa gerangan Hamba yang akan jatuh cinta sore ini.

Target Cupid selalu ditandai dengan lingkaran putih menyala di atas kepalanya. Kali ini cupid hanya bisa melihat lingkaran putih menyala itu tanpa menangkap wajah targetnya. Ukiran jendela masjid hanya menyisakan lubang-lubang kecil, di tambah dengan dedaunan pohon yang begitu rimbun menghalangi pandangannya. Akhirnya Cupid memilih untuk sabar menunggu hingga targetnya selesai dengan kesibukannya di dalam sana.

“Tumben sekali ada tambahan nama sesore ini.”
Cupid hampir saja jatuh karena terkejut ketika suara itu tiba-tiba muncul dan mengagetkannya. Di sampingnya sekarang laki-laki bersayap abu-abu itu melayang dengan tenanngnya tanpa rasa bersalah, matanya mengawang kedepan.
“Kapan kamu akan datang tanpa mengagetkan aku, Amor”
“Hah, aku mengagetkanmu? Lagi? Jika sudah sesering itu mungkin kamu yang harus mulai terbiasa dengan kehadiranku yang tiba-tiba ini, Cupid”

Cupid hanya menghela nafas kemudian menggeleng pelan. Melihat sahabatnya yang nyentrik itu mulai melayang perlahan dan mengambil posisi duduk di sampingnya.
“Siapa nama wanita itu?” Amor bersuara
“Auralia Azzahra”
Amor mengangguk-angguk dengan mimik serius “Nama yang cantik. Aku berani bertaruh, wajahnya pasti secantik namanya”
Cupid hanya tersenyum kecil menanggapi kesoktahuan sahabatnya “Jadi, siapa nama lelaki yang beruntung jatuh hati pada wanita bernama cantik itu?” Ucapnya.
“Jonatan Diga Wiratama”
“Nama yang gagah”
“Tak akan lebih gagah dari aku, Cupid” Amor mengangkat pundaknya dengan gaya angkuh yang terlihat lucu di mata Cupid.

Cupid kembali menatap kearah pintu masjid ketika suara riuh yang tadi berasal dari dalam masjid membeludak keluar. Benar saja, segerombolan anak-anak kecil berhamburan mendesaki pintu masjid untuk keluar. Beberapa terlihat berlari girang. Sebagian yang lain hanya berjalan bergerombol dengan santai dan memenuhi perjalannannya dengan obrolan riang.

Mata Cupid mulai siaga mencari targetnya, seperti mata elang yang siap kapan saja menangkap mangsanya. Dari kejauhan dia melihat seorang wanita menggunakan jilbab lebar berwarna merah muda dengan lingkaran putih terang diatas kepalanya. Ah, warna yang tepat untuk jatuh cinta, Cupid membatin sambil tersenyum puas.

“Itu targetmu Cupid, hmm.. memang secantik namanya” Amor mengalihkan pandangan Cupid yang belum sempat melihat wajah wanita itu menjadi kearahnya. Kini Amor sudah kembali melayang disampingnya, tidak lagi duduk di tempat sebelumnya. Ia mengangguk-angguk kecil dengan mimik seriusnya.

Cupid kembali mengalihkan pandangannya pada pada wanita berjilbab merah muda, namun wanita itu masih terus menunduk, menggandeng anak-anak kecil yang hanya setinggi pinggannya. Dedaunan yang rimbun juga turut andil, seolah tidak mengizinkan Cupid melihat targetnya dengan leluasa. Rasa penasaran membuat Cupid merentangkan kedua sayapnya dan bersiap untuk meilhat targetnya dengan jarak yang lebih dekat. Cupid melewati Amor yang nampak terpana, sebelum akhirnya Ia berhenti ketika wanita itu mengangkat wajahnya, Cupid menatap parasnya.

Cupid merasakan sesuatu berdesir di dalam dirinya. Wajah wanita itu begitu lembut. Senyum di ujung bibirnya seolah menjadi hiasan, membuat pahatan paras wajahnya terlihat sempurna. Wajahnya berseri, seolah tertimpa cahaya bulan langsung di atasnya. Auranya memikat hati, aura yang biasa Cupid temui pada wanita ketika Ia usai memanahkan cinta pada hatinya. Ia tidak pernah tahu jika akan ada aura seindah itu sebelum cinta menyentuh hatinya. Cupid melebarkan pandangannya, mencoba memastikan jiwa lingkaran putih itu benar ada diatas kepalanya. Apa Ia salah? Atau mungkin Ia sudah tak sengaja memanahkan cinta pada targetnya?
“Amor, apa aku sudah memanahkan anak panah cintaku pada wanita itu?”
Amor yang masih melayang di samping cupid mengerutkan keningnya, bingung dengan pertanyaan sahabatnya barusan itu. Tapi kemudian Ia menggeleng.

Cupid merasakan desiran jantungnya semakin begitu kentara tiap Ia berusaha memandang paras wanita itu lebih lama. Paru-parunya tiba-tiba terasa seperti di penuhi gelembung udara, sesak. Cahaya yang memancar secara magis dari wajah wanita itu seperti menyempurnakan gejala aneh pada dirinya, memaksanya untuk tunduk, tidak menatap paras wanita itu lebih lama. Perlahan Ia kembali ke tempat Ia duduk sebelumnya.

Ia baru menyadari jika sekarang Amor sudah tidak lagi melayang disampingnya. Pria itu mungkin sudah lebih dulu mendatangi targetnya dan memanahkan panah asmara miliknya, kepada pria yang harusnya menjadi pasangan jatuh cinta Auralia Azzahra, targetnya. Tapi entah mengapa tiba-tiba tangannya terasa tidak berdaya untuk mengayunkan busurnya. Sekarang Ia sedang sibuk menerka-nerka desiran apa yang tadi tiba-tiba saja menyapai jantungnya, dan kini masih menyisakan getaran-getaran yang mengherankan. Ia tidak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya.


Auralia Azzahra muai berjalan tenang meningglakan pelataran masjid. Cupid kembali merentangkan sayapnya dan melayang tak jauh di belakanganya.
“Cupid, kau belum memanahnya?” Amor datang dengan secepat kilat. Seperti biasanya.
Cupid menggeleng dengan tidak melepaskan pandangan pada langkah-langkah Auralia Azzahra yang berjalan tak jauh di depannya.
“Apa yang kau tunggu?” Suara Amor menyiratkan keheranan.
“Amor, sahabatku. Apa seorang malaikat cinta bisa jatuh cinta?” Cupid memandang Amor yang terlihat terkejut dengan pertanyaannya.
“Apa maksud pertanyannmu itu? Jangan menyimpulkan hal aneh, Cupid. Sekarang bukan waktunya. Segera panahkan anak panahmu padanya, Jonatan Diga Wiratama ada di ujung jalan ini, mereka akan bertemu, dan seharusnya jatuh cinta!” Amor tidak bisa menutupi kegusaran dalam suaranya.
“Amor, aku tidak tahu jika malaikat cinta juga di anugrahi rasa cinta..”
“Cupid, bicaramu semakin kacau! Apa yang kau maksud??” Amor terlihat tidak sabar
Cupid menarik nafas berat “Bagaimana jika aku jatuh cinta Amor?”
“Tidak mungkin! Tidak ada yang memanahkan panah asmara padamu.”
“Dan kau akan melakukannya..” Cupid mengangsurkan busur dan anak panahnya pada Amor.
Amor terlihat terkejut, hingga memundurkan posisinya menjauhi Cupid “Kau gila Cupid! Kau akan mati jika aku memanahmu dengan panah itu! Tidak, aku tidak akan melakukannya. Sekarang segeralah panahkan anak panahmu, mereka harus saling jatuh cinta! Takdir sudah mencatatnya, Cupid!”

Cupid terdiam sejenak. Ia tahu, tidak akan ada malaikat cinta yang akan merasakan jatuh cinta. Karena mereka tidak mungkin memanahkan panah mereka kehatinya sendiri, hal itu akan membunuh diri mereka sendiri. Perasaanya berkecamuk seketika.
“Auralia Azzahra terlalu sempurna untuk jatuh cinta pada sesama manusia, Amor. Aku bisa merasakan auranya yang begitu terpancar dengan indah. Hatinya terlalu lembut jika harus disakiti dengan perasaan cinta duniawi yang fana..” Cupid memandangi wanita yang kini berjalan sejajar dengan ujung bentangan sayap keemasannya.
“Jika kau tidak melakukannya, biar ini menjadi tugasku saja!” Amor merebut busur dan anak panah dari tangan Cupid.
“Amor!” Cupid akan menghalangi Amor yang menarik busur panah miliknya. Tapi terlambat, panah itu sudah lebih dulu melesat dan menembus jangtung wanita yang kini berada tepat di depannya. Anak panah itu menghilang, menyatu bersama perasaan seorang Auralia Azzahra, menciptakan buir-bulir cinta bersama aliran darahnya.

Cupid merasa sayapnya lunglai seketika. Ia jatuh menyentuh bumi. Amor segera menghanpiri sahabatnya itu.
“Maafkan aku Cupid, tapi kau tahu jika tidak ada seorang atau sesuatu pun yan bisa mengubah takdir-Nya. Begitu juga cinta yang sudah di tuliskan untuk Auralia Azzahra” Amor memandang Cupid dengan iba. Ia meletakkan busur milik Cupid di hadapannya, menepuk pelan pundak Cupid kemudian melayang perlahan meninggalkannya.

Cupid meraih busur miliknya. Amor benar, batinnya. Tidak ada sesuatu pun yang mampu merubah takdir dari-Nya. Tidak juga seorang Cupid. Ia merentangkan lagi sayap-sayapnya, terbang perlahan mengangkasa. Meninggalkan Auralia Azzahra yang semakin bercahaya dengan aura cinta dalam dirinya, tiba-tiba hatinya terasa begitu nyeri. Ia terbang semakin tinggi, dan melihat Auralia Azzahra dan Jonatan Diga Wiratama yang bertemu di ujung jalan. Cahaya merah jambu seketika menyeruak diantara mereka berdua, cahaya dari manusia yang saling jatuh cinta. Cupid terbang lebih tinggi lagi, membawa remah-remah dari kehancuran hatinya. Ia belum pernah merasa sesakit ini sebelumnya.

Cupid duduk di dahan terbesar pohon tua. Langit terlihat semakin menggelap. Ia tarik kembali manuskrip tugas putih gading miliknya, menatapi nama bertinta emas setelah nama keseribu. Nama keseribu satu. Cupid menarik satu panah asmara miliknya, kemudian menancapkan kertasnya di ujung runcing anak panah, tepat pada nama Auralia Azzahra. Cupid berdiri, merentangkan kedua sayap keemasannya yang terlihat bercahaya, dengan anak panah yang kini terpasang pada busurnya. Dalam satu hentakan Ia melepas busurnya, dan membiarkan anak panah dengan kertas nama itu meluncur menembus kegelapan. Hingga hilang dan menciptakan satu titik terang di antara taburan bintang.

Tidak ada yang tahu kapan, dimana, dan dengan siapa seorang manusia akan jatuh cinta. Seperti juga malaikat cinta yang tidak tahu jika cintanya akan berlabuh pada sang pemilik nama ke-1001. Tidak ada yang bisa merubah takdir-Nya, Cupid tahu itu.

Tamat

Cerpen Karangan: Evi Ariskawati
Facebook: Miss, M./Evie Ariskawati

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/nama-ke-1001.html

Wednesday 1 November 2017

Puisi Terakhir


Puisi Terakhir

Cerpen Karangan: Christy A Sitorus

Lolos moderasi pada: 14 July 2012






Kita masih disini…

Masih menghirup udara yang sama di ruangan ini.

Entah sampai kapan kita mampu bertahan.

Tapi kita harus tetap berjuang.

Saat ini mungkin tak akan pernah kembali,

Maka nikmatilah saat ini.

Saat esok hari menjelang, maka biarkan hari ini menjadi kenangan.

Entah sudah berapa banyak puisi yang ditulis oleh Cathrine. Sambil menunggu Lexi sadar dari keadaan komanya. Kekasihnya yang sudah hampir dua minggu terbaring tidak sadarkan diri di ruang ICU rumah sakit. Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa Lexi mengidap kanker otak dan sudah mencapai stadium akhir, tapi Cathrine tetap percaya bahwa mujizat Tuhan dapat terjadi kapan saja, bahkan disaat manusia merasa tidak mungkin, sangat mudah bagi Tuhan untuk membuatnya menjadi mungkin.

“Aku percaya Tuhan akan memberi semua yang terbaik untuk kita. Cepat sembuh ya, supaya kita bisa mengulangi semua kejadian indah yang pernah kita lalui bersama. Aku rindu saat kita pergi kuliah dan ibadah bareng, dan juga saat-saat kita jalan bersama”. Ucap Cathrine sambil mengelus lembut kepala Lexi.

Untuk malam ini, Cathrine memang meminta izin untuk dapat menjaga Lexi hingga esok pagi. Entah mengapa malam ini, dia begitu ingin mengenang semua masa-masa yang mereka lewati bersama. Cathrine mengalihkan pandangannya ke dinding yang ada di hadapannya dan terlihat jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam.

Kembali angannya melayang mengingat perkenalannya dengan lelaki yang terbaring lemah di hadapannya tersebut beberapa tahun yang lalu. Sudah hampir enam tahun mereka berkenalan, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA. Sebagai dua orang siswa yang sama-sama berprestasi, tidak jarang mereka harus bersaing, baik di dalam kelas maupun ketika mereka berkompetisi di luar sekolah. Persaingan yang sportif membuat mereka menikmati persaingan itu dan malah membuat mereka semakin dekat. Mereka saling menikmati kedekatan itu, karena kedekatan itu membuat mereka saling memberikan dukungan satu sama lain. Rasa yang tidak bisa dicegah akhirnya menghampiri, rasa simpati dan kagum satu sama lain berubah menjadi rasa sayang dan saling membutuhkan. Mereka tidak berusaha menghindar karena mereka tidak bisa berbohong kalau mereka merasakan getaran yang sama. Hari-hari semakin indah, prestasi mereka sama-sama meningkat, begitupun juga rasa sayang itu, hingga saat ini mereka duduk di bangku kuliah. Namun semua itu mulai terusik beberapa bulan yang lalu, sejak Lexi mulai berubah, seakan ada yang dia sembunyikan dari kekasihnya, Cathrine.

Lexi mulai menghindari Cathrine. Biasanya setiap hari mereka selalu terlihat bersama di kampus, namun perlahan Lexi mulai jarang terlihat di kampus. Saat Cathrine mencoba menghubungi, selalu saja tak pernah ada respon dari si penerima telepon. Sampai akhirnya, Cathrine mengetahui bahwa Lexi sudah hampir sebulan dirawat di rumah sakit. Saat pertama kali Cathrine menjenguknya, Lexi masih bisa tersenyum dan berkata, “semua akan baik-baik saja, jadi tak perlu khawatir”. Tapi, saat ini jangankan untuk berkata hal seperti itu lagi, bahkan untuk membuka matanya, Lexi seakan tak mampu.

Aku hanya meminta sedikit kebahagiaanmu, Tapi bahkan kesedihan pun tak kau bagi denganku

Sambil menuliskan dua penggal kalimat tersebut, tak sadar air mengalir dari sudut mata Cathrine.

Terima kasih untuk perkenalan yang indah…

Terima kasih untuk jadi motivator terbaik dalam hidupku…

Terima kasih untuk semua bahagia dan tawa yang ada…

Terima kasih untuk semua cintamu…

Kembali mata Cathrine tertuju pada jam dinding yang saat ini menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh menit. Tapi tak sedikitpun ia merasa kantuk, dan tak sedikitpun ada keinginannya untuk berbaring. Dia tetap memandang wajah tampan pria di hadapannya sambil memegang buku yang berisi puisi-puisi yang ia tulis selama dua minggu dia berada di rumah sakit ini.

“Kalau kamu sadar nanti, aku akan berikan buku yang berisi puisi ini untuk kamu, agar kamu tahu betapa aku sangat berharap untuk kesembuhanmu. Dan berjanjilah, kalau lain kali kamu sakit tolong jangan pernah menghindar dari aku. Kapanpun kamu mau, telinga ini selalu siap untuk mendengar setiap keluhanmu, dan pundak ini selalu ada untuk tempatmu bersandar saat rasa sakit itu menyerangmu.” Cathrine mulai mengajak Lexi berbicara.

“Aku rindu dengan mata indahmu, suara merdumu, senyum manismu, dan nasihat-nasihatmu.. aku akan tetap menunggu sampai keajaiban itu datang dan terjadi padamu.”

“Kamu tahu nggak Lex… aku sangat senang saat ini, karena aku dapat berdua dengan kamu, mengenang semua yang aku lewati dengan kamu, menulis puisi-puisi untuk kamu. Tapi aku mulai lelah dengan semua ini, tolong segera bangun dari tidurmu sebelum rasa jenuh ini benar-benar menguasai pikiranku. Sebelum harapan ini memudar…” ucap Cathrine.

Tak sadar sudah berapa lama dia menangis dan berapa banyak air mata yang tertumpah. Rasa lelah untuk penantian ini sudah hampir mencapai batasnya. Ingin menyerah, namun ia masih tetap percaya bahwa harapan itu masih ada.

Tiba-tiba Cathrine merasa ada gerakan lembut dan pelan yang menyentuh pipinya. Ia tersentak dan segera menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Rasa kaget, bahagia dan haru tercampur menjadi satu ketika melihat mata indah itu terbuka secara perlahan. Si pemilik mata indah menatap Cathrine dengan lembut.

“Lex..Lexi… kamu udah sadar. Terima kasih Tuhan buat mujizat ini. Terima kasih untuk jawaban atas penantianku ini. Maaf untuk harapan yang mulai goyah”. Ucap Cathrine seraya bersyukur atas kejadian ini.

Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Lexi, mereka hanya saling bertatap mata. Cathrine dapat melihat dari mata Lexi begitu banyak kata yang ingin ia keluarkan, begitu banyak cerita yang ingin ia sampaikan. Tapi Cathrine sadar bahwa ia tak dapat memaksa keadaan untuk kembali seperti dulu. Mereka memerlukan proses untuk mengembalikan semua keadaan seperti sedia kala.

Tapi rasa bahagia itu hanya sesaat saja, tiba-tiba keadaan berubah menjadi tegang. Terlihat mesin yang menyambungkan kabel ke bagian tubuh Lexi memberikan sinyal bahwa orang yang menggunakannya dalam keadaan darurat. Cathrine tak tahu harus bagaimana, ia berlari mencari dokter di luar ruangan, berteriak meminta pertolongan. Dokter datang dan segera memeriksa keadaan Lexi, namun apa yang terlihat adalah bahwa dokter dan suster yang ada di ruangan tersebut sudah mulai melepas semua alat bantu yang ada di seluruh bagian tubuh Lexi.
“Kami sudah berusaha, tapi kehendak Tuhan
berkata lain. semoga semua keluarga tabah menerima ini”. Ucap dokter memberi keterangan pada Cathrine.

Dunia seakan berhenti bagi Cathrine. Harapannya kali ini benar-benar sudah musnah. Tak akan ada lagi harapan untuk kesembuhan Lexi. Di sudut ruangan terlihat dokter melihat ke arah jam tangannya dan Cathrine pun ikut melihat jam yang tergantung di dinding ruangan. Pukul dua belas tepat. Keluarga Lexi yang baru saja tiba juga segera berlari masuk ke dalam ruangan untuk melihat orang yang di kasihi untuk terakhir kalinya. Sementara Cathrine terduduk di lantai ruangan rumah sakit, mencoba meyakinkan diri bahwa semua ini hanyalah mimpi, mimpi buruk yang sebentar lagi akan sirna. Tapi ini bukanlah mimpi, namun adalah benar-benar kenyataan, kenyataan yang menyakitkan yang harus ia hadapi.
“Lexiii… kenapa harus membuka mata itu, kalau kamu ingin menutupnya selamanya? Kenapa tak kamu biarkan saja mata itu tertutup malam ini, namun nafas itu tetap ada selamanya?” Cathrine merintih dalam tangisannya.
“Aku ingin menulis puisi yang terakhir untuk kamu, setelah ini aku tak akan pernah menulis puisi-puisi lainnya selamanya.” Ucap Cathrine sambil membuka buku yang berisi puisi-puisi yang ditulisnya, seraya menahan air yang ada di sudut matanya sehingga tak jadi tertumpah membasahi pipinya.

Penantianku terjawab…

Harapanku tercapai…


Aku menyayangimu, namun tak mampu memilikimu.

Aku mengharapkanmu, namun Tuhan berkehendak lain padamu.

Aku kecewa… Aku marah…

Namun apa guna jika itu mampu

membuatmu bahagia.

Aku tak rela…

Namun keadaan memaksa.

Setiap awal akan berakhir

Setiap pertemuan akan berujung perpisahan

Tapi tetaplah percaya, setiap kejadian akan memberi hikmah.

Selamat Jalan kekasih

Bahagiaku untukmu selamanya…

Itulah puisi terakhir yang di tulis Cathrine, setelah menyelesaikan puisi tersebut, Cathrine meninggalkan buku itu di bangku rumah sakit dan segera bergegas meninggalkan rumah sakit.

“Terima kasih untuk cinta itu, percayalah… saat engkau bahagia di alam sana, begitupun aku akan melanjutkan kehidupanku di alam ini dengan bahagia.” Ucap Cathrine tersenyum menabahkan dirinya dan kemudian berjalan keluar rumah sakit.


Nama Penulis: Christy.A. Sitorus

Blog: http://galleryofstory.blogspot.com






sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/puisi-terakhir.html

Friday 8 May 2015

BILA INGIN BERBAGI CERITA

Hy sobat Fantasi cerpen. sudah lama sekali semenjak terakhir kali aku mengecek Blog ku ini. 2012 yang lalu..
sekarang saya sebagai admin ingin menginformasikan bagi teman teman yang ingin berbagi cerita cerpennya bisa mengirimkan cerpennya ke E-Mail

hidayatadnanimam@gmail.com :)

Thursday 27 September 2012

Cerpen Cinta : Ada Cinta


Cerpen Cinta : Ada Cinta

Aku kembali teringat lagi akan hal itu, sesuatu yang membuat aku sakit karena kejadian itu telah merenggut nyawa seseorang yang sangat aku sayangi dan sangat berarti dalam hidupku. Ketika aku menderita penyakit jantung stadium lanjut, aku sudah divonis tidak dapat sembuh, kecuali ada seseorang yang mau mendonorkan jantung nya untukku. Ketika itu keajaiban datang menghampiriku, ada seseorang yang sukarela dan senang hati mau mendonorkan jantungnya untukku tetapi aku tidak tau siapa orang itu. Dan 2 hari kemudian aku di operasi, operasiku berjalan dengan lancar. Aku pun sembuh. Tidak ada penyakit lagi yang menempel ditubuhku. Tetapi aku belum diperbolehkan pulang, karena keadaanku belum stabil.
Ketika aku sedang terbaring ditempat tidur rumah sakit, aku ditemani mamah. Tetapi ada seseorang lagi yang aku tunggu.
“Morgan… mah, Morgan dimana??” Tanya ku kepada mamah yang sedari tadi duduk disamping tempat tidurku. Tapi mamah menanggapinya dengan wajah sedih.
“Morgan lagi tidur sayang,,” jawab mamah dengan mata berlinang seraya membelai rambutku. Aku pun tersenyum mendengar jawaban mamah.
3 hari kemudian aku diperbolehkan pulang. Aku sangat senang sekali,

Cerpen Cinta : Satu Cerita dari Nusantara

oleh Katarina Ningrum
Jika waktu dapat diputar kembali, sungguh Evita ingin mengulang semuanya dari awal. Awal pertemuannya dengan Bagas, hari pertama mereka mengobrol, saat-saat perdana ketika Evita menyadari bahwa mata Bagas begitu teduh dan menyenangkan.

Dan hari yang satu itu, ketika Evita memutuskan untuk keluar dari klub tari tradisional, dihantarkan oleh wajah Bagas yang kecewa dan selanjutnya tak pernah benar-benar menatap Evita sampai ke hatinya.

Evita dan Bagas hanya punya kesempatan berinteraksi selama tiga jam dalam seminggu, di klub tari tersebut. Mereka sama-sama berbakat, rajin, dan punya performa yang baik. Mereka mencintai Indonesia, karena itulah mereka ada di klub tersebut.

Tekad Evita untuk meninggalkan klub hanya didasari oleh satu hal: ingin berkonsentrasi di pelajaran, karena tuntutan tinggi jurusan IPA. Bagas menggelengkan kepala mendengar alasan tersebut.